👑
Ibu Suri tersenyum pada selir Clane yang menuang teh untuknya. Sejak dulu, Clane dikenal sebagai salah satu putri bangsawan yang sering mengadakan pesta minum teh. Wanita itu bahkan semenjak muda memiliki resep teh racikannya sendiri. Banyak yang memuji teh buatan Clane termasuk Amala. Saat dulu berkesempatan mencicipinya, Ibu Suri mengakui bahwa selir sang putra memiliki bakat untuk meracik.
Namun, rasa teh yang dinikmatinya kali ini, berbeda dari yang diingat. Meski nyatanya Selir Clane meracik dihadapannya langsung dengan senyum yang tak terlepas di bibirnya. Aroma harum yang tercium dari cangkir yang mengepul tak bisa menutupi rasa hambar yang samar dari dalam teh itu. Pun dengan senyum lebar Selir Clane, tak mampu menutupi lara yang coba disembunyikannya.
"Terima kasih karena memberiku kesempatan untuk menikmati teh buatanmu yang tersohor ini, Selir."
"Sebuah kehormatan bagi hamba Yang Mulia berkenan menerima undangan hamba. Hamba merasa tak enak hati karena melakukan undangan secara mendadak seperti ini."
"Benar," balas Ibu Suri. "Sejujurnya aku cukup heran, mengapa kau mengundangku minum teh dalam suasana mendung ini."
Clane mengerutkan kening. Matanya menatap langit. Sepanjang hari langit begitu biru. Awan yang menggantung terlihat putih bersih. Jadi Selir Clane sama sekali tak memahami dari mana kesimpulan tentang hari mendung ini.
"Hamba hanya ingin bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ibu Suri." Clane menunggu, tapi tak mendapat balasan yang berarti.
Ibu Suri hanya menatapnya sekilas sebelum kembali meyesap tehnya.
"Terlebih Kaisar sedang tak ada di sini."
Clane kembali tak mendapat balasan yang berarti. Karena tampaknya Ibu Suri terlalu menikmati racikan teh sang selir.
"Hamba harap, Paduka Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri menikmati perjalanannya."
"Semoga. Aku pun berharap sama, Selir Clane. Mereka membutuhkan waktu untuk berdua demi berlangsungnya kejayaan dinasti ini di masa depan."
Clane mengerjapkan mata berulang kali, napasnya diambil dalam-dalam mendengar ucapan dari Ibu Suri.
Kakaknya melarang Clane mengambil tindakan apapun. Lord Bronaz hanya terus mengulang kalimat yang sama, bahwa Clane akan mendapatkan segalanya yang diinginkan pada akhirnya.
Namun, Clane memiliki rencananya sendiri. Dia tak bisa duduk diam menunggu. Sang Selir merasa perlu memastikan sesuatu. Karena itulah dia mengundang Ibu Suri untuk minum teh bersama. Meski jawaban yang barus saja didengarnya bukan hal yang Clane harapkan.
Kesabaran dan senyuman adalah dua sikap sederhana yang bisa menjadi senjata. Clane menanamkan hal itu di dalam kepalanya. Berusaha agar tetap mampu memegangnya erat.
"Rupanya, Yang Mulia Ibu Suri sudah tidak sabar untuk melihat kelahiran Putra Mahkota."
"Tentu saja, Selir. Salah satu tujuan sebuah pernikahan kerajaan adalah melanjutkan tahta."
"Jadi Yang Mulia benar-benar menerima kehadiran Permaisuri Halamara?" tanya Clane tak tahan. Sikap tenang Ibu Suri dan senyuman yang terus terkembang di bibirnya saat membahas Halamara membuat Clane muak.
"Kenapa aku harus menolak? Bukankah dia adalah pilihan Putraku?"
"Tapi dia adalah adik dari Pangeran Hamraz. Seseorang yang membunuh Putri Amala."
"Apakah tangan Permaisuri sama berdarahnya dengan tangan kakaknya?"
Clane mengerjap.
Ibu Suri melanjutkan, " Sebuah dinasti tidak hanya dibangun dari kekuatan para pemimpinan dan harapan rakyatnya. Di dalamnya ada hubungan-hubungan rumit yang terbentuk dari tumpukan tulang dan darah. Tugas yang hidup adalah memastikan bahwa dinasti itu terus berlangsung, Selir. Karena ini bukan hanya tentang tanggung jawab pada leluhur, tapi juga sumpah pada rakyat dan Dewa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Ratu
FantasyHalamara tahu bahwa dirinya adalah persembahan. Seseorang yang harus berdiri di garda terdepan dan masuk ke dalam benteng musuh untuk menyelamatkan kepala sang ayah. Dia ratu dengan mahkota juga kebencian mendalam dari lelaki yang menjadi suaminya...