Hanya pukulan yang ada. Luka serta jeritan sakit. Jemari di tangan itu menyatu, membentuk satu gumpalan kuat hingga melukai siapapun yang ada di hadapannya.
Ia tak peduli bahkan mereka dalam jumlah yang banyak. Lawannya, musuh-musuhnya. Ia tak peduli meski mereka adalah pemilik asli bangsa yang tanahnya kini ia injak. Ia tak peduli akan rambut pirang mereka yang berbeda dengan miliknya. Ia tak perlu menghawatirkan darah asia sepertinya, akan kalah oleh orang-orang berdarah asing itu.
Ia hanya perlu menghabisi semuanya, meski kini terdapat luka menganga di perutnya akibat sabetan benda tajam beberapa menit lalu. Darah mengucur namun, tak ia tampakkan raut sakit sedikitpun.
Ia tak sakit meski tubuhnya berkata lain. Dengan darah yang keluar semakin banyak itu, pandangannya mulai mengabur.
Semua lawannya telah habis, mungkin juga dengan dirinya, yang kini berjalan sempoyongan entah kemana. Ia lemas, menatap ke arah langit dengan air mata menganak sungai di wajahnya meski diliputi sebuah tawa. Dalam hati ia berkata, "Beruntung, aku masih bisa menangis, hyung.."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Langit-langit putih, menjadi pemandangannya setelah terakhir kali ia melihat langit yang biru sebelum ia jatuh dalam kegelapan itu.
Ia hanya diam, hingga pintu ruangan dimana ia berada kini terbuka perlahan, menampakkan satu sosok wanita paruh baya yang sudah nampak rapuh.
"Seokmin, kau sudah bangun?" tanyanya pada dia yang baru saja terbangun itu. Seokmin.
Hanya helaan nafas Seokmin berikan. "Kenapa ibu membawaku ke rumah sakit lagi?" tanyanya.
"Apa yang kau katakan! Kau pikir ibu akan membawamu pulang dengan darah yang hampir memenuhi kemeja seragammu, huh?"
Seokmin menatap sang ibu yang terduduk di kursi di samping ranjangnya, serta mengusap sayang helaian rambut kecoklatan miliknya.
"Mengapa begitu khawatir? Toh aku tak merasakan sakitnya, bu. Aku akan baik-baik saja.." tuturnya sambil mengalihkan pandangannya pada setangkai bunga terendam separuh air di dalam vasnya, terletak di sisi jendela ruangan tersebut. Bunga rose yang disukai sang ibu.
"Benarkah?" ujar sang ibu, sambil terlihat mencibir. "Lalu mengapa kau bisa tak sadarkan diri, sayang?" tanyanya.
Seokmin diam.
"Kita sama-sama tahu, kau tak lagi mampu merasakan sakit. Tapi tubuhmu tetap bereaksi terhadap luka-luka yang menimpamu. Bukan berarti darahmu tak akan pernah habis. Jika kau terluka dan kehilangan banyak darah, kau akan tetap mati, kau tak menyadarinya?" jelas sang ibu.
"Biarkan saja begitu. Lagipula, aku tak berguna bu.."
Sejenak sang ibu terdiam, menelan kecut ludahnya, mencoba menahan buliran air yang akan keluar dari kedua matanya.
"Ibu tahu kecewamu, Seokmin.." ucapnya mulai bergetar, mengundang Seokmin untuk menatapnya, hingga ia berusaha untuk menunjukkan satu senyuman tulus. "Ibu sakit melihatmu seperti ini.."
"Ibu, bukan maksudku.."
"Semua salahku," potong sang ibunda. "Semua salah kami, telah mengecewakan kalian, membuat kalian hancur seperti ini, meski ibu tak tahu, bagaimana dengan hyungmu disana.." ucapnya, mulai mengelap air di ujung matanya.
"Ibu.."
"Sudah lama, Seok. Bahkan sudah hampir menginjak sembilan tahun kau tinggal disini bersama ibu. Ibu yang mengajakmu agar dapat sembuh dari sakitmu tapi, disini kau lebih sakit.."
Seokmin merenung, menundukkan wajahnya. Apa yang diucapkan ibunya benar. Ia lebih sakit. Hatinya kosong tanpa ada satu harapan indah, cita-cita hebat untuk masa depannya.
Selama ini ia hanya hidup untuk sang ibu. Ia ingat, hanya mampu melakukan hal buruk selama tinggal di negara orang lain tersebut. Dipandanginya kedua tangannya. Tangan dengan banyak sejarah pertumpahan darah semenjak beberapa tahun belakangan ini.
"Ibu tak menyangka kau akan berontak sejauh ini, Seok. Ibu tak berfikir sebelumnya, ini akan berakibat buruk padamu. Ibu.."
Sang ibu mulai terisak, dan menyentuh hati seorang Seokmin. Ia bangkit dengan cepat. Terduduk lantas meraih tangan sang ibu. "Maafkan aku, ibu. Aku membuatmu menangis lagi.."
"Bahkan kau tak bisa lagi merasakan sakit sekarang! Apa yang harus kukatakan pada ayahmu? Terutama pada Seungcheol!" raungnya penuh penyesalan.
Tak bisa merasakan sakit? Itulah Seokmin kini. Ia menjadi liar setelah menginjak usia dewasa di Amerika.
Terlibat banyak perkelahian, hanya untuk melampiaskan marahnya, atas nasibnya selama ini. Ada begitu banyak, bahkan sangat banyak rasa sakit yang diterimanya, hingga perlahan, Seokmin mulai melupakan, bagaimana rasa sakit itu. Seperti apa, ia tak tahu..
Padahal niat sang ibu adalah, menyembuhkan Seokmin yang sakit pada lidahnya. Kehilangan indra pengecapnya karena efek samping obat yang diberikan dokter saat dirinya demam tinggi waktu itu. Tapi kini, semua berubah. Sudah berubah membuat sang ibu yang sakit, karena memiliki banyak beban di otaknya.
"Ibu, ibu ingin yang terbaik untukmu, Seokmin.."
"Bu.."
"Katakan! Katakan kau ingin apa? Akan ibu kabulkan untukmu, sayang. Tapi ibu mohon! Hentikan semuanya. Hiduplah dengan baik, sayang.."
Seokmin terenyuh. Namun ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. "Aku ingin pulang, bu.."
"Huh?"
"Ijinkan aku pulang, bu. Aku merindukan hyung.."
"Itu akan membuatmu senang?"
Seokmin mengangguk perlahan. "Tapi aku tak akan meninggalkanmu bu. Ijinkan aku pulang sebentar saja. Setelah itu aku akan kembali. Aku janji.." ucapnya seolah mengutarakan bahwa, dirinyapun ternyata masih memiliki kasih terhadap sang ibu.
Dengan banyak pemikiran, memakan waktu berpuluh menit hingga keputusan itu datang.
"Bagaimana jika kau sekolah disana saja. Tiga tahun, apa waktumu cukup?" tawar sang ibu.
Tiga tahun bahkan akan sangat lama bukan? Sehingga Seokmin mengangguk senang. "Lalu, kau akan tinggal dengan ayahmu disana?"
"Aku tinggal dengan hyung dimanapun ia berada.."
Sang ibu mengangguk. "Ia tinggal bersama ayahmu. Selama ini ia selalu menghubungiku, menanyakan keadaanmu tapi kau jarang dirumah!" rutuk sang ibu pelan, sambil menyentil pelan hidung Seokmin.
Keadaan membaik. Bahkan Seokmin tersenyum kini. "Jangan beritahu dia, jika aku akan pulang bu. Biar menjadi kejutan.."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
AGEUSIA ✔
Fiksi RemajaBROTHERSHIP AREA Akan seperti apa di penghujung cerita nanti? Original Story by ®MinaHhaeElf