Bab 33

26 0 0
                                    

Tatapan Hanum semakin tajam, ketika kata "mama" Muncul dari mulut Amora. "Masuk!" pinta Hanum yang langsung dituruti Amora.

Namun dengan tidak sabarnya, Hanum menarik tangan Amora untuk mempercepat langkah. Ia menarik tangan Amora sampai pada dapur, depan wastafel. Terdapat tumpukan piring kotor disana. "Kamu tau?"
"Apa kesalahan mu?"

Amora menatap Hanum bingung, ia menggeleng sebagai jawaban.

Helaan napas kasar terdengar dari mulut Hanum, ia menunjuk tumpukan piring kotor itu dengan jari telunjuknya. "Kenapa gak cuci piring?" bentak Hanum, dengan nada tinggi.

Amora terdiam, ia baru sadar kalau Hera biasanya mencuci piring sebelum berangkat sekolah. "Maaf ma, Aku lupa." lirihnya.

Satu tamparan hampir saja melayang dipipi kanan Amora, namun hal itu tak terjadi, disaat Hera dengan sengaja memanggil mamanya. "Ma..."

"Kenapa sayang?"

"Mama mau ngapain?" tanya Hera sembari menatap Amora.

"Mama cuma mau ngasih pelajaran buat dia." jawab Hanum disertai penekanan di setiap kata.

"Udahlah ma, gak usah, kasian Hera, dia lagi sakit ma, makannya Hera lupa cuci piring." jelas Hera, berusaha menyelamatkan Amora dari amukan Hanum.

"Mama gak peduli." Ia kembali menarik tangan Amora, kali ini lebih kencang.

Sedangkan Hera hanya bisa mengikuti keduanya dari belakang. Rasa bersalah nya semakin dalam, tatkala Amora harus menjadi dirinya dan sebaliknya. Tapi mau bagaimana lagi, ia ingin bahagia, sebaliknya Amora juga harus merasakan derita yang Hera alami selama ini.

"Amora, masuk." pinta Hanum, ketika mendapati putrinya dibelakangnya.

Dengan pasrah Hera mengikuti perintah Hanum, memasuki kamar dan berusaha berpikir kalau tidak terjadi apa-apa.

Sesampainya dibelakang rumah. "Byurr"

Hanum mendorong Amora ke kolam renang. Dengan kesalnya, ia menahan kepala Amora agar tidak dapat muncul ke permukaan air.

Di dalam air, Amora terus berusaha menyingkirkan tangan Hanum. Namun sayangnya tenaga Hanum lebih kuat, sehingga Amora tak bisa menyingkirkan tangan sang mama dengan mudah.

"Hanum..." teriakan itu menghentikan aksinya. Ia menatap Brata yang tiba-tiba saja muncul dibelakangnya.

"Kamu apain Hera?"

"Aku hanya memberinya sedikit hukuman, mas."

"Sedikit hukuman?"
"Itu terlalu berat, Hera bisa mati kalau kamu tenggelamin." ujar Brata panjang lebar.

"Ya Alhamdulillah dong kalau dia mati, toh hidup pun gak ada gunanya."

"Num, jaga ucapan kamu ya, gak boleh kamu ngomong kayak gitu, bisa nyesel kamu."

"Aku tegasin ya mas, aku gak akan pernah menyesal dengan apa yang aku ucapkan."
"Penyesalan ku cuma satu, ngelahirin anak ini." ucap Hanum sembari menunjuk putrinya, yang masih berusaha naik di bibir kolam.

Disisi lain Amora yang masih berusaha naik ke atas permukaan, seketika mematung setelah mendengar ucapan Hanum. Ia tahu kalimat itu untuk Hera bukan dirinya, tapi saat ini sukmanya berada ditubuh Hera, seorang yang dibenci Hanum. Bagaimanapun kalimat itu tetap menyakiti dirinya.

"Jaga ucapanmu!" pinta Brata yang semakin kesal dengan istrinya.

"Kamu tuh kenapa sih mas?"
"Selalu aja belain anak itu, jangan dibelain terus dong, bisa ngelunjak nanti anaknya."

"Bukan gitu sayang, aku gak belain Hera, aku cuma ngasih tahu ke kamu mana yang bener mana yang salah." ujar Brata, berusaha menjelaskan.

"Udahlah mas, capek aku ngomong sama kamu." kesal Hanum, lalu berjalan meninggalkan keduanya.

"Hanum... "

"Brakk." Suara itu membuat Brata menghentikan langkahnya, ia melihat ke belakang, ternyata putrinya jatuh  tersungkur diatas lantai.

"Pa... " panggil Amora dengan napas tak beraturan. Saat ini dadanya terasa sesak, seluruh badannya terasa mati rasa, ia sama sekali tak dapat mengerakkan anggota tubuhnya.

Samar-samar kata "Hanum" terdengar ditelinganya, dengan Brata yang berlari mengejar Hanum, yang semakin tak terlihat dimatanya.

"To...long..." ucap Amora pasrah, tak ada lagi yang dapat ia lakukan selain mengucapkan kata tolong berulang-ulang.

Dadanya semakin sesak, ditambah tangisnya membuat Amora tak bisa bernapas. "Ternyata sesakit ini menjadi Hera, tak pernah diutamakan, tak pernah dianggap ada, tak pernah dipedulikan." batin Amora, dikala sakitnya yang mulai menjalar.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang