Dimana Nuranimu?!

825 93 10
                                        

Selamat membaca kesayangan ....

***

Langkah kaki Hera berhenti saat berada tepat didepan kastil. Tarikkan kasar dari pria yang menyeretnya turun dari gerobak barang tak bisa menggerakkannya sedikitpun.

Karena jarak dari gubuk yang Hera tempati kekastil lumayan jauh, pelayan laki-laki itu memerintahnya untuk naik kedalam gerobak barang yang memang sengaja dibawanya untuk mengangkut Hera.

Pelayan itu mendengus kasar lalu berakata dengan suara menggeram rebdah, "masuk! Tuan sudah menunggumu, jangan membuatnya marah atau kami akan menanggung akibatnya." Dia mendorong kasar bahu Hera tapi gadis itu tidak bergeming.

Sejak awal datang ketempat ini, belum pernah sekalipun dirinya masuk kedalam kastil. Dan sebenarnya dia tidak boleh masuk karena kastil ini bisa mendapat kesialan karenanya.

Pelayan pria itu hilang sabar, dengan sengaja mendorong kedua bahu Hera, karena dorongan terlalu keras gadis itu justru jatuh terjerembab dengan kedua tangan menahan tubuh.

Alhasil kedua telapak tangan Hera terluka karena tanah rumput yang ternyata berbatu. Hera memejamkan mata sambil menggigit bibir, menahan ringisan.

Kedua tangannya berdarah saking rapuhnya.

Dan pelayan itu tidak perduli, dengan langkah angkuh melewati Hera. Masuk kedalam kastil untuk melaporkan pada Polo, tugasnya telah selesai.

Dia tidak mau menanggung resiko dari kekeras kepalaan Hera. Setelah melaporkannya pada Polo, pelayan itu kembali bekerja.

Sementara Hera masih terduduk lemas tanpa daya, kepalanya sangat pusing ditambah lagi tubuhnya panas dingin, rasanya dunia berputar cepat.

Tidak lama Polo keluar dengan langkah lebar lalu melihat Hera yang masih terduduk lemas. Untuk beberapa saat dia menatap Hera dengan tatapan yang sulit di artikan tapi setelah itu berkata.

"Tuan menunggumu, cepat temui dia agar semua selesai dan kau bisa kembali ketempatmu." Suaranya dingin dan tegas, membuat Hera langsung bangkit meski dengan tubuh sempoyongan.

Dia tidak punya pilihan lain selain masuk kedalam kastil yang seharusnya tidak boleh dia injak. Takut kalau pemilik kastil itu mengalami kesialan karenanya.

Tapi apa dia bisa memutuskan? Tentu saja tidak, dia tidak ubahnya seperti budak yang telah di beli. Tubuh dan hidupnya milik si tuan.

Sayup Hera mendengar suara seorang perempuan yang berteriak keras dan perlahan semakin jelas. Tapi karena kepalanya menunduk, dia tidak dapat melihat siapa pemilik suara tersebut.

Dalam hatinya Hera mengakui keberanian perempuan itu karena berani teriak didepan sipemilik kastil yang duduk di sofa single besar. Hera hanya melihat ujung jarinya yang terbungkus sendal rumah.

"Sudah ku katakan bukan karena dia aku tergelincir. Kenapa papa bekeras kalau kejadian ini harus di limpahkan padanya?!"

Mendengar itu Hera langsung mengangkat kepala, tapi bukannya beradu tatap dengan perempuan tersebut melainkan dengan Edmund.

Tatapan pria itu berhasil menusuk jantung Hera hingga menimbulkan nyeri yang teramat sangat.

"Lalu karena siapa? Kau tidak pernah tergelincir sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya kau masuk dan berkeliaran dihutan itu. Pasti karena keberadaannya sehingga aura kegelapan menyelimutimu." Dengan keras kepalanya pria paruh baya itu tetap menyalahkan Hera.

Dia bahkan menatap jijik Hera.

Dengan ketus dia berkata, "memang sudah sepantasnya kau dibunuh ketika dilahirkan. Kau bayi iblis yang sialnya harus tumbuh dalam rahim temanku."

SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang