Dia Sipembawa Sial Itu?

737 91 13
                                        

Hera datang lagi, jangan lupa koment dan vote ya ... mari ramaikan ceritanya. Kalian boleh bantu share juga, biar cerita ini berkembang dan akunya makin rajin update.

Happy reading semua ^^

****

Saat mendengarkan apa yang Polo sampaikan, Hera hanya mengangguk kecil. Tidak perduli dimanapun ditempatkan, selama jauh dari manusia, dia merasa sangat beruntung.

Hera lebih memilih hidup berdampingan dengan hewan daripada manusia. Sebab hewan tidak menganggapnya pembawa sial tapipun meski menganggapnya begitu dia tidak akan mengerti bahasa mereka, itu jauh lebih baik.

"Tempat itu berbeda dengan tempat ini, hutannya memiliki hewan buas yang tidak terkendali." Polo berdiri diluar pintu rumah, sedangkan Hera berdiri tidak jauh dari pintu, kepala pelayan itu tidak mungkin masuk kedalam.

Hera hanya mengangguk, tidak mengucapkan satu patah katapun. Polo berbalik pergi setelah urusannya selesai. Dan Hera segera mengemasi seluruh barangnya, masuk kedalam karung.

Hera membersihkan seluruh ruangan sebelum meninggalkannya, tidak boleh ada jejak dirinya. Selanjutnya dia bergegas membersihkan diri sebelum pergi.

Namun helaan napas lembutnya terdengar sayup kala melihat tiga karung yang berisi barang-barangnya, bagaimana caranya membawa semua benda ini ketempat yang baru.

Dan bersamaan dengan itu kembali terdengar suara pintu terketuk, Polo datang sambil membawa gerobak sayur yang bisa di gunakan untuk mengangkut barang.

"Terima kasih," ucap Hera pada Polo yang akan bergegas pergi. Tanpa mengatakan apapun kepala pelayan itu pergi setelah mengatakan pada Hera kalau gerobak sayur itu bisa digunakan untuk mengangkut barang.

Hera memasukkan tiga karung itu dengan tenaga yang tidak begitu kuat, tapi usahanya tidak sia-sia. Terakhir sebelum pergi, Hera mengunci pintu lalu menyimpan kuncinya dibalik pot bunga bekas yang ada disamping pintu, setelah itu dia pun pergi ketempat yang telah ditentukan.

Jalan yang dilaluinya tidak mudah, estat Edmund berbukit dan berliku, sangat menguras tenaga. Sepanjang jalan berpapasan dengan beberapa pekerja, mereka semua menatapnya jijik.

"Tuan harusnya sadar kalau terus seperti ini estatnya bisa hancur. Untuk pertama kali kita mengalami kesialan ini." Hera mendengar para pekerja membahas kesialan sambil menatap jijik kearahnya.

Hera tidak tahu apa yang terjadi tapi yang jelas semua ucapan menyakitkan itu di tujukan untuknya. Beruntung sedari kecil sudah terbiasa dengan kalimat-kalimat seperti itu, sekarang ini dia tidak terpengaruh sama sekali.

"Ma, dia cantik sekali!" Seru seorang gadis kecil saat melihat Hera. Ini pertama kalinya dia bertemu orang asing di estat tuannya.

"Dia yang ibu bilang kemarin. Kecantikkannya tidak akan mengubah kenyataan bahwa dirinya pembawa sial." Geram ibu si anak.

"Oh, dia sipembawa sial itu?!" Seru gadis kecil itu lagi sambil menatap Hera tidak percaya. Hera tetap jalan sambil mendorong gerobaknya meski dihujami kalimat dan hinaan yang luar biasa menyakitkan.

Dari satu tempat diatas bukit seorang pria menatap jauh kearah Hera dengan tatapan tajam dan penuh amarah.

Bukan tidak tahu kalau semua pekerja menghina gadis yang terlihat sangat rapuh itu tapi tidak sedikipun dia iba karena merasa gadis itu tidak pantas menerimanya.

Satu jam lebih lamanya Hera berjalan akhirnya sampai ditempat tujuan. Tempat ini memang paling terpencil diantara kawasan estat yang lain tapi pemandangannya cukup indah dan pastinya menenangkan.

Hera mendorong gerobaknya hingga sampai didepan sebuah gubuk yang memiliki pohon besar yang cukup rindang, ada tempat untuk bersantai tepat dibawah pohon tersebut.

Sebelum masuk kedalam gubuk gadis itu melihat-lihat sekitar, seperti apa yang Polo katakan, dibelakang rumah terdapat aliran anak sungai yang langsung menyatu dengan hutan rimba.

Anak sungai itu memiliki air yang cukup jernih, suara alirannya juga terdengar sampai kegubuk tapi Polo mengatakan kalau dirinya tidak boleh kesungai, ada sumur didalam gubuk yang bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Dibelakang gubuk juga terdapat lahan yang cukup luas, bisa dijadikan kebun kecil tapi sayang tidak ada bibit. Hera sedikit menyunggingkan senyum karena merasa tempat ini memang layak untuknya.

Jauh dari manusia sehingga dirinya tidak perlu mendengar hinaan dan perlakuan butuk. Meski kesannya terisolasi, tapi tempat seperti ini memang tempat yang diinginkannya.

Tidak mau membuang waktu, Hera langsung masuk kedalam gubuk. Membersihkan suruh bagian agar nyaman untuk ditinggali. Dapurnya sama seperti dapur ditempat lama, alat masaknya lengkap.

Lebih dari lima ham Hera membersihkan seluruh bagian gubuk, sekarang lebih layak untuk ditinggali. Selesai bagian dalam sekarang bagian luar, seluruh halaman disapunya hingga terlihat lebih bersih dan tertata.

Meski lahir dari keluarga yang cukup kaya, Hera tidak pernah merasakan hidup seperti nona muda. Hidupnya lebih mirip seperti seorang pelayan, tidak heran dia bisa membersihkan seluruh rumah dengan gampangnya.

Dirumahnya dulu dia tidak tinggal dalam kamar nona myda, satu kamar pelayan dikosongkan untuknya. Bahkan kamar bibi Mete lebih besar dan bagus dari kamarnya.

Kamarnya tidak memiliki jendela besar, hanya pentilasi kecil untuk keluar masuknya udara. Sudah sering kali almarhum bibinya memohon pada ayahnya untuk memberikannya kamar yang bagus tapi ayahnya langsung menolak dengan mengatakan kalau dirinya tidak pantas mendapat kemewahan.

Benar, seorang pembawa sial seperti dirinya tidak pantas menikmati kemewahan seperti yang lain. Hidup dengan mengorbankan hidup orang lain sama sekali tidak layak di perlakukan sebagaimana mestinya.

Hera menghentikan gerakkan tangannya yang sedang menyapu daun kering karena melihat seorang wanita tambun berjalan kearahnya dengan gerobak yang didorong oleh seorang pelayan pria.

Wanita tambun itu mendumal dan mengumpat, samar Hera mendengarnya. Umpahatn dan dumalan itu jelas untuknya, dan saat berhadapan dengannya, wanita tambun itu langsung menghardiknya.

"KAU SELALU MEMBUATKU SUSAH! KENAPA TIDAK MATI SAJA, HAH?" Hera tidak menjawab.

Pelayan pria yang mendorong gerobak langsung melengos masuk kedalam pekarangan rumah dengan raut wajah yang sangat menakutkan.

Sama seperti wanita tambun itu, dia pun sangat kesal saat di perintahkan harus mengantar bahan makanan ketempat ini. Selain jalannya yang jauh dan menyulitkan, bertemu sipembawa sial adalah hal yang paling tidak ingin di lakukannya tapi apa daya, tuan memerintahnya.

Terdengar suara bantingan gerobak cukup keras, "DUA MINGGU SEKALI AKU DATANG MENGANTAR BAHAN MAKANAN TAPI AKU TIDAK AKAN MENGANTARNYA SAMPAI KETEMPAT INI. MINGGU SENJA KAU PERGILAH KEBUKIT ITU, AKU TINGGALKAN GEROBAK MAKANAN DISANA!"

Tanpa menoleh Hera mengangguk.

"Sangat disayangkan wajah cantikmu terbuang sia-sia karena nasib buruk yang menyertaimu. Harusnya mereka melenyapkanmu begitu lahir, dengan begitu tidak ada yang menanggung kesialanmu!" Geram pelayan tambun itu.

Hera hanya diam, hatinya sudah tidak merasakan sakit atas ucapan dan hinaan orang-orang.

Hera berbalik menuju gerobak setelah kedua orang itu pergi. Didalam gerobak penuh bahan makanan untuk dua minggu kedepan, seperti yang pelayan pria itu katakan.

Dan saat mengeluarkan bahan-bahan makanan itu, gadis itu tahu kalau bahan makanan yang diberikan padanya sudah tidak layak. Sayurannya banyak yang busuk.

Hera harus memilih dengan teliti bahan makanan yang masih bisa diolah. Dan sangat sulit memilihnya saat hari mulai gelap, satu hal yang Hera ingat, dia tidak punya lilin untuk menerangi ruangan.

Tapi Gera tidak menyerah, gubuk ini ada ruang perapian, bisa nyalakan api disana untuk menerangi gubuk yang baru dibersihkannya.

SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang