"Hiks...hiks...hiks..."
Samar-samar Hera mendengar suara tangisan. Ia berusaha membuka matanya yang terpejam."Yesi?" ucapnya, ketika ia melihat gadis yang dikenalinya memeluk lutut, didepannya.
Dengan pelan, Hera berusaha bangun, sembari memegang kepalanya yang masih terasa pusing. "Yes, loe kenapa?"
Yesi menggeleng, lalu dengan cepat memeluk Hera erat. Seperti ada rasa ketakutan dalam dirinya.
Hera pun membalas pelukan itu, sembari menenangkan Yesi semampunya. "Kita pulang yuk!" ajak Hera setelah Yesi sedikit tenang.
Keduanya kini berjalan menyusuri lorong yang berada dirumah sakit. Sepanjang perjalanan, Hera berkali-kali menoleh kebelakang. Matanya berusaha mencari orang lain yang mungkin telah membuat Yesi ketakutan, atau bahkan orang yang sudah memukul kepalanya sampai pingsan. Tapi sayangnya ia tak menemukan siapapun disini. Sunyi, yang ada hanya mereka berdua.
Beberapa menit kemudian, keduanya telah sampai di depan mobil yang dikendarai Pak Djarot. "Ayok, masuk!" pinta Hera yang sudah membukakan pintu mobil. Yesi mengangguk, ia memasuki mobil, disusul Hera dibelakangnya.
"Lho non, itu..." tampak Pak Djarot terkejut, melihat keduanya yang terlihat berantakan.
"Jalan sekarang ya, pak!"
"Nanti saya ceritain." ujar Hera, sebelum Pak Djarot menanyakan lebih dalam."Baik, non."
"Ini mau saya anter kemana ya, non?""Rumahmu dimana, yes?"
Yesi menatap sahabatnya heran. Pasalnya, sahabatnya itu menanyakan hal yang sudah ia ketahui.
"Yes?"
"Kok bengong?""Jalan Amatir nomer 212,pak." jawab Yesi.
Pak Djarot mengangguk, ia pun mulai menjalankan mobil.
"Loe, gak tahu alamat rumah gue?"
Hera terdiam,ia tampak memikirkan alasan yang pas, untuk jawaban kali ini. "Emmm, gue kan lupa ingatan."
"Oh, iya." ucap Yesi, disertai nafas lega dari mulut Hera.
"Loe, gak papa kan?"
Yesi mengangguk, mengisyaratkan bahwa di baik-baik saja. Dengan senyum dibibirnya, ia merangkul Yesi, memberikan rasa aman.
Tak ada yang bisa ia tanya kan saat ini, ia merasa bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal yang terjadi pada Yesi. Ia yakin, Yesi pasti akan cerita dengan sendirinya.
Mobil pun berhenti tepat didepan rumah megah bernuansa putih,dengan bermacam-macam tanaman yang menghiasi nya.
Keduanya pun turun dari mobil. Sedangkan Pak Djarot tetap stay didalam. "Ayok, masuk dulu mor!"
"Gue, langsung pulang aja ya."
"Soalnya udah gerimis yes, takut nanti hujannya deras."
"gak enak juga malam-malam bertamu.""Gak papa, santai aja kali."
Baru saja Hera membuka mulut, untuk menjawab. Suara dari dalam rumah, membuat mulut Hera tertutup kembali.
"Yesi..." panggil seorang wanita paruh baya dengan mata sembab, berlari menghampiri Yesi.
"Ya ampun nak, kamu gak papa?" ucapnya yang sedikit bergetar. Wanita itu memperhatikan putrinya dari atas sampai bawah, memastikan tak ada luka ditubuh Yesi.
"Yesi, gak papa ma."
Dengan lega, wanita itu memeluk putrinya erat.
"Ma, ini Amora, yang nganterin Yesi pulang."
Wanita itu mengalihkan pandangan ke Hera, ia tersenyum manis. "Makasih ya sayang, kamu udah terlalu banyak bantuin Yesi selama ini." jelasnya, sembari mengelus pipi Hera.
"Sama-sama tante."
"Kalau bukan karena kamu, mungkin Yesi..." ucapan nya terhenti dengan air mata yang tiba-tiba saja mengalir
"Ma, udah jangan nangis." ujar Yesi menenangkan.
Sedangkan Hera terdiam, bingung dengan situasi yang ada dihadapan nya.
"Memang Yesi bakal kenapa, kalau gak ada kak Amora?" batin Hera.***
Tetesan hujan mulai membasahi tubuh Amora. Air yang berjatuhan berkali-kali ditubuhnya, membuat Amora tersadar dari pingsan nya. Ia mulai membuka matanya, sedikit demi sedikit.
Dan pada akhirnya mata Amora terbuka lebar. Tak ada satu orang pun yang ia lihat disini. Hanya ada sunyi beserta bunyi rintikan hujan yang berjatuhan.
"To... long... " ucapnya, dikala dingin mulai menyelimuti tubuh Amora.
Tapi, rasanya akan sia-sia. Usahanya untuk meminta tolong hanya akan membuang energi saja.
"Dingin, dingin banget." batinnya, sembari memeluk tubuhnya sendiri.
Dengan tekad yang kuat, Amora berusaha menolong dirinya sendiri. Ia berusaha bangun dari jatuhnya. "Sa...kit... " keluhnya, saat dirinya terus berusaha untuk berdiri, walau telah terjatuh berkali-kali.
Tak membutuhkan waktu lama, Amora dapat berdiri tegak. Walau kakinya bergetar hebat. Ia berusaha berjalan maju, sembari menatap rumah yang tampak jauh dari pandangannya.
"Huftt... huft... huft... " tarikan napasnya terdengar sesak, terlebih kaki nya hanya berdiri ditempat.
Lima menit telah berlalu, tapi kaki Amora tak dapat berjalan maju, hanya malah menambah rasa sakitnya.
Kali ini nafasnya seakan hilang, ia tak dapat bernapas sama sekali. "Huft... " Amora berusaha bernapas dengan mulutnya, namun sayangnya itu tak membuahkan hasil.
"Byurrr."
Pada Akhirnya Amora ambruk kebelakang, tepat kolam itu berada. Raganya semakin turun ke dasar kolam. Namun Amora tak melakukan pergerakan apapun, tubuhnya sudah terlanjur sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Teen FictionAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...