Bab 13

49 0 0
                                    

"Dritt... dritt... dritt."

"Siapa?" tanya Amora saat mendengar handphone Rakhan berbunyi.

"Gak tahu ni, nomer gak dikenal." jawabnya saat membaca nomer yang tertera.

Amora mengangguk. "Angkat aja, siapa tau penting."

"Halo." ucap Rakhan saat mengangkat telpon tersebut.

"Halo, dengan siapa ya, ada perlu apa?" ucapnya lagi ketika tidak ada jawaban dari telepon.

Disisi lain, Hera menarik napasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sendiri yang masih tak kuat menahan tangis. "Rakhan."

Rakhan tampak terkejut, mendengar namanya dipanggil.

"Tut... tut... tut... " Hingga Hera memutuskan sambungan telepon.

"Dari siapa?"

"Gak tau, orangnya gak ngomong apa-apa daritadi."

"Aneh." celetuk Amora.

***

Hera memutuskan untuk mengakhiri teleponnya. Ia merasa belum siap jika harus menceritakan semua ini pada Rakhan. Memiliki semua yang dimiliki Amora masih menjadi keinginannya sampai kini. Hingga akhirnya ia tak ingin melepaskan kembali semua yang menjadi hak Amora. Ia masih menggenggam erat hak yang bukan miliknya itu. "Tubuh ini, dan kasih sayang kedua orang tua, serta fasilitas yang keduanya berikan, sekarang adalah milikku." Monolog Hera yang masih menatap cermin didepannya.

"Klekk." Suara pintu terbuka.

"Amora."

Hera menatap mamanya yang berdiri disamping pintu saat Hanum memanggilnya. "Ada apa,ma?"

Hanum menghembuskan napasnya pelan, tampak ada kekecewaaan diwajahnya.

"Ada masalah, ma?" tanya Hera yang menyadari ekspresi Hanum.

Hanum menduduki bokongnya disudut kasur, kemudian menepuk kasur tersebut menyuruh Hera duduk disampingnya. "Mama lihat setelah kamu pulang dari rumah sakit, kamu terlihat malas-malasan ya."

"Maksud mama?"

Hanum menarik napasnya dalam. "Kamu tertinggal banyak pelajaran disekolah, karena kamu sakit. Sedangkan seminggu lagi kamu ujian.
Kamu gak ada niatan untuk belajar?"
"Biasanya setiap hari kamu belajar, kenapa sekarang enggak?"
"Kamu harus bisa ngejar ketetinggalan kamu lho, ra." omel Hanum beruntun.

"Iya ma maaf, nanti aku akan belajar." lirih Hera.

"Harus itu."
"Ingat ya ra, mama udah kasih kamu segalanya. Mama udah kasih kamu fasilitas mulai dari handphone, mobil, skincare, laptop. Kamu juga mama bayarin perawatnnya, sama les biar kamu tambah pinter. Jadi mama gak mau ya. Ada yang kurang sedikitpun dari kamu, apalagi cuma masalah nilai." Lanjut Hanum.

"Iya ma, nanti aku bakal ngejar ketetinggalan ku."

"Bagus, gih sana belajar. Mama mau masak dulu." ujar Hanum, kemudian keluar ruangan.

Hera yang merasa capek dengan ceramahan mamanya, mulai menjatuhkan badannya dikasur. "Lebih enakan rebahan lah, daripada belajar." celetuknya.

Flasback on

Kedua gadis itu duduk sejajar di sofa. Terdapat Hanum didepan nya yang sedang membaca-baca nilai rapot. Kemudian mulai mengamati putri kecil nya satu persatu.

"Amora, kemari nak!" ujar Hanum, Amora pun menurutinya, ia terduduk tepat disamping Hanum.

Pelukan hangat menyapanya. "Nilaimu banyak yang dibawah KKM ra, tapi its oke ada beberapa nilai yang bagus."
"Jangan cemberut gitu dong." Lanjutnya saat melihat putrinya memonyongkan bibir.
"Yang terpenting kamu udah berusaha, itu aja udah buat mama bangga sama kamu."

Amora tersenyum mendengarnya. "Makasih,ma."

"Iya sayang." Hanum mencium kening Amora.
"Sekarang kamu istirahat dikamar dulu ya."

Amora mengangguk, ia beranjak dari tempat duduk meninggalkan mama dan saudara kembarnya.

Kini Hanum menatap Hera, wajah kekecewaaan tampak diwajahnya. "Nilai kamu bagus, dapet peringkat satu lagi, tapi mama gak bangga." ucap Hanum datar.

Hera hanya bisa terdiam, tak tahu apa yang harus ia katakan. Air matanya kini terjun dengan bebasnya, sebuah kesedihan yang tak dapat ia sembunyikan.

"Bagi mama kamu udah gak sempurna lagi ra, jadi tolong biarkan kakakmu lebih unggul dari kamu."

Hera menyeka air matanya. "Tapi Hera juga butuh kelebihan, untuk menutupi kekurangan Hera ma."

Hanum menghembuskan napas kasar. "Tapi kekurangan mu tidak bisa ditutupi. Kamu sudah gak sempurna, jadi yang mama harapkan sekarang adalah kakakmu."

Hera menelan ludahnya saat mendengar pernyataan Hanum yang menyakitkan. "Jadi, maksud ma... ma gak ada yang di... harap... kan dari a..ku? tanya Hera terbata-bata disela tangisnya.

Hanum menatap putrinya tajam. "Apa yang bisa mama harapkan darimu?"
"Sebuah luka yang kamu berikan sama mama saja, kamu gak bisa sembuhkan." ujar Hanum, lalu pergi meninggalkan  putrinya memeluk tangisnya seorang diri.

"Aku akan belajar lebih keras lagi ma, sejauh apa kau melarangnya aku tetaplah aku, yang ingin mendapat pengakuan, walau bukan dari mama."  batin Hera.





Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang