Hera terus bolak-balik di kamarnya, rasa khawatir akan apa yang dilakukan Hanum terhadap Amora, membuatnya tak tenang. Hingga ia memutuskan turun tangga untuk melihat keadaan saudarinya.
Rasa was was menghantui pikiran Hera disetiap langkahnya, yang terus memastikan situasi aman untuknya menemui Amora.
Sesampainya dikolam renang, ia memandang Amora sedu. Kembarannya itu seperti tak berdaya, terbujur lemas diatas lantai dengan mata yang terpejam. "Kak..." panggilnya, yang langsung berlari menghampiri tubuh yang dingin itu.
Hera dengan cepat menggoyangkan tubuh Amora. "Kak Amora, bangun." Namun tak ada pergerakan sama sekali. Ia mulai mengecek nafas Amora, memastikan saudaranya masih hidup.
"Huft." helanya lega, ketika nafas Amora masih ada.
"Bangun kak." ucapnya lagi, berusaha menyadarkan.
"Drttt... drttt... drttt... " Hera terdiam, ketika suara telepon dihpnya berbunyi.
"Yesi." bacanya, dengan cepat ia mengangkat telepon itu.
"Hallo, ada apa yes?"
"Hiks... hiks... hikss... "
"Yes, kamu kenapa?" tanyanya, ketika mendapati suara tangisan dari seberang sana.
"Ra, kesini dong, gue butuh loe." jawab Yesi dengan suara yang sudah serak.
Sejenak Hera menatap Amora, ia terus memandangi saudarinya dengan beberapa pertimbangan di otaknya. "Oke, aku kesana sekarang." finalnya.
"Tut... tut... tut..." sambungan telepon terputus bersamaan dengan pesan sharelock dari Yesi.
Hera pun melangkah pergi, berjalan jauh menuju Pak Djarot.
"Pak, anterin saya ke Jalan Armada ya.""Baik, non, mari."
Hera pun menaiki mobil tersebut. "Maaf kak, tapi menurut ku Yesi lebih penting dari kakak. Dulu aku juga pernah mengalami hal yang sama, bukannya menolong ku kak Amora malah merebut mimpiku." batin Hera.
"Pak, tolong dipercepat ya."
"Baik, non."
Lima belas menit kemudian, Hera telah sampai di Jalan Armada. "Pak Djarot tunggu disini aja ya!" pinta Hera yang dijawab anggukan.
Hera pun turun dari mobil, namun tak ada satupun orang disana. "Yesi mana sih, lokasi nya udah bener disini, tapi dimana orangnya?"
"Apa gue telepon aja kali ya.""Dritt... dritt... dritt..." sudah tiga kali Hera menelepon Yesi, tapi tak ada satupun telepon yang diangkat.
"Oke, satu kali lagi kalau Yesi gak angkat teleponnya, gue pulang." gerutu Hera.
"Dritt... dritt... dritt..."
"Ra..."
"Akhirnya diangkat juga, loe kemana sih, gue udah dilokasi nih."
"Gu..e ada dibela...kang rumah sakit per...ma...ta." ucap Yesi disela tangisnya.
Dahi Hera mengeryit, merasa aneh jika Yesi berada dibelakang rumah sakit. "Ngapain?" tanyanya, namun tak ada jawaban. Hal tersebut tentu membuat Hera kesal. "Oke, aku kesana sekarang."
Hera berlari kencang menuju belakang rumah sakit. Namun ia mengurangi kecepatan larinya, saat sudah mendapati suara tangisan yang terdengar dekat. "Yes..."
"Yesi, loe dimana?"
"Ini loe kan?"Hera terus berjalan maju, walau bulu kuduknya sudah berdiri. Tapi ia telah bertekad harus menemukan Yesi terlebih dahulu, baru ia bisa pulang.
"Yes, loe dimana." teriaknya lagi.
"Brughh." Namun kepala Hera terasa sakit, seperti dipukul sebuah benda berat.
Tak butuh waktu lama, kepala Hera seketika pusing, penglihatannya pun mulai buram. Dan pada akhirnya Hera terjatuh pingsan, matanya terpejam erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Teen FictionAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...