___|38|___

250 54 3
                                    

Selamat membaca

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Setelah makan bersama kembali ke rutinitas yang terjeda, berbeda dengan Jennie dan Rose yang sedang bersantai. Tak seperti biasanya berkumpul dengan Taeyang dan Namjun sebagai sesama produser untuk saling bertukar pikiran, kali ini Rose memilih untuk menemani Jennie.

"Sebenarnya apa yang terjadi sampai unnie datang ke tempatku tengah malam?" Rose bertanya setelah seharian menahan pertanyaan ini.

"Aku tak suka jika kamu memanggilku seperti itu."

"Tapi aku yang tak enak memanggil nama, padahal umur kita beda dua tahun."

"Kamu bilang aku ini sudah tua?"

"Bukan begitu, hanya saja kurang sopan untuk memanggil yang lebih dulu lahir daripada aku."

"Itu sama saja," Jennie bersuara kesal sambil menekuk wajahnya. "Aku tak ingin jawab jika masih memanggilku seperti itu," menjauh dari Rose dan mendekati Louis yang asik bermain sendirian dengan mainannya.

'Ya Tuhan, kenapa harus ada Ochie kedua?' benak Rose mengumpulkan kesabaran. "Unnie..." panggilnya dengan lembut namun tak disahut Jennie.

Menghela napas kasar lalu beranjak mendekati Jennie. "Unnie yang cantik tiada batasnya, tak baik jika tak menjawab panggilan," berusaha membujuk.

Dibalik kacamata Jennie memutar bola matanya dengan malas. "Bosan sudah telingaku mendengar bualanmu itu," sinisnya.

"Benarkah? bagaimana dengan ini?" duduk tepat disamping Jennie. "Permata Rubyku yang indah dan hanya satu di dunia ini. izinkan aku bertanya?" tutur Rose dengan merdunya.

Namun dijawab dengan sebuah pukulan kecil di pundak. "Eh! Kenapa aku dipukul?" tanya Rose.

"Itu karna kau-" Jennie menjeda ucapannya. "Ah, lupakan saja." dengan cepat memalingkan wajah meronanya.

"Jadi, apa yang membuat Ruby menangis semalam? ada seseorang yang jahat pada Ruby? beritahu padaku akan kuberi hukuman yang setimpal padanya."

"Jisoo unnie jahat padaku, beri dia hukuman," Jennie menjawab sambil mengelus Louis.

Rose jadi kikuk mendengar jawaban Jennie. "Ah, kalau Jisoo unnie aku tak berani."

"Kamu bilang ingin beri hukuman tapi tak berani, dasar." Jennie mencibir.

"Selain Jisoo unnie, aku berani," Rose menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Memang apa yang Jisoo unnie perbuat sampai Ruby menangis?" tanyanya.

Masih betah mengusap punggung Louis yang sebentar lagi akan tertidur. "Karna dia tak setuju jika aku mencintaimu padahal sejak awal tak mempermasalahkan siapapun yang membuatku jatuh cinta tapi setelah tahu orangnya, dia berusaha menjauhkanku denganmu bahkan sampai bersekutu dengan appa untuk menjodohkanku secepatnya," Jennie menjelaskan dengan rasa kesal.

Rose sedikit memberikan pergertian. "Jisoo unnie melakukan itu karna tahu yang terbaik untuk adiknya."

"Aku tak butuh yang terbaik, aku butuh yang bisa membuatku bahagia walau hanya dengan menatapnya," Jennie menatap lekat mata Rose walau tertutupi kacamata hitam.

"Pernah dengar kalimat, usaha tak akan menghianati hasil tapi menurutku terkadang hasil yang didapat tak sesuai dengan usaha yang dikerahkan."

"Maksudmu usahaku akan sia-sia, begitu?"

"Tak sia-sia juga, lihat sisi positifnya masih bisa berteman bahkan bisa menjadi saudara," sambil mengusap lembut pucuk kepala Jennie. "Aku berkata seperti ini hanya mengingatkan supaya Ruby tak membuang waktu untuk hal yang tak bisa dimiliki."

Only METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang