👑
Hari telah berganti, tapi Halamara tahu tak akan ada bedanya dengan yang dihadapinya kemarin. Ia harus kembali berjuang, bahkan lebih keras dari sebelumnya.
"Apa kau tahu hal yang paling menyebalkan tentang menjadi tua, Permaisuri?"
Halamara menggeleng mendengar pertanyaan sang Ibu Suri.
"Tidak bisa menunggangi kuda kesayanganmu tanpa membuat orang lain merasa khawatir pinggang atau bagian tubuhmu yang lain akan patah."
Mau tak mau apa yang dikatakan Ibu Suri membuat Halamara tersenyum. Ibu Suri tak memasang wajah melucu, tapi dia jelas memiliki selera humor yang bagus.
"Oh, tertawalah, Permaisuri. Kita hanya berdua di hutan ini. Dan jikapun suara tawamu terdengar, itu tak akan membuat para pengawal payah yang berada jauh di belakang kita, mengira sesuatu yang buruk terjadi."
"Pengawal payah?"
"Ups, aku telah berbicara tak sopan. Tapi memangnya mereka bisa dikatakan tak payah karena gagal mengejar dua orang wanita yang menunggangi kuda?"
"Yang Mulia Ibu Suri tak mengizinkan mereka menunggangi kuda seperti kita," Halamara mengingatkan dengan senyum geli di bibirnya. " Dan harus diakui bahwa kemampuan berkuda Yang Mulia sangat luar biasa," puji Halamara dengan tulus.
Ibu Suri tertawa senang mendengar pujian itu. Hidup di istana selama bertahun-tahun membuatnya mampu mengenali sebuah ucapan yang didasari dari kebaikan hati atau sebaliknya.
"Lagahark pasti akan sangat kesal. Apa kau tahu, dia tak pernah lagi mengizinkanku menaiki kuda sejak berpulangnya Raja terdahulu."
"Paduka Kaisar pasti tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Yang Mulia."
"Bagaimana mungkin kau bisa memahaminya begitu cepat?" Ibu Suri tersenyum kagum. "Apa yang kau sampaikan persis dengan alasan yang dikatakannya saat melarangku dulu."
Halamara tahu itu adalah sebuah sanjungan, tapi hanya mampu mengukir senyum tipis. Ia tak lagi mau memahami Lagahark, karena hal itu akan membuat Halamara makin memikirkannya. Yang Halamara inginkan, secara perlahan, segala sesuatu tentang lelaki itu memudar dari hati dan ingatannya.
Ibu Suri menghela napas panjang. Tawanya telah hilang, berganti sebuah tatapan lembut yang ia berikan pada menantunya. "Kau pasti merasa sangat kesakitan."
Halamara menarik tali kekang kuda saat Ibu Permaisuri berhenti di depannya. Mereka berada di dekat tebing. Dari tebing itu pemandangan indah Negeri Barat terhampar di bawah sana.
Halamara jadi mengingat kejadian tadi pagi. Saat ia berusaha untuk meredakan gejolak setelah apa yang terjadi di ruang sanggar pedang Lagahark.
Sang Permaisuri terpaksa mandi untuk kedua kalinya di tengah udara yang cukup dingin pagi ini. Bunga-bunga dan wewangian ditambahkan lebih banyak di air mandi Halamara. Hal itu karena Sang Permaisuri merasakan jejak Lagahark berada di seluruh tubuhnya. Bahkan setelah para dayang menaburkan bubuk putih di dada Halamara untuk menutupi bekas-bekas yang ditinggalkan Lagahark, beberapa kali wanita itu melihat tatapan Ibu Suri terarah pada ruam merah yang mulai berubah warna lebih gelap itu.
Beruntung rasa pusing tak lagi melanda saat utusan dari Ibu Suri datang menghadap, menyampaikan sebuah undangan untuk berkuda. Itu bukanlah undangan resmi hingga tak diadakan acara khusus.
Hanya saja saat memenuhi undangan sang Ibu Suri, Halamara terkejut ketika dirinya malah diberikan seekor kuda betina yang merupakan kesayangan sang Ibu Suri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Ratu
FantasyHalamara tahu bahwa dirinya adalah persembahan. Seseorang yang harus berdiri di garda terdepan dan masuk ke dalam benteng musuh untuk menyelamatkan kepala sang ayah. Dia ratu dengan mahkota juga kebencian mendalam dari lelaki yang menjadi suaminya...