Bab 23

38 0 0
                                    

"Tampan nya." ucap Amora spontan. Seseorang yang dulu ia kagumi dari kejauhan, ternyata tak kalah tampan jika dilihat dari dekat.

Rakhan tersenyum merekah mendengarnya. Entahlah, Rakhan merasa senang dengan kata yang sahabatnya ucapkan, padahal sudah berkali-kali Hera mengucapkan hal itu padanya, tapi kali ini terasa berbeda.

Keduanya masih terdiam membeku. Amora yang masih terpukau dengan ketampanan Rakhan, sedangkan Rakhan terlalu hanyut dalam perasaan senang yang ia rasakan.

Flashback on

"Yang itu kak?" tanya Hera, sembari menunjuk cowok yang tengah bermain dilapangan basket dengan nomer punggung 17.

Amora mengangguk, ia terus saja memperhatikan cowok itu tanpa memperhatikan kembarannya yang terus saja mengoceh.

Hera terdiam, ia juga ikut memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah.

Pertandingan pun selesai, semua orang mulai membubarkan diri. "Ayok her, kita pulang." ajak Amora, namun tak ada jawaban. Amora menoleh kanan kiri, dan barulah ia menyadari bahwa Hera sudah tidak ada ditempat.

Hera mulai menyusuri setiap sudut ruangan, mencari kembarannya. Hingga matanya tertuju pada satu sudut, dimana Hera berada. Dahinya mengernyit, merasa bingung dengan apa yang sedang Hera lakukan. "Ngapain Hera nyamperin Rakhan?" batin Amora merasa ada yang tidak beres.

Ia berjalan cepat menuju keduanya. Pikirannya sudah tak karuan. "Apakah Hera ingin merebut Rakhan darinya?"

"Heraaa." panggil Amora, saat jarak keduanya tidak terlalu jauh.

Hera menoleh kesumber suara, sedang Rakhan pamit pergi menjauh sebelum Amora sampai pada keduanya.

"Ngapain?" tanya Amora pada Hera, dengan tatapan tajam.

Hera terdiam sejenak, lalu melemparkan senyuman. "Tadi aku hanya minta nomernya Rakhan, buat kakak." jawabnya santai.

Amora merasa lega dengan apa yang Hera ucapkan. "Dapet?"

Hera menggeleng, dengan memasang wajah kecewa.

"Yaudah gakpapa, lain kali jangan gitu lagi ya!" pinta Amora yang dijawab anggukan oleh Hera.

Seminggu telah berlalu, semua berjalan dengan baik bagi Amora. Namun tidak bagi Hera.

"Kringg...kring... kring..." suara alarm terus berbunyi, tapi pemiliknya tak kunjung bangun.

Hingga jam menunjukkan pukul 6.27, Hera baru terbangun. Matanya terbuka sedikit, dengan lemahnya berusaha menggapai alarm untuk dimatikan.

Matanya terbuka lebar saat melihat angka jam ditangannya. "Sial." gerutunya.

Dengan secepat kilat Hera menuju kamar mandi untuk sekedar cuci muka, dan segera berganti pakaian. Ia menuruni tangga dengan cepat, berharap Amora belum berangkat ke sekolah.

Hera merasa lega, harapannya terwujud. Ia menghampiri papanya dan Amora yang sudah berada didalam mobil. "Pa...papa." panggilnya sambil mengetuk kaca mobil.

Brata pun membuka kaca mobilnya. "Kenapa ra?"

"Pa, kali ini aku nebeng ya pa." ujar Hera dengan wajah memohon.

Brata menatap Hera heran, pasalnya putrinya yang satu ini selalu berangkat sendiri. "Gak bisa, kamu berangkat sendiri aja ya."

"Kali ini aja pa, aku bakal telat kalau papa gak mau nganter aku." mohon Hera, berharap papanya luluh.

"Gak bisa, ra." jawab Brata lembut.

"Pa, hari ini aku ada olimpiade matematika. Aku harus dateng tepat waktu." mohon Hera lagi, dengan air mata yang terlanjur terjun.

"Udah ya ra, nanti Amora bakal telat kalau kamu ngajak ngobrol papa terus."

"Kak... " panggil Hera lirih sembari menatap Amora, berharap kembarannya dapat membantu dirinya meluluhkan hati Brata.

Tapi sialnya, Amora hanya menatapnya sejenak. Lalu memalingkan muka. Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang, ia hanya bisa pasrah menatap mobil tersebut mulai berjalan menjauh.

Hera mengeluarkan handphone nya berniat memesan grib, walaupun tetap saja akan telat, tapi setidaknya ia masih berusaha untuk olimpiade yang akan ia ikuti. "Tiga puluh ribu." batinnya saat melihat ongkos yang harus ia keluarkan.

Hera pun membuka dompetnya. Selembar uang berwarna kuning seketika merubah raut wajahnya. "Aku harus lari." pikirnya.

Jarak rumah dengan sekolah memang tidak terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit jika naik kendaraan, tiga puluh menit jika jalan kaki.

Hera terus berlari, ia memilih melewati jalan pintas yang tergolong sepi agar bisa sampai ke sekolah dengan cepat. Tekadnya untuk mengikuti olimpiade sangat besar. Dengan mengikuti olimpiade dan menjadi pemenang, setidaknya ia bisa membuktikan ke mamanya bahwa dia masih pantes dianggap anak.

"Hust... hust... hust..." Napasnya mulai terputus-putus, detak jantungnya berdenyut kenjang. Hera berhenti sejenak untuk mengatur napasnya, bersender dibawah pohon besar.

Ia menatap jam ditangannya. "Tinggal sepuluh menit lagi." monolognya. Dengan segera ia melangkahkan kaki. Berlari sekencang mungkin, mengejar waktu yang terus berjalan.

"Brakkk."
"Aaaa." motor dengan kecepatan tinggi dari belokan, tak sengaja menabrak tubuh Hera.

Motor tersebut terjatuh bersama sang pemilik tak jauh dari tempat kejadian. Sedangkan Hera terpental beberapa meter memasuki sebuah lubang saluran air yang kering.

"Tolong..." ucap Hera lirih, berharap ada yang menolongnya. Kakinya terasa sangat sakit, seperti mengambang diatas tanah. Hera berusaha untuk bangun, namun sayangnya tak bisa.





Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang