Zavion tidak memperdulikan Norman bahkan suara temannya itu sama sekali tidak terdengar. Tatapannya kembali pada Hera yang menunduk takut, jarinya memilin gaun lusuh yang sebenarnya sudah tak layak pakai.
Norman menyadari ada sesuatu yang tidak beres antara temannya dan gadis yang terlihat sangat ketakutan, mirip kelinci yang gemetar saat berhadapan dengan singa lapar.
Tapi temannya bukan singa, Zavion tidak pantas disamakan dengan hewan buas karena hatinya sangat lembut dan pikirannya begitu positif. Kalau ingin menggambarkan Zavion, pria itu mirip pegasus yang penuh kebijaksanaan.
"Aku anggap tidak mendengarnya." Suara Zavion begitu dingin, tidak sehangat biasa. Norman agak bergidik ngeri mendengarnya, beberapa detik kemudian dia tersadar.
"Maksudmu? Ucapanmu barusan untuk siapa?" Tanyanya. Zavion lagi-lagi mengabaikannya.
"Kalau begitu bukan untukku, aku akan menyiapkan kereta kuda untuk mengantarmu kembali ke Widbury."
"Aku yang akan mengantarnya langsung," ucap Zavion tanpa melihat Norman. Pria itu kesal bukan main dengan sikap temannya.
"Baru beberapa waktu di Widbury kau sudah meniru gaya bicara mereka? Kau jangan membantahku, semua demi kebaikkan kita, kelangsungan hidu ki ..." Norman langsung terdiam karena tatapan penuh peringatan Zavion.
Mendengar itu Hera tidak bisa menahan diri untuk segera pergi. Keadaan akan semakin buruk kalau dua pria ini bersamanya. Tidak masalah kalau keburukkan itu hanya menimpa dirinya tapi kalau menimpa keduanya, sungguh sangat mengerikan.
Hera memberanikan diri mengangkat kepalanya, membalas tatapan Zavion yang tiba-tiba melembut. Jujur Hera tidak pernah mendapat tatapan seperti itu dari lawan jenis, yang dia tahu hanyalah tatapan kasih bibinya.
"Terima kasih sudah menolongku, aku berhutang banyak padamu. Tapi ..."
"Kalau begitu bayar dengan kepatuhanmu." Potong Zavion. Norman menatap temannya tidak percaya. Kepatuhan apa yang di maksud? Semakin lama dia semakin tidak mengerti dengan temannya.
Zavion menoleh kearahnya, "aku harus bicara berdua dengannya, aku akan menemuimu setelahnya."
"Ta ..." Norman menggela napas gusar sambil mengangguk. Sejenak melirik kearah Hera lalu pergi dengan perasaan kesal. Saat ini situasinya sangat genting tapi temannya masih sempat bicara dari hati kehati dengan gadis itu.
"Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri kalau terjadi sesuatu pada kalian," ucap Hera pelan. Suaranya sedikit bergetar karena berusaha sekuat mungkin untuk bicara.
"Tidak akan ada yang terluka," ucap Zavion. Dia menatap Hera yang kembali menunduk, mata indah gadis itu tak bisa lagi ditatapnya.
Hera memiliki mata yang sangat indah, seperti hijau lumut tapi terkadang warnanya menerang, bersinar bagai padang rumput yang indah. Dan seharusnya memang seperti itu karena Hera terlalu cantik untuk menyembunyikan wajah dan matanya yang sempurna.
Hera menggeleng, "aku sangat berterima kasih tapi aku tidak bisa ikut denganmu." Cicit Hera.
"Sudah kukatakan, aku akan membawamu ketempat dimana orang-orang akan menerima keberadaanmu. Tidak ada yang akan menilaimu buruk."
Tidak ada tanggapan dari Hera, beberapa saat suasana menjadi hening dan sedikit mencekam.
"Kau punya tujuan? Kalau iya aku akan mengantarmu kesana." Hera tidak mengatakan apapun karena tidak ada tempat yang bisa dituju.
Lahir dan besar dalam cangkang kediaman pria yang tak lain ayahnya, membuatnya tidak tahu dunia luar. Bahkan dia sendiri tidak tahu wilayah tanah kelahirannya.
"Kau tidak punya tujuan, artinya aku harus menolong dan memastikanmy selamat. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, tidak ada tempat yang aman kecuali kau punya tujuan. Kalau ..."
"Kau tidak akan mengerti."
"Aku mengerti." Hera mengangkat kepala dan kembali menatap Zavion. Jantung Zavion berdetak lebih kencang saat bertemu tatap dengan mata indah Hera.
Akan lebih indah kalau kantung mata dan sembab hilang sempurna.
"Kau tidak mengenalku, kau tidak tahu siapa aku. Kau pasti menyesal ..."
"Aku mengenalmu. Kau gadis penakut yang memberi tumpangan pada orang asing, membiarkannya berlindung digubuk reotmu tanpa berpikir orang asing itu bisa saja mencelakaimu."
"Aku takut tapi aku tak tahu harus melakukan apa." Hera menunduk dengan suara yang semakin melemah. Bicara terlalu banyak seperti ini membuat jantungnya terasa nyeri, takut dan cemas melebur jadi satu.
"Karena kau membiarkan dirimu dalam cangkang yang di ciptakan orang-orang."
Hera tak menanggapi apa yang Zavion ucapkan, hati dan tubuhnya sangat lelah. Entah seberapa jauh lagi harus berlari untuk terhindar dari sosok itu.
Tidak! Dia tidak bisa menghindar, tidak ada cara lain selain menghilang dari bumi ini.
"Andai kau tak menolongku." Lirih Hera.
"Aku tidak akan membiarkanmu mati begitu saja. Tidak seorang manusiapun pantas mengambil nyawa manusia lain, kalau keinginanmu mengakhiri hidup karena orang lain, sungguh tidak layak."
"Sangat layak." Cicit Hera. Dia ingin menegaskan pada pria itu kalau dirinya memang pantas mati.
"Begini saja, kau boleh pergi setelah merasa siap dan sehat. Sementara itu tinggalah ditempatku, orangtua dan adik-adikku akan membantu menjagamu."
Hera merasa dirinya memang bukan miliknya. Tidak ada satupun yang bisa di lakukannya atas kehendaknya. Sangat sakit hidup seperti ini.
Bagaimana bisa dia hidup dengan orang asing, membiarkan mereka menjaganya tanpa tahu asal usulnya.
'Tuhan! Sebegitu senangnya kah kau mempermainkanku? Sampai kapan?'
Hera membelakangi Zavion lalu meringkuk, memejamkan mata tanpa mengatakan apapun lagi. Zavion mengulurkan tangan tapi berhenti di udara, hatinya merasakan sakit yang Hera rasakan.
Tanpa mengatakan apapun dia keluar menemui Norman.
"Aku yang akan membawanya, kau kembalilah. Kalau dia mencariku katakan kalau aku harus pulang karena urusan mendadak."
"Dan dia langsung tahu gadis itu bersamamu. Apa kau mau mati? Aku setuju membantumu bukan berarti ingin berjuang sampai titik darah penghabisan."
"Kau kasihan padanya." Tembak Zavion.
"Itu ..." Norman tidak bisa berkata-kata. Dia menatap kesal temannya lalu membuang napas dengan kasar. Sial!
Zavion menepuk pundaknya, "aku tahu kau perduli. Dan kumohon, perdulilah sampai akhir. Dia tidak akan mengira gadis itu bersamaku meskipun curiga."
Norman tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengangguk setuju.
"Baiklah." Dia mengeluarkan kunci rumah lalu memberikannya pada Zavion, "jangan libatkan keluargamu. Untuk berjaga-jaga bawa dia kerumah peristirahatanku, disana dia pasti aman. Pria itu tidak akan sampai kesana meski menggeledah habis rumahmu."
Zavion mengambil kunci rumah dari tangan Norman lalu memeluknya, "kau teman baikku."
***
Setelah lebih dari lima hari berada dalam perjalanan, keduanya sampai dirumah Norman. Bukan rumah utama tapi rumah peristirahatan, tepatnya dibalik bukit Cadbury."Aku tidak membawamu kerumahku. Ini rumah singgah Norman, temanku."
Mau tidak mau Hera menerima uluran tangan Zavion. Dia turun dari kereta kuda yang di ganti saat mereka berpisah dengan Norman.
Untuk pertama kalinya Hera melihat perbukitan yang indah dengan hati tanpa rasa takut. Dihadapannya kini ada rumah kayu yang tidak begitu besar tapi sangat nyaman.
Tidak ada rumah lain selain rumah ini.
Hera berjalan masuk kedalam rumah, mengikuti Zavion yang sudah lebih dulu jalan untuk membuka pintu.
"Ayo." Zavion mempersilahkan Hera masuk.
Dan Zavion terpana dengan binar mata Hera yang terpancar indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samar
Roman d'amourJangan coba-coba berani plagiat cerita ini kalau gak mau malu dan nanggung akibatnya. Cerita ini sudah lindungi hukum yang jelas. *** Terlahir dengan julukkan 'pembawa sial' sama sekali tidak pernah diinginkan siapapun, termasuk Zhepyra Hermia (Hera...