Bab 22

52 1 0
                                    

"Kenapa minumannya dicampur obat, ma?" tanya Hera, ketika melihat hanum mencampurkan segelas air putih dengan obat berbentuk serbuk.

"Tolong kasih ke Hera."
"Itu hanya obat tidur, setelah meminumnya Hera hanya pingsan sejenak." jelas Hanum.

Hera mengernyitkan dahinya, ia masih bingung dengan tujuan sang mama.

"Mama takut, nanti kalau petugas rumah sakit jiwa dateng buat jemput Hera, dia malah teriak-teriak."
"Nanti tetangga pada dateng karena teriakan Hera, kan jadi malu kalau semua orang tahu, mama punya anak sakit jiwa." ucap Hanum, yang mengerti arti mimik wajah putrinya.

Hera mengangguk paham. Lalu pergi membawa segelas air putih sesuai perintah Hanum.

Sesampainya didepan kamar, Hera menatap Amora yang terikat tali dilehernya, suatu hal yang mengingatkannya pada kejadian masa lalu.

Ia menghampiri Amora lebih dekat dengan segelas air putih ditangannya. "Minum dulu,kak." ucapnya sembari membantu meminumkan air tersebut dimulut Amora.

"Kedua orangtua kita memang pintar membinatangkan manusia." ujar Hera, yang kemudian melepaskan tali dileher Amora.

Setelah selesai melakukan tugasnya, Hera beranjak pergi dari ruangan. Ia berhenti didepan pintu, menatap Amora yang sudah pingsan.

Hera melihat Amora sedu, ia merasa bersalah atas apa yang terjadi sekarang. Menjadi Amora memang keinginannya, tapi membuat saudara kembarnya masuk ke Rumah Sakit Jiwa bukanlah hal yang diinginkan.

"Gue harus telpon Rakhan." batinnya, yang ia rasa adalah satu-satunya orang yang mampu membujuk kedua orangtuanya.

"Halo." ucap seseorang di seberang sana.

"Rakhan, loe harus kesini sekarang!" pinta Hera to the point.

"Kenapa, mor?"

"Hera mau dibawa ke rumah sakit jiwa, gak usah banyak tanya, buruan kesini!" ujar Hera panjang, yang langsung mematikan sambungan telepon.

Hera kini berada didepan rumah, menanti kedatangan Rakhan. Tujuh menit berlalu, akhirnya Rakhan datang dengan wajah cemas.

"Kok cepet?" tanya Hera, yang heran dengan kehadiran Rakhan yang terlalu cepat. Bisa dibilang jarak rumahnya dan Rakhan sekitar tiga puluh menit, tak masuk akal Rakhan bisa sampai dirumahnya dalam waktu tujuh menit.

"Iya dong, Rakhan." jawabnya sombong. Ia berjalan maju, memasuki rumah.

"Om, tante." panggil Rakhan, ketika mendapati Hanum dan Brata berada diruang tamu.

"Rakhan?"
"Ada apa, tumben kesini?" tanya Hanum.

Rakhan hanya tersenyum simpul, ia bersalaman dengan keduanya.

"Ada yang mau saya bicarakan, soal Hera, om tante."

Hera yang merasa ditatap Hanum, ketika Rakhan mengutarakan niatnya. Memilih untuk meninggalkan ruangan.

"Duduk dulu ya, biar lebih enak ngobrolnya." pinta Brata yang dituruti Rakhan.

"Saya denger Hera mau dimasukin ke rumah sakit jiwa ya tan, om?"

"Iya." jawab Hanum singkat.

Rakhan menghela napas kasar. "Kalau boleh tau kenapa ya tan,om?"

Hanum dan Brata saling bertatapan. "Hera tadi mengamuk, ia terus berteriak kalau dia adalah Amora." jelas Brata.

Tampak kekecewaan muncul diwajah Rakhan, ia tak menyangka Hera akan separah ini. "Om, tan boleh gak saya ngobrol sebentar sama Hera?"
"Saya bakal sadarin dia pelan-pelan, saya bakal buat Hera sadar akan takdirnya."
"Kalau semisal Hera gak sadar-sadar, om sama tante boleh bawa Hera Ke rumah sakit jiwa. Tapi jangan sekarang om, tan." bujuk Rakhan dengan wajah memelas.

"Tapi rak, sepertinya sudah tidak ada harapan." ucap Brata denga wajah sedihnya.

"Seminggu om, dalam waktu seminggu jika Hera gak sadar, om boleh bawa Hera kerumah sakit jiwa." mohon Rakhan, namun keduanya masih terdiam.

"Saya sahabatnya om, tan. Saya sudah kenal Hera lebih dalam, saya tahu dia bagaimana."
"Mungkin dengan kehadiran saya, Hera bisa menerima takdirnya sebagai Khiandra hera Agnibrata." mohon Rakhan lagi.

Hanum mulai tersentuh dengan kata-kata Rakhan. Hanum merasa Hera begitu beruntung memiliki sahabat seperti Rakhan yang selalu ada untuknya. Namun Hera tak beruntung memiliki ibu seperti dirinya. "Baik rak, kami kasih kamu waktu seminggu untuk menyadarkan Hera." ucap Hanum, yang sebenarnya tak tega jika Hera harus dibawa ke rumah sakit jiwa.

Rakhan tersenyum lebar, akhirnya permohonan nya dikabulkan. "Makasih om, tan."

Keduanya mengangguk sebagai jawaban.

"Boleh saya jenguk Hera?" tanya Rakhan.

"Tentu boleh, langsung ke kamarnya saja ya rak." pinta Brata.

Rakhan pun beranjak dari tempat duduknya.

Sesampainya dikamar Hera, mata Rakhan melotot. Ia terkejut dengan apa yang ia lihat. Seorang yang ia sayangi tergeletak diatas lantai yang dingin ini. "Chubby."

Dengan hati-hati ia mengangkat gadis itu, dan meletakkannya diatas kasur. "Chubby bangun, bangun." ucapnya lembut, sembari menepuk pipi kiri gadis itu.

Rakhan terus menepuk pipi gadis tersebut. Hingga kelopak mata Amora sedikit bergerak, seperti ingin membuka mata. "Chubby." panggilnya lagi.

Amora dapat mendengar panggilan itu walau samar. Serta wangi yang tercium di hidungnya, membuat Amora penasaran dengan pemilik bau wangi didekatnya. Ia dengan perlahan membuka matanya, sedikit demi sedikit ia dapat melihat seseorang yang sedari tadi memanggilnya. Kini matanya terbuka lebar, penglihatannya masih sedikit buram. Hingga wajah Rakhan terlihat jelas, dengan hidung sedikit mancung serta wajah tirus yang dimilikinya. "Tampan nya."





Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang