"Blakkk." Dengan kencang Yesi memukul meja, disertai wajah yang sudah memerah. Ia berdiri tegak menatap Hera dalam, seperti ada kemarahan yang akan muncul.
Tentu hal itu membuat Hera takut, wajah ketakutannya tak bisa ia sembunyikan.
Yesi yang mulai tersadar dengan tingkahnya, mulai mengatur napas berulang-ulang, berusaha memendam emosinya.
"Yes, gue gak bermaksud..." Hera tak meneruskan kalimatnya, ketika melihat Yesi duduk kembali dengan tenang.
"Maaf, ayok kita makan!" pinta Yesi seperti tak ada apa-apa.
Dahi Hera mengernyit,melihat tingkah Yesi yang mudah berubah. "Loe, gakpapa?"
"Gak papa, ayok dimakan."
Dengan terpaksa Hera memakannya, walau dengan rasa penasaran yang masih ada.
Istirahat pun selesai, keduanya memasuki kelas, duduk di kursi kelas.
Hera terdiam, kali ini tak ada kata yang berani ia ucapkan. Pikirannya masih berputar pada ekspresi Yesi yang marah tadi. Tampaknya Hera sedikit trauma dengan kejadian barusan.
Begitupun dengan Yesi, yang ikut terdiam. Ia tampak kebingungan dengan sikap sahabatnya kali ini, tak seperti biasanya sahabatnya begini.
"Kringg...kring...kring..." Bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas.
Yesi juga keluar kelas, berdiri dari tempat duduknya meninggalkan Hera sendiri.
Hera terdiam, rasa bersalah nya terikat kencang dihati. "Harusnya, aku nuritin perintah Kak Amora." gerutunya.
Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Besok ia akan mencoba meminta maaf pada Yesi.
Dengan lesu ia berjalan keluar kelas. Menunggu jemputan didepan gerbang.
Rakhan yang tanpa sengaja melihat Hera, berhenti tepat dibelakangnya. "Her..." Rakhan kembali menutup mulutnya, ia mengurungkan niat untuk mengajak Hera pulang bersama dengan motor yang selalu ia pakai. "Lagi pula Hera sudah menjadi Amora, pasti akan dijemput Om Brata." Batinnya, lalu pergi menjauh.
Tak lama dari itu, mobil Brata berhenti tepat didepan Hera. Segera Hera memasuki mobil.
Hening, tak ada yang membuka pembicaraan. Terlebih Hera yang merasa sedikit canggung. Ia hanya menantap keluar jendela, memikirkan Yesi, yang masih membuatnya penasaran.
Hingga pupil matanya membesar, ketika tak sengaja melihat Amora dan Rakhan berboncengan diatas motor, dengan tawa yang lebar.
Entah mengapa Hera tak menyukai hal tersebut. Ia berpikir, "bukan kah Rakha mengetahui semuanya?"
"Tapi mengapa Rakhan semakin dekat dengan Amora?"Tersirat ekspresi marah dari wajah Hera.
***
Disisi lain Rakhan dan Amora tertawa terbahak-bahak, setelah menceritakan masa kecil Rakhan yang menurut mereka lucu.
Tak sengaja Rakhan melihat tawa Amora lewat spion motornya. "Manisnya." gumam Rakhan disertai senyum dibibir.
"Hah, kenapa rak?" tanya Amora yang sekilas mendengar Rakhan berbicara.
"Enggak papa." jawabnya singkat.
Setelahnya tak ada tawa lagi yang terdengar, keduanya kini fokus menatap jalan.
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai didepan rumah megah bercat putih. Ya, ini rumah keluarga Amora.
Amora turun dari motor Rakhan, melepas helm dikepalanya, lalu tersenyum manis. "Makasih ya, udah dianterin pulang."
"Iya, sama-sama."
"Yaudah gue pulang dulu ya.""Oke, hati-hati ya." jawab Amora.
Rakhan melambaikan tangannya, lalu menancap gas.
Setelah Rakhan pergi, Amora baru memasuki rumahnya. Ia membuka memutar knop pintu depan rumah. Pintu pun berhasil dibuka, dengan menampakkan Hanum yang sudah berdiri didepannya, dengan tangan dilipat. Wajahnya tampak merah padam, seperti sedang menahan amarah.
"Mama..." ucapnya dengan nada ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Fiksi RemajaAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...