Dia Bukan Lawanmu

528 73 62
                                        

Zavion membalut telapak kaki Hera dengan penuh perhatian dan kehati-hatian. Sedangkan Hera tidak bereaksi sama sekali, diam membisu seperti patung, tidak satupun kata keluar dari mulutnya meski Zavion sudah berulang kali bertanya kenapa telapak kakinya bisa melepuh.

Pagi-pagi sekali Zavion sudah datang kerumah yang ditinggali Hera. Dia bersama ibunya datang membawakan makanan sekaligus ingin memperkenalkan keduanya.

Tapi betapa terkejutnya saat mendapati Hera dalam keadaan terbaring dilantai dengan telapak kaki sudah melepuh akibat terbakar.

Dan saat menanyakannya Hera tidak mengatakan apapun. Melihat itu nyonya Nohan tidak bisa menahan kesedihannya, membayangkan jika putrinya berada di posisi Hera, sungguh mengerikan.

Hera sadar ada kehadiran orang lain selain Zavion tapi jiwanya enggan menyapa, matanya bahkan tidak melihat sedikitpun. Raganya ingin bangkit tapi jiwanya menolak, dalam hati terus mengatakan kalau dirinya tidak akan pernah bebas.

Yang dirasakan sekarang hanyalah semu.

Nyonya Nohan meremas pundak putranya, "memaksanya bicara sama dengan menyiksanya. Biarkan dia menenangkan diri, jiwanya terguncang hebat. Kau tidak perlu khawatir, ibu pasti menjaganya untukmu."

Zavion menghela napas panjang kemudian mengangguk. Dia memindahkan Hera keatas kasur. Hera beringsut seperti bayi, membelakangi keduanya.

Nyonya Nohan menggeleng saat putranya ingin menawari gadis itu makan. Zavion yang enggan meninggalkan Hera terpaksa menuruti kata ibunya, bagaimanapun ibunya paling mengerti dalam hal ini.

"Namamu Zephyra?" Tanya nyonya Nohan begitu putranya pergi. Dia duduk ditepi kasur, menepuk lembut pundak Hera, seketika airmata Hera mengalir.

"Aku ibunya Zavi, mereka memanggilku nyonya Nohan setelah aku menikah dengan ayahnya. Cukup lama aku lupa dengan namaku sendiri." Gurauan kecil nyonya Nohan tidak ada tanggapan.

Niat nyonya Nohan untuk mencairkan suasana gagal total. Hera membungkus dirinya dalam cangkang yang sangat keras, nyonya Nohan semakin iba.

"Sedikit banyaknya aku sudah tahu tentangmu dari Zavi, begitupun ayahnya. Anak itu tidak bisa menutupi apapun dari kami, karena itu aku ada disini untuk membantunya menjagamu. Kau bisa menganggapku teman, saudara perempuan atau ibu."

Hera memejamkan mata, tangisnya kian pecah.

"Sebagai perkenalan aku sudah menyiapkan soup jahe dengan irisan daging domba yang bisa menghangatkan tubuhmu. Aku akan menganggapmu keterlaluan kalau tidak mencicipinya."

Nyonya Nohan melihat benda yang berserakkan dilantai, "kau senang merajut dan menyulam ya? Aku juga, kita bisa melakukannya bersama kalau kau mau. Membuat syal untuk satu sama lain sebagai tanda mata perkenalan, bagaimana?"

Nyonya Nohan perlahan membalik tubuh Hera yang tidak sekaku tadi. Dia menatap gadis berparas cantik itu dengan penuh kasih, dengan sapu tangannya dia mengusap airmata Hera.

"Gadis cantik sepertimu tidak pantas menangis. Terlalu banyak menangis mata bisa buta, tahu tidak?" Hera menggeleng lemah.

Nyonya Nohan membantu Hera duduk, mengusap wajahnya lalu kembali berkata dengan lembut, "ditempat ini tidak ada kesedihan, kau harus bahagia. Banyak hal menarik yang bisa kau lakukan tanpa memikirkan masa lalu. Perlahan, aku akan menemanimu sembuh."

Hera menatap wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik.

"Manusia ditakdirkan untuk menjalani hidup dengan ujian masing-masing. Kesulitan dan musibah yang menimpa bukan berarti karena kesialan. Sebelum kau lahir pasti banyak tragedi yang terjadi, siapa yang mau di salahkan untuk itu? Tidak ada, kenapa? Karena tidak ada yang lahir kedunia ini disertai kutukkan. Tuhan tidak kejam, nak."

Nyonya Nohan terus bicara tanpa tanggapan dari Hera, tapi dari tatapannya jelas gadis itu mendengar dengan baik. Dan semoga saja mencerna tiap kata yang dia ucapkan.

Melihat Hera sangat menyedihkan begini tidak heran putranya begitu keras ingin menolong selain karena hatinya sudah tertambat. Tidak ada pria yang akan menolak Hera, gadis cantik yang memiliki aura luar biasa.

Dia tidak mengerti kenapa ada orang yang begitu tega mengatakan kalau gadis ini pembawa sial. Mereka tidak berpikir bahwa tudingan itu dapat merusak mental.

Semoga gadis ini tidak mengalaminya, harapnya dalam hati.

***
"Sungguh keterlaluan, mereka tidak punya hati! Gadis secantik dan semanis itu dikatakan pembawa sial! Aku tidak ingin percaya ada makhluk sehina mereka." Nyonya Nohan mondar mandir didepan suaminya dengan tangan di pinggang.

Kekesalannya sangat terlihat jelas, tuan Nohan menatap istrinya lamat karena tidak biasanya sang istri mau terlibat dalam urusan orang lain.

"Kecilkan suaramu." Perintahnya sambil melepas kacamata baca yang memiliki rantai perak.

Nyonya Nohan menarik napas berulang kali lalu duduk, gerakkannya sedikit kasar, kalau kedua putrinya melihat pasti mereka protes seperti yang dia lakukan saat mereka tidak menunjukkan sikap seorang lady.

Terutama Eliza.

Wanita paruh baya itu memijat pangkal hidungnya yang mendadak nyeri seperti hatinya, "gadis itu bagaikan cangkang telur yang rapuh, sedikit saja salah menyentuh langsung hancur. Ya Tuhan, gadis itu masih sangat belia. Kalau kau melihatnya aku jamin airmatamu jatuh karena membayangkan seandainya putri kita yang di perlakukan seperti itu."

"Setiap daerah punya tradisi dan kepercayaan, kita tidak bisa menyalahkan hal yang sudah di yakini secara turun temurun. Aku juga tidak setuju dengan pemikiran tersebut tapi tidak ada yang bisa kita lakukan. Mereka akan tetap pada keyakinan mereka begitupun dengan kita, kau harus menyadari itu."

"Dan sebagian orang akan di rugikan karena kepercayaan itu. Aku ingin lihat bagaimana kalau salah satu anggota keluarga mereka dikucilkan begitu, apa masih bisa mengangkat dagu? Lebih baik putuskan kerjasama dengan pria itu, aku tidak suka padanya. Jangan menjalin hubungan dengan pria berhati bengis, bisa-bisa kita sial karenanya."

Tuan Nohan terkekeh pelan lalu berkata, "kau kesal dengan Andrian Edmund?"

"Kau tidak? Pria yang entah seperti apa rupanya sungguh membuatku bisa membenci tanpa melihatnya. Semoga Tuhan tidak mempertemukan kami karena kalau tidak aku ragu bisa menahan diti untuk tidak memakinya."

"Dia pria yang sangat tampan dan berkuasa. Dan yang paling penting sangat berkharisma, tercengang adalah hal pertama yang kau lakukan saat pertama kali menatapnya, aku bisa yakinkan itu."

"Aku tidak perduli, apa pentingnya rupa dan kekuasaan kalau tidak punya hati? Yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah hati, kalau dia tidak punya hati, bukankah sama dengan hewan? Dan aku yakin Puby lebih baik darinya."

Nyonya Nohan memegang dada kiri dan menekannya, berdo'a dengan sunggunh, "ya Tuhan, jauhkan kedua putriku dari pria semacam itu, ameen."

Dia kembali membuka mata lalu menatap lamat suaminya, "kau harus lindungi gadis itu. Jangan biarkan dia kembali ketempat terkutuk dimana iblis itu berkuasa."

Tuan Nohan menghela napas panjang, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.

***
Zavion duduk bersama Hera ditaman belakang, hening menemani mereka.

"Kau melakukan kesalahan besar." Suara Hera mengintrupsi. Zavion menoleh kearah gadis itu, menatapnya dari samping.

Hera menunduk lalu melanjutkan, "kau melibatkan orang yang tidak bersalah, aku sangat takut."

"Percaya padaku."

"Dia bukan lawanmu."

"Dia manusia biasa, sama dengan kita."

"Dia berbeda." Hera menoleh, menatap lamat Zavion yang menatapnya, "kebenciannya padaku sangat beralasan."

"Omong kosong."

SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang