Siapa Yang Berani Menjaminnya?

1.2K 71 100
                                    

Zavion memacu kudanya dengan kencang berusaha mengejar Edmund yang sudah jauh didepannya. Ucapan pria itu sangat memprovokasinya sehingga saat ini yang ingin dia lakukan adalah menjatuhkan pria itu dari atas kudanya.

Menang dari pria itu sangat tidak mungkin tapi bukan berarti tidak bisa mencelakainya. Ini pertama kali dalam hidupnya Zavion ingin sekali mencelakai orang dengan tekat yang begitu kuat.

Dengan mulus kuda Edmund melewati rintangan yang ada. Pria itu terkenal sangat gila jika sedang berada di arena pacu. Kudanya seperti memiliki tenaga turbo untuk mengalahkan lawan-lawannya.

Karena itu tidak ada yang berani bertanding dengannya. Julukkan iblis sangat cocok tersemat dalam dirinya karena pria itu tidak terkalahkan.

"Hidup sebagai pemenang terasa sangat membosankan. Terkadang aku ingin menjadi pecundang seperti kebanyakan pria bodoh yang hidup dizaman sekarang. Tapi apa daya, aku di takdirkan untuk menjadi pemenang." Edmund sengaja menyamai jaraknya dengan Zavion, menunggu pria itu dengan mengurangi kecepatan laju kudan jantannya yang terkenal luar biasa tangguh.

"Aku percaya ucapan adalah harapan, akan tiba masa dimana kau akan menjadi pecundang. Dan saat itu tiba, aku pastikan akan mengulurkan tangan sebagai bentuk pertolongan. Kau tidak bisa menolak pertolonganku karena itu satu-satunya harapan agar kau tetap hidup."

"Khayalan yang manis, mari kita tunggu. Siapa yang menerima uluran tangan lebih dulu." Edmund tersenyum iblis lalu kembali memacu kudanya.

Dan kali ini Zavion tidak tinggal diam, dengan semangat yang menggebu mengejar ketertinggalannya hingga disebuah belokkan dia tidak dapat mengontorl laju kudanya tapi untungnya bisa melewati rintangan tersebut meski hampir terlempar dari punggung kuda.

Sementara itu didalam kamarnya Hera tampak sangat gelisah karena tahu hari ini pria itu akan mencelakai Zavion. Mete yang melihat kegelisahannya sedikit bingung.

Tanpa mau bertanya dia meninggalkan Hera sendiri untuk mengambil makan siang gadis itu. Hera yang melihat pintu kamar terbuka menggunakan kesempatan itu untuk lari mencaro Zavion.

Hera mengambil jubah asal lalu pergi melalui jalan rahasia. Dari tempat pemandian pribadi tersebut dia keluar melalui pintu belakang dimana terlihat sungai deras dengan bebatuan besar yang licin.

Hera berusaha sekuat mungkin untuk melewati rintangan tersebut, beberapa kali hampir terpeleset tapi tidak membuatnya menyerah. Hingga akhirnya berhasil menapaki bebatuan terakhir.

Hera ingat jalan setapak yang di laluinya saat melarikan diri, kembali gadis itu menyusuri jalan tersebut hingga sampai dimulut hutan. Dari sini dia kebingungan harus kemana karena tidak tahu dimana letak pacuan kuda.

Telapak kaki Hera kembali terluka dan berdarah karena jalan tanpa alas kaki. Dia sudah tidak menghiraukan dirinya sendiri dan resiko dari semua ini.

Dia hanya memikirkan Zavion yang tidak boleh terluka karenanya. Hera melihat kekanan dan kekiri dengan wajah yang tertutup jubah, tidak tahu harus kemana.

Tiba-tiba dia merasakan pundaknya ditepuk, dengan kaget menepis dan berniat lari tapi tangannya sudah dicengkram kuat.

"Ini aku." Hera berbalik dan melihat bibi Mete tepat dihadapannya.

"Aku akan mengantarmu ketempat itu."

Hera menggeleng, "jangan! Kau bisa ..."

"Kau sudah melibatkanku dalam masalah, dengan kabur seperti ini aku akan tetap dihukum. Membantumu atau tidak sama saja, dan lebih buruknya lagi kalau kau tidak kembali, kepalaku bisa terpisah dari tubuh."

"Tapi ..."

"Ikut aku atau kuta kembali."

Mete jongkok lalu memakaikan alas kaki pada Hera. Hera menatap wanita tua itu dengan mata berkaca-kaca. Saat Mete kembali berdiri, wanita itu mengatakan, "airmata tidak menyelesaikan masalah. Kalau ingin bertahan maka kau harus berdiri di kakimu sendiri, hanya itu yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan orang-orang yang ingin kau lindungi."

SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang