Tidak Berpaling Dariku

759 86 13
                                        

Hera menatap langit nanar langit berkabut yang hampir gelap. Kejadian beberapa waktu lalu kembali berputar. Tubuhnya menggigil karena sakit dan takut.

Membayangkan wajah mengerikan Edmund membuat tubuhnya meringkuk seperti bayi. Rasa sakit langsung menjalar dari ujung kaki sampai ujung kepala, tubuh mungil Hera tidak berdaya tapi tidak boleh mati ditempat ini.

Matanya mengedar pandangan sekitar, sadar kalau dirinya masih berada ditempat pemandian. Hera berusaha bangkit dan duduk, menatap kedalam kolam dimana masih terdapat bangkai tupai yang sudah menggembung.

Hera berdiri dan berjalan tertatih menuju sudut pemandian, mengambil alat yang berfungsi sebagai pengumpul daun yang masuk kedalam kolam.

Dia mengambil bangkai tupai tersebut lalu membersihkan kolam dengan membuka penutup air yang berada di pinggir kolam. Sebelumnya Polo sudah memberi tahunya, kapan air kolam harus di ganti dan diisi ulang.

Sambil menunggu air kolam habis, Hera membersihkan sekitar. Tenaganya surah tidak ada tapi harus melakukannya, jangan sampai pria itu kembali murka dan menyiksanya hingga setengah mati, tidak kuat.

Hera juga membersihkan ruangan tempat biasa pria itu membersihkan diri setelah berendam, tidak satu ruanganpun yang terlewat, tidak perduli hari sudah mulai gelap dan tubuhnya mulai runtuh.

'Bertahanlah, sedikit lagi selesai' batinnya.

Sementara itu didalam kastil Edmund tengah menikmati makan malam dengan tenangnya. Sedikitpun tidak memikirkan keadaan gadis yang di hajarnya habis.

Tidak ada perasaan iba dalam dirinya apalagi untuk orang seperti Hera. Baginya Hera sama seperti peliharaan, tidak berarti sama sekai, puasa menyiksanya maka setelah itu di lenyapkan.

Selesai makan Edmund pergi ketempat perjudian seperti biasa, dengan menunggangi kuda hitam gagahnya, tidak butuh waktu lama untuk sampai ketempat tersebut.

Suasana tempat perjudian tentu ramai dan pengap, tidak hanya orang berjudi, ada juga orang mabuk serta pelacur yang menjajakan diri. Aktifvitas seperti ini sudah biasa baginya, selain judi tidak ada yang menarik baginya.

Tidak sedikit pelacur yang mencoba menggodanya tapi berakhir dengan hinaan yang memalukan. Pelacur yang sudah biasa dihina tidak akan tahan kalau berhadapan dengannya, karena itu tidak ada yang berani mendekatinya.

"Sebaiknya kau jangan mencoba, percayalah. Begitu kau mendekatinya, kepercayaan dirimu lenyap begitu saja, lidahnya lebih tajam dari pedang." Bisik seorang pelacur pada pelacur muda yang baru saja tiba, cantik dan cukup menggairahkan.

"Sudah sampai disini tentu aku harus menangkap ikan besar yang menguntungkan. Menjadi pelacur bukan impianku, tapi karena sudah terlanjur berkubang dalam dunia ini, bukankah aku harus memiliki impian besar?" Dia menatap Edmund yang tengah serius berjudi dengan tatapan penuh minat.

"Memangnya pelacur masih bisa bermimpi?" Tanya pelacur lain yang siap menyambut langganannya.

"Tentu, melayani pria yang memiliki aura penguasa. Pencapaian tertinggi seorang pelacur adalah bisa tidur dengan pria seperti itu, akan kubuat dia tidak bisa berpaling dariku." Tekad pelacur muda itu.

"Coba saja, aku ingin lihat sejauh mana rasa percaya dirimu bertahan, apalagi setelah menghadapinya."

Pelacur muda itu mendekati meja judi Edmund lalu berdiri disampingnya, tersenyum hangat sambil menyajikan anggur.

"Sepertinya pengurus tempat ini lupa kalau aku tidak suka di ganggu ngengat." Ngengat merupakan binatang kecil bau, bisa dikatakan hama.

Beberapa teman judi Edmund langsung menatap pelacur muda itu dengan iba. Mereka melirik pelacur lain yang duduk sofa lain dengan tatapan penuh tanya, mereka hanya mengedikkan bahu acuh.

Edmund membuka kartu terakhirnya, kembali memenangkan permainan. Dia tidak pernah kalah dalam hal perjudian, tapi herannya masih banyak yang mau bertanding dengannya.

"Anda sangat hebat, tuan. Aku baru tiba ditempat ini, semua orang membicarakan kehebatan anda."

"Pelacur sepertimu tidak pantas berbasa-basi. Belahan dadamu saja tidak menarik apalagi vaginamu." Pelacur muda itu tersenyum kikuk, penghinaan yang luar biasa memalukan.

"Pergilah, jangan ganggu kami," ucap seorang pria yang sedari tadi menjadi lawan main Edmund. Entah berapa banyak uangnya yang sudah habis di meja judi ini.

Saat pelacur muda itu ingin beranjak dari tempatnya, suara Edmund mengintrupsi, "perawan?"

Yang menjawab bukan wanita itu melainkan pemilik tempat yang awalnya datang untuk membawa pelacur muda itu pergi, "ya, dia masih perawan, tuan tertarik padanya?"

Pelacur muda itu berbalik lalu tersenyum hangat pada Edmund, merasa diatas angin karena pertanyaan Edmund seperti menaruh minta padanya, semua orang memperhatikannya.

Termasuk para pelacur lain yang menganga heran sekaligus takjub karena pelacur muda ini berhasil menarik perhatian Edmund meski dihina lebih dulu.

"Harga?" Edmund menanyakan harga yang harus di bayarnya untuk perawan muda itu.

Pemilik tempat langsung memberi harga tinggi yang masih di anggap murah oleh Edmund.

Edmund menatap lawan mainnya, "malam ini kau sudah habis banyak, estatmu bahkan sudah tergadaikan. Wanita itu untukmu, kau butuh pelampiasan. Aku yang bayar."

Pelacur muda itu melotot lalu berkata, "aku menolak. Tuan, aku hanya melayani orang yang membayarku, kau ..."

"DIAM!" Pemilik tempat sekaligus germo membentak pelacur muda tersebut.

"Aku tidak bisa menerima ini! Aku memang pelacur tapi aku ..."

Tamparan keras mendarat di pipinya, "pelacur tidak punya hak bicara. Kau melayani siapa yang membayarmu, dan yang membyarmu punya hak penuh dalam memperlakukanmu. Kalau dia ingin kau tidur dengan orang lain, maka kau harus melakukannya."

Edmund bangkit dari tempatnya, sebelum meninggalkan tempat pejudian itu, dia berkata dengan kejamnya, "harga yang kau berikan sangat murah dan aku jamin rasanya tidak enak."

Pelacur muda itu terduduk lemas, remasan pada gaun malamnya menandakan betapa sakit hatinya dia.

"Ah ... saatnya aku menikmati hadiah Edmund." Pelacur muda itu di seret kesalah satu kamar. Rontaannya tidak menghentikan dua algojo yang menyeretnya.

"Aku bilang juga apa, jangan mengganggu iblis itu." Gumam seorang pelacur yang merasa iba dengan pelacur muda itu.

Meskipun mereka pelacur tapi saat pertama kali melakukannya, biasanya pemilik tempat memberi kesempatan untuk memilih pria seperti apa yang mereka inginkan.

Pria yang merangkul pelacur itu berkata, "tadinya aku tertarik mencicipinya tapi karena sudah di permalukan Edmund, aku tidak lagi tertarik. Harganya pasti semakin lama semakin turun, lihat saja, perlahan dan pasti dia tidak akan melayani para orang kaya. Malangnya, belum sempat bersinar sudah redup."

Para pelacur yang dengar hanya bisa menelan ludah kasar, dengan kemampuan yang tidak di ragukan, mereka mempertahankan pelanggan masing-masing.

Kalau sudah turun pamor, akan sangat sulit kembali keatas, apalagi kalau sudah melayani buruh atau pekerja kasar lainnya, sudah di pastikan tidak akan lagi tidur dengan para bangsawan kaya.

Didalam kamar remang pria yang di beri hadiah oleh Edmund, melakukan aksinya dengan paksa. Bisa dikatakan dia memperkosa pelacur muda yang terus meronta karena tidak bersedia melayaninya.

Itulah akibat terlalu percaya diri.

Edmund membuatnya tidak memiliki harga diri bahkan sebagai pelacur.

Teriakkan dan dan racauan wanita itu memenuhi penjuru kamar, keperawanannya hilang ditangan pria bertubuh tambun yang menjijikkan.

Diantara banyak pria potensial, Edmund memilih pria yang rupa dan fisiknya paling buruk. Tentu itu akan menjadi luka bagi pelacur muda itu.

"Mengerikan." Gumam semua orang yang ada ditempat itu.

SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang