Bab 9

63 0 0
                                    

"Kenapa menangis?"
"Bukankah kamu sudah terbiasa, dengan rasa sakit ini?"
"Apa kali ini lebih berat, chubby?

Amora terdiam sejenak, menebak-nebak suara yang asing ditelinganya. "Loe Siapa?"

Orang itu memeluk Amora, dengan sigap Amora membalas pelukan itu,tak peduli dia siapa, yang terpenting saat ini ia membutuhkan seseorang disampingnya. Amora menumpahkan tangisnya dipundak laki-laki itu.

"Semua akan baik-baik saja,chubby." ucapnya, sembari mengelus punggung Amora.

Sudah setengah jam berlalu, tapi tangis Amora belum juga usai.

Di lain sisi, terdapat Hera yang mengawasi keduanya dari depan pintu kamar. Entahlah Hera merasa sakit akan hal yang dilihatnya. "Lagi lagi aku terluka, sosok Hera dalam diriku masih ada, aku tetaplah aku, kak Amora tetaplah Amora." Gumam Hera yang hanya dapat didengarnya sendiri.

"Bagaimana pun aku harus melepaskan mu, demi mendapatkan kasih sayang kedua orang tua ku." Batin Hera.

"Udah ya nangisnya, sekarang loe harus makan terus minum obat, biar cepet sembuh." ucap laki-laki itu lembut.

Amora mengangguk sebagai jawaban.
"Nih, gue bawain sate keong, kesukaan loe."

"Sate keong?" tanya Amora sedikit terkejut.
"Gak, gue gak mau sate keong. Mana ada orang suka sate keong."

Hera tersenyum kecil. "Ternyata sejauh ini hubungan kita, kak." Batin Hera yang masih memantau keduanya.

"Loe, udah gak suka ya, sama sate keong?"

"Bukan udah gak suka, tapi emang dari dulu gue gak suka sate keong." ucap Amora dengan mempertegas kalimat sate keong.

Laki-laki itu mengernyitkan dahi, sosok Hera yang ia kenal sekarang sangatlah asing baginya.

"Gue mau bakwan malang."

Laki-laki itu mengangguk. "Oke, gue beliin. Loe stay disini, sampai gue dateng!"

"Iyaa, tapi loe tu sebenarnya siapa sih?"

"Maksudnya?" tanya laki-laki tersebut yang masih kebingungan dengan pertanyaan Amora.

"Ya, gue merasa asing sama suara loe."

"Chubby, gue ini.... " Belum juga ia menyelesaikan ucapannya.

"Ehmmm." Hera berdehem, mendekati keduanya.

Hera menunjuk laki-laki itu dengan jari telunjuknya. "Aku mau ngomong sama kamu." ucap Hera to the point.

"Mau, ngomong apa?"

"Penting." ucap Hera yang langsung menarik tangan Rakhan keluar.

"Woy, lepasin tangan gue dong, sakit tau." ujar laki-laki itu yang membuat Hera langsung melepaskan genggamannya.

"Kita ke halaman rumah sebentar." tintah Hera.

Keduanya kini telah sampai di halaman rumah, duduk dikursi panjang dengan paparan matahari yang begitu terik.

"Mau ngomong apa Amora, sepertinya sangat penting, sampai harus menjauh dari Hera, pasti soal Hera ya?"

Hera menatap Rakhan sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke depan. "Hera, depresi."

Mata Rakhan seketika melebar. "Depresi?" "Maksud loe apa sih?"

"Kerinduan nya akan kasih sayang kedua orangtuanya, kehangatan yang tak pernah ia rasakan, membuatnya depresi.Hera pengen jadi aku, dia gak pernah mau nerima dirinya sendiri" jawab Hera lirih.

"Loe denger ya, Hera itu kuat, dia gak akan selemah ini."

"Dia gak punya seorang pun yang peduli sama dia, jadi wajarkan, dia depresi."

Laki-laki itu spontan berdiri. "Heh, dengerin ya!"
"Dia punya gue, gue yang selalu peduli sama dia, gue yang tulus sayang sama dia, jadi Hera gak mungkin gak bisa menerima dirinya sendiri, dan gak mungkin bertekad menjadi loe, sosok yang lemah." Laki-laki itu menunjuk Hera saat kalimat terakhirnya, lalu pergi menjauh.

Hera menatap punggung Rakhan yang semakin tak terlihat. "Seberuntung itu aku punya kamu, tapi aku harus menjauh, aku ingin menjadi Amora seutuhnya. Dengan terpaksa aku kehilangan orang seberharga Rakhan." batin Hera.

***

"Chubyy." panggil Rakhan sembari membawa semangkuk bakwan malang yang di belinya tadi.

"Lama." ucap Amora kesal.

"Ya maaf, dah sini aku suapin." ucap Rakhan.

Amora mulai membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan penuh hati-hati Rakhan menyuapinya sembari meniup makanan itu agar tidak terlalu panas. Ia menatap gadis disamping nya dengan sedu, berharap chubby nya bisa melewati semua ini. "Kamu cantik hera, sangat cantik, tapi takdirmu tak secantik dirimu. Tapi aku janji, aku akan selalu menemanimu, sepahit apapun hidupmu." Batin Rakhan.

"kenyang." ujar Amora, yang membuat Rakhan berhenti menyuapinya.

Rakhan mengambil 1 butir obat dinakas beserta air putih, lalu ia berikan pada gadis didepannya. "Sekarang diminum obatnya."

Amora mengangguk, kemudian membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan sabar Rakhan menyuapkan obat tersebut.

Hera yang tak sengaja melihat keduanya, tampak kesal. Ia merasa masih tak ikhlas, melepaskan sosok Rakhan dari hidupnya. Ia melangkah kan kakinya, menjauh dari keduanya. Kini ia terduduk ruang makan. "Apa pilihanku kali ini benar ya? "
"Tapi Rakhan?"
"Ahhh,kenapa aku harus merelakan orang yang selalu ada, untuk mencapai keinginan ku?" guman Hera tak henti-hentinya.

Hera menghela napas panjang, ia menatap sekelilingnya seolah mencari cara agar mendapatkan semua yang ia inginkan tanpa merelakan yang lainnya. Hingga suatu benda menarik perhatian nya, senyum liciknya kini terbit begitu saja. Dengan segera Hera menghampiri keduanya.

"Ehmm." Dehem Hera yang telah sampai dikamarnya.

"Ngapain loe kemari?" tanya Rakhan.

"Gak ngapa-ngapain kok, cuma mau ngingetin ini udah sore, saudara gue harus istirahat."

Rakhan melihat jam yang ada ditangannya, dan benar saja, hari sudah mulai sore. "Chubby, gue pulang dulu ya, loe jangan lupa minum obat."

Amora mengangguk sebagai jawaban.

"Gue pulang dulu ya."

"Iya, hati-hati."

Setelah dirasa Rakhan sudah melangkah jauh. Hera mulai mendekati Amora. Ia mengiris-iris nakas disamping mereka dengan pisau tajam yang dibawanya.

"Hera, ini kamu kan?"

Hera semakin kencang mengiris nakas tersebut. "Ck, kurang tajam." Keluhnya.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang