Waktu terus bergulir. Hanya dua hari saja, sekitar empatpuluhdelapan jam lebih mungkin, dari peristiwa penyeretan Seokmin; perpisahan dirinya bersama saudara kandung satu-satunya.
Bahkan sejak hari itu hingga saat ini, masih saja Seokmin menangis. Meski tak sepanjang 48 jam itu ia menangis. Hanya saja, ia larut dalam sedihnya. Egonya sebagai seorang anak kecil begitu kuat.
Ayolah! Wajar jika anak-anak sepertinya, menjadi marah kala keinginannya tak dipenuhi terlebih, ini adalah hal yang berkenaan dengan masalah batinnya – jiwanya – hidupnya.
Ada banyak mainan yang ditolaknya. Pemberian sang ibu yang membujuknya. Ada banyak kata manis yang ia abaikan, dari mulut mahir sang ibu tersebut. Ada pula banyak makanan kesukaannya yang juga ia tolak mentah-mentah.
"Aku tidak mau!" teriaknya lantang, meneriaki sang ibu yang kini berada di ambang pintunya, bermaksud membawakannya beberapa makanan manis di dalam sebuah piring.
Seokmin, bahkan terbilang lancang. Melempar bantal kesayangannya, berwarna merah bercorak pizza ke arah pintu, membuat pintu itu kembali terbanting – tertutup dengan keras.
Kesabaran wanita dewasa cantik itu terkikis sudah. Ia menarik keras nafasnya, membusungkan dadanya dengan kedua tangan tersampir di sisi tubuhnya.
Ia buka pintu kamar menuju putra bungsunya itu, yang kini tengah menangis keras. Dapat dilihatnya Seokmin yang menangis di atas ranjangnya.
"Seokmin, kau tak ingin mendengar ibu lagi sekarang?" tanyanya tajam. "Kau tak ingin menurut pada ibu lagi?"
Langkah sang ibu mendekat, membuat Seokmin takut dan mencoba untuk menahan tangisannya yang kini berbuah isakan – isakan kecil.
"Aku ingin dengan hyung.." lirihnya mencoba menjelaskan pada sang ibu, dengan suaranya yang parau dan bergetar.
"Tapi Seungcheol yang tak ingin pulang!! Dia bahkan tinggal dengan orang lain, kau ingin sepertinya? Kau tahu mereka ada di pihak ayahmu! Kau ingin pada akhirnya tinggal bersama ayahmu? Meninggalkanku?"
Seokmin tak mengerti. Ia sungguh tak ingin mengerti. Baginya, 'hanya bersama dengan Seungcheol yang selalu membuatnya nyaman', apa inipun sulit mereka kabulkan? Seokmin tak mengerti pikiran orang-orang dewasa itu!
"Hyung.."
Panggilnya sambil menatap ke segala penjuru ruangan, berharap tiba-tiba Seungcheol hadir di hadapannya, bagai dongeng yang sering ia tonton. Ia berharap sihir itu ada untuknya!
"Dia tidak ada!" bentak sang ibu tak sabar.
"Dia tak ada disini, Seokmin! Berhenti menangis!"
Bukan!
Bukan seperti itu tindakan yang benar. Terbukti dengan Seokmin yang menangis semakin keras, tak tertahan. Hingga akhirnya sang ibu menyerah. Ia berdecak kesal, mengusap helaian rambut hitamnya, dan lalu mulai meninggalkan Seokmin.
"Ibu akan kurung kau jika kau tak berhenti menangis!" ancamnya, membuat tangis Seokmin semakin keras. Anak itu ketakutan, terlebih ketika sang ibu mulai menguncinya di dalam kamarnya sendiri.
"Hyung! Hyung!"
Hanya jeritan Seokmin yang tersisa, memekakkan telinga, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Tak terkecuali sang ibu, yang menutup mulutnya, ditemani buliran air mata yang mulai menetes dari kedua matanya. Ia bersandar di permukaan pintu yang baru saja ia tutup tersebut. Siapapun akan tahu, bahwa hatinya turut sakit dan menjerit! Seokmin anaknya! Darah dagingnya!
...
Sedang di tempat lain, keadaan tak berbeda jauh. Terlihat tegang, semenjak sang tuan Lee menginjakkan kakinya di kediaman adik perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGEUSIA ✔
Teen FictionBROTHERSHIP AREA Akan seperti apa di penghujung cerita nanti? Original Story by ®MinaHhaeElf