Bab 10

58 0 0
                                    

Hera semakin kencang mengiris nakas tersebut. "Ck, kurang tajam." Keluhnya.

"Kurang tajam apanya, ra?" tanya Amora.

Seketika Hera menghentikan aktivasinya. Ia mulai mengulurkan pisau tersebut tepat didada saudaranya. "Kak Amora, kau harusnya mati." Bisik Hera tepat ditelinga kanan Amora.

Amora terkejut dengan ucapan Hera barusan. "Hera loe gila ya?"

"Iya kak,aku sudah gila." Hera menarik napas dalam, mengambil ancang-ancang untuk menusuk kembarannya lebih dalam.

"Yaattt." Tiba-tiba Hera mengurungkan niatnya,ia mengacak-acak rambutnya frustasi. "Bagaimana pun Amora saudara ku, kembaranku. Aku sudah merenggut semuanya, apa pantas jika aku merenggut nyawanya juga?" Batin Hera.

"Maaf kak, aku bercanda." Lirih Hera, dengan rasa bersalahnya.

Amora menghembuskan napas pelan. "Bercandaan loe gak lucu, ra."

Hera tersenyum senang,saat melihat wajah ketakutan yang Amora tampakkan. Sebuah ekspresi yang tak pernah Amora dapatkan selama hidupnya, sedangkan dirinya selalu dihantui rasa takut. "Oh ya kak, aku ingin membicarakan sesuatu, kali ini gak bercanda."

Amora mengernyitkan dahinya. "Apa?"

Hera menatap kakaknya sejenak. "Sebuah kenyataan pahit yang harus kakak telan."

"Apa itu, ra?"
"To the point aja deh."

Hera tersenyum tipis. "Mama dan papa gak terima kalau seorang Amora yang mereka sayangi, seorang Amora yang sempurna, buta. Gak sempurna." ujar Hera dengan penekanan di kalimat terakhir.

"Hah, gak mungkin lah ra, gue buta cuma sementara."

"Ck, tapi nyatanya mereka berdua menganggap aku Amora, sedangkan kamu Hera. Karena mama papa ingin seorang Amora itu sempurna." Bohong Hera.

"Stopp ra, stop. Ucapan loe gak logis tau gak?"

Hera mendudukkan bokongnya disamping Amora, kemudian ia merangkul pundak Amora. "Kak, kamu sadar gak sih? "
"Mama papa kayak gak peduli lagi sama kakak, mama papa gak ada niatan jenguk kakak lho daritadi."

Amora tampak berpikir sejenak. "Iya ra, loe bener, terus kakak harus gimana ra?"

"Kakak harus cepet sembuh, biar bisa lihat, biar mama papa anggep kakak sebagai Amora lagi."

"Iya lho bener ra, gue harus cepet sembuh."

"Tapi sayang kak, itu semua gak akan terjadi, karena kamu berada di raga ku. Raga Khiandra hera Agnibrata yang penuh kesedihan." Batin Hera.

"Ra, gue harus sembuh, gue gak mau kehilangan kasih sayang mama papa, gue gak mau dicuekin mama, hiks... hiks... hiks... "

"Iya kak, Kak Amora harus sembuh, pasti bisa kak." Hera memeluk Amora, berusaha menenangkan saudaranya.

Flashback on

"Kakak mu,butuh donor ginjal."

Hera menatap mamanya bingung. "Lalu, apa hubungannya sama aku, ma?"

"Kakakmu begitu sempurna ra, gak boleh ada yang kurang sedikitpun. Jadi mama mohon, donorkan ginjalmu."

"Jika aku mendonorkan ginjal ku, apa bisa menembus kesalahanku, ma?" tanya Hera dengan tatapan penuh harap.

Hanum tampak berpikir, hingga akhirnya ia mengucapkan sebuah kalimat yang Hera harapkan selama ini. "Tentu, tentu bisa ra."

Mata hera melotot, dan pada akhirnya mengeluarkan air mata kebahagiaan. Ia memeluk Hanum erat, ia masih tak percaya dengan ucapan yang barusan Hanum keluarkan. Hari ini adalah hari paling bahagia baginya.

Hanum hanya terpaku,tak ada penolakan, dan juga tak ada balasan pelukan untuk Hera.

Hera mulai sadarkan diri, seusai operasi transplantasi ginjal berhasil dilakukan. Rasa nyeri dibagian bawah perut, serta kembung yang ia rasakan membuat Hera tak napsu makan.

"Hiks... hiks... hiks... ma sakit." keluhnya monolog. Rasa sakit dibekas sayatan akibat operasinya malah menambah rasa sakitnya selama ini. Terlebih kedua orangtuanya terutama hanum yang berjanji akan memaafkan kesalahan nya, tiga hari ini tak kunjung terlihat.

Hera hanya seorang diri dibangsal rumah sakit, memeluk lukanya yang semakin bertambah sendirian. Hanya ada seseorang yang selalu menemaninya, ia adalah orang yang selalu memanggilnya chubby.

Flashback off

"Kak, aku tahu saat ini kakak pasti sedih banget ya, aku punya cara agar Kak Amora bisa melupakan kesedihan kakak saat ini."

"Apa ra?"
"Tolong kasih tau gue, gue gak bisa kayak gini terus ra." mohon Amora.

Hera tersenyum sejenak, ia mengambil pisau lalu memegang lengan Amora.

"Auww." rintih Amora kesakitan, saat lengannya digoreskan pisau.

"Bagaimana kak?"
"Kakak masih terfokus pada rasa sedih kakak, atau rasa nyeri dilengan kakak?" tanya Hera dengan santainya.

"Gila loe ra, ini sakit tau."

Hera kembali tersenyum lebar. "Itu adalah caraku melampiaskan rasa sedihku, kak."

Amora terdiam mendengar pernyataan Hera. Ia merasa cara Hera ada benarnya.

Hera beranjak dari duduknya. Ia memberikan pisau itu di telapak tangan Amora. "Sepertinya Kak Amora butuh waktu sendiri, jadi aku pergi dulu ya kak." ucapnya, kemudian menutup pintu kamar tersebut, disertai senyum miring yang muncul dibibirnya. "Rencana kedua, berhasil." batinnya.

Kini Amora sendirian dikamar, ia masih saja menangis memikirkan keadaannya sekarang. "Seorang Amora harus sempurna ya ma?" "Sampai mama tak peduliin Amora lagi, ketika Amora buta?" monolog Amora.

"Amora masih butuh mama papa.. hiks... hiks... hiks."

Amora mulai menggenggam erat pisau ditangannya. "Apa aku harus celaka dulu ya, biar mama papa khawatir."

"Goresan pisau yang diberikan Hera sekarang udah gak kerasa nyeri lagi, apa kurang dalam ya?"

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang