Tidak Akan Muncul Lagi

762 94 25
                                        

Halo kesayangan ....
I'm back ....
Selamat membaca, kalau berkenan boleh follow, vote dan koment ya.

Do'akan aku bisa update rutin ya :) i love you all ....

***
Hera tertatih menuju gubuk setelah memastikan dua pelayan yang gemar melihatnya tersiksa pergi. Sangat jelas dia mendengar bagaimana keduanya berencana menjebaknya.

Jika itu terjadi dia tidak akan menghindar.

Mati adalah impiannya, semakin sering menerima siksaan semakin cepat kematian datang menghampiri. Sekarang yang harus dilakukannya adalah menunggu dan menerima.

Malam harinya setelah makan dan minum obat Hera duduk didepan jendela, menatap bulan yang tertutup awan pekat berkabut. Dalam diamnya Hera memikirkan banyak hal, tapi tidak satupun yang benar-benar di pikirkannya.

"Bi, aku merindukanmu. Andai hari itu kau tidak menolongku, hari ini pasti kau sedang berbahagia. Kenapa kau mempertaruhkan nyawa untuk orang sepertiku?" Tanpa sadar Hera menangis.

"Aku tidak berguna dalam hal apapun, harusnya aku yang mati hari itu. Kematianku akan membawa kebahagiaan semua orang, terutama dia." Dia yang Hera maksud adalah ayahnya.

Seumur hidup Hera tidak pernah memanggilnya ayah, pria itu tidak mengizinkan. Sama seperti pelayan, dia memanggilnya tuan.

Hera memutuskan untuk tidur karena hari semakin gelap. Dia meringkuk dilantai yang beralaskan selimut lusuh. Ruang perapian tidak begitu berfungsi karena minimnya kayu bakar.

Hera berencana masuk hutan besok untuk mencari kayu bakar. Selama tinggal ditempat ini tidak sekalipun dia mendapat jatah kayu bakar ataupun arang.

***
Hera membalut kakinya dengan sobekkan baju yang tidak terpakai lagi. Dengan begini luka yang ada di telapak kakinya akan terjaga.

"Hei!" Suara seorang perempuan memanggilnya. Hera mengedarkan pandangan tapi tidak menemukan keberadaan sipemilik suara.

"Hei! Aku disini!" Hera memusatkan perhatiannya pada sebuah batu, dibalik batu besar itu ada seorang perempuan yang cukup dikenalinya.

Hera tidak mengatakan apapun, memilih menjauh agar tidak timbul masalah baru. Gadis itu mengejarnya, dengan mudah menyamai langkah Hera yang tidak maksimal.

"Jangan takut, aku kemari ingin minta maaf padamu. Aku menunggumu dari matahari belum terbit, kalau kau mengabaikanku bukankah sangat keterlaluan?" Hera mengabaikannya.

Wanita itu bisa melihat telapak kaki Hera berdarah, dibalik balutan kain yang menutupi luka itu pasti darah segar terus mengalir.

Wanita itu tidak tahan lagi, "kalau kau tidak berhenti, aku akan menemui pria gila itu dan mengatakan kalau kau menyakitiku!" Hera langsung berhenti, wanita itu tersenyum puas.

Tapi ketika Hera berbalik, senyumnya langsung hilang berganti rasa bersalah.

"Aku akan sangat berterima kasih padamu jika kau melakukan itu."

"A—aku ...." Hera kembali melanjutkan jalan, menuju bibir hutan dimana terdapat banyak ranting yang bisa di gunakan untuk bahan bakar.

"Namaku Esperanza, kau bisa memanggilku dengan apa saja. Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin, harusnya kau tidak terlibat." Dia menyusul Hera.

"Jangan mengacuhkanku, niatku baik. Aku ..."

"Sebaiknya kau menjauh dariku, kau tahu benar kalau aku pembawa sial." Suara Hera datar dan hambar, Esperanza semakin tidak enak hati.

Tapi dia tidak bisa menjauhi Hera.

"Siapa namamu? Tidak sopan mengabaikan orang yang sudah memperkenalkan diri."

SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang