Dan akhirnya Hera tahu kalau dokter yang memeriksanya tadi adalah dokter pribadi raja. Tidak sengaja dia melihat dokter itu bicara dengan pria sambil membungkuk hormat, tepat dipintu kereta berlambang kerajaan.
Hera memberanikan diri untuk masuk kedalam kereta yang akan membawanya kembali ke Cadburyy. Saat ini dirinya sudah cukup pulih untuk melanjutkan perjalanan.
Lebih tepatnya siap menerima intimidasi dari sosok yang tidak terlihat selama dua hari ini.
Tapi ternyata pria itu tidak ada, tidak mungkin pria itu tidak kembali sementara kereta sebentar lagi akan bergerak pergi.
Hera hampir terhempas kelantai saat kereta mulai bergerak, tubuhnya langung beringsut kesudut kereta, tempat biasa ia duduki selama perjalanan.
Hera meluruskan kaki lalu menekuk yang sebelah kiri, alas kaki yang beri seorang pelayan atas dasar perintah dokter di lepasnya untuk melihat telapak kakinya yang tertutup kaus kaki dan perban.
Hera mengelusnya lembut sambil menangis karena selama dalam perjalanan dia tidak tahu kalau kakinya hampir infeksi.
Yang dia ingat ibunya Zavion sudah membantu mengobatinya, tapi kenapa masih belum sembuh?
Hera ingat kakinya membaik selama tinggal ditempat itu, mungkin luka yang didapatnya merupakan luka baru saat lari menuju tebing tanpa alas kaki, keesokkan harinya saat menuju kereta juga tidak menggunakannya begitupun hari-hari selanjutnya selama berada dikereta ini.
Dia meninggalkan semua barang pemberian ibunya Zavion. Mulai dari pakaian, riasan, alat menyulam bahkan sampai alas kaki. Pria itu tidak mengizinkan membawa satupun barang yang bukan miliknya.
Alhasil saat ini dia hanya mengenakan pakaian lusuhnya yang sudah tidak layak pakai, bawaannya yang lain adalah kotak yang berisi benang dan jarum yang selalu dibawanya kemanapun sejak lari dari gubuk itu.
Hera menatap pias telapak kakinya, mengatakan dalam hati kalau semua pengobatan yang diterimanya sia-sia tapi dia cukup berterima kasih pada raja karena telah menolongnya.
Tanpa bertanya Hera tahu kalau yang menolongnya adalah raja, tidak mungkin dokter itu menolongnya dengan inisiatif sendiri. Jelas tidak mungkin karena dokter itu tampak sangat membencinya, terlebih tidak ada yang bisa bertindak tanpa perintah raja.
Hera ingat bibinya pernah berkata kalau raja memiliki sifat yang baik dan bijak, selera humornya juga bagus. Bibinya pernah bertemu raja tapi bukan sebagai kekasih pria itu melainkan karena bibinya berteman baik dengan istri raja atau yang disebut ratu.
Dan sekarang dia bisa merasakan kebaikkan raja, bibinya memang tidak pernah berbohong. Suatu hari kalau punya kesempatan, dia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung, ternyata raja masih memikirkan rakyatnya yang terkutuk ini.
***
Tepat tengah malam Hera sampai dikastil Edmund. Kastil yang sangat seram dan surat, ditambah lagi kabut malam yang tebal membuat malam semakin mencekam.Hera terkejut saat bertemu tatap dengan Polo, kepalanya langsung menunduk. Kepala pelayan itu menatapnya sebentar kemudian beralih pada kusir, keduanya bicara dalam bahasa yang tidak dia pahami.
"Ikut aku." Suara Polo menyadarkan Hera dari lamunannya. Tanpa bertanya Hera mengangguk dan langsung masuk kedalam lorong yang sangat gelap, cahaya hanya berasal dari lentera yang di pegang Polo.
Hera menaiki banyak anak tangga sampai lututnya lemas dan gemetar. Belum lagi tangga batu yang dilaluinya dialiri air yang entah datang darimana, lukanya kembali basah.
Setelah beberapa saat akhirnya Hera sampai di undakkan terakhir, Polo memintanya melepas alas kaki dan sedikit memeras ujung gaunnya yang basah.
Polo tidak basah karena menggunakan boots, kepala pelayan itu hanya melepaskan boots dan menggantinya dengan sepatu yang biasa dia kenakan.
Hera mengangguk kecil saat Polo bertanya melalui tatapannya. Kepala pelayan itu melanjutkan jalan. Karpet tebal dan halus menyambut kaki telanjang Hera.
Saking halusnya terasa sanggat mneggelitik, terlalu fokus pada karpet halus itu Hera hampir menabrak punggung Polo, ternyata pria itu sudah berdiri tepat didepan daun pintu yang menjulang tinggi.
Polo membuka pintu lalu mempersilahkan Hera masuk, jantung Hera kembali berdetak kencang.
"Mulai sekarang kau tinggal disini, jangan keluar tanpa perintah. Ditempat ini kau tidak bisa kemanapun jadi jangan berpikir untuk melarikan diri LAGI."
Polo menekan kata lagi sebagai pengingat tegas untuk Hera, jelas kepala pelayan itu tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu sampai memutuskan melarikan diri.
Polo sebenarnya sangat kecewa pada Hera, kenapa bisa tertangkap tapi saat mengingat kembali siapa tuannya, dia mewajarkan kenapa gadis ini sekarang berdiri di hadapannya.
"Segala keperluanmu akan di sediakan dan apa yang terdapat dalam ruangan ini boleh kau gunakan termasuk pakaian dan riasan." Hera mengikuti arah tunjuk Polo.
"Kalau tidak ada yang ingin kau tanyakan, aku pergi."
"Sampai kapan aku disini? Maksudku ..."
"Gubuk itu sudah dibakar, tepat setelah kau melarikan diri. Berapa lama kau disini tergantung keinginan tuan. Kau akan mengerti kenapa berakhir disini." Hera tentu saja sangat terkejut mendengar itu. Sementara Polo bersiap pergi.
Tapi tepat didepan pintu kepala pelayan itu kembali bersuara, "dilaci meja rias terdapat obat-obatan yang kau butuhkan, minum sesuai petunjuk yang sudah tertulis. Dan habiskan makanan yang diatas meja."
Sontak Hera melirik keatas meja, ada senampan mangkuk yang berisi makanan. Hera tidak mengatakan apapun sampai Polo pergi meninggalkan ruangan tempat yang akan ditinggalinya.
Hera terduduk lemas, menarik lutut dan memeluknya. Semua ini bukan bentuk kebaikkan hati pria itu. Sangat tidak mungkin pria itu berbaik hati padanya.
Tubuh Hera kembali menegang setelah itu menggigil saat mengingat penawaran yang di setujuinya. Pria itu akan mengambil apa yang selama ini di jaganya.
Pria itu tidak percaya kalau antara dirinya dan Zavion tidak ada hubungan seperti itu. Pria itu akan membuktikannya sendiri, yang artinya tubuhnya akan tercemar.
Memikirkan hal itu tubuh Hera semakin menggigil ketakutan. Bayangan kejadian waktu itu saja masih sangat membuatnya trauma bagaimana mungkin dia bisa melewati hari-hari berikutnya?
Hera tergeletak dilantai, tubuh yang awalnya menegang perlahan melemas tanpa daya. Hera tidak punya pilihan lain termasuk mati, dia harus tetap hidup dan menerima semua siksaan pria itu agar Zavion dan keluarganya tetap baik-baik saja.
***
"Tuan tidak menerima tamu hari ini ternasuk anda." Polo menolak kedatangan Zavion.Setelah waktu sarapan berlalu Zavion langsung mendatangi kediaman Edmund. Dengan alasan ingin melaporkan tentang pekerjaan selama satu bulan terakhir, dia ingin memastikan kalau Edmund tidak bertemu dengan gadis itu.
Demi Tuhan! Dia tidak bisa menunggu lagi tapi sekarang kedatangannya ditolak.
"Saya harap anda mengerti, tuan tiba sangat larut dan sekarang sedang beristirahat. Anda bisa kembali setelah saya mengirim pesan, sore atau malam nanti."
Zavion terpaksa meninggalkan kasti Edmund dengan perasaan yang cukup kecewa.
Saat akan meninggalkan kastil dia melihat seorang pria menunggang kuda kearahnya dengan kecepatan penuh. Dan pria itu menarik kekang tepat didepan wajahnya.
Nyaris kuda pria itu menerjangnya.
"Apa yang kau bawa pagi-pagi sekali?" Tanya Edmund setelah lompat dari punggung kuda, "ada yang harus aku tahu atau yang harus kau tahu?" Edmund menunjukkan senyum iblisnya.
Zavion membungkuk hormat, "aku ingin menunjukkan laporan."
"Berarti yang harus kutahu."
Edmund melirik Polo, "dia membawa laporan penting, harusnya kau mengizinkannya masuk. Aku cukup disambut dikediamannya, kau harus melakukan hal yang sama."
Kalimat yang mengandung makna tersirat, Zavion tentu tahu.
"Maaf atas ketidak tahuanku, your grace."
Zavion tidak memanggil Edmund seperti itu karena statusnya bukan sebagai bawahan melainkan rekan bisnis. Dan Edmund tidak mencampur adukkan antara status dan bisnisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samar
RomanceJangan coba-coba berani plagiat cerita ini kalau gak mau malu dan nanggung akibatnya. Cerita ini sudah lindungi hukum yang jelas. *** Terlahir dengan julukkan 'pembawa sial' sama sekali tidak pernah diinginkan siapapun, termasuk Zhepyra Hermia (Hera...