Arum berjalan dengan rok dan pakaian yang sedikit basah karena barusan menemani anak didiknya yang mandi dan bermain di sungai.
"Letnan Zyan?"
Seorang pria berpostur tegap dengan balutan seragam militer yang melekat begitu pas ditubuhnya, kini tengah berdiri didepan rumah dinas milik Arum.
Pria yang akhir-akhir ini sudah jarang sekali ia temui. Sepertinya Zyan sudah menunggunya cukup lama.
"Apa Anda punya waktu sebentar?" tanyanya.
Arum seketika jadi kaku, "Ah, ya."
•••
"Diajeng...."
Gadis itu menoleh sejenak.
Pria itu kembali memanggilnya dengan awal namanya, panggilan yang berbeda dari kebanyakan orang, sehingga terkesan sedikit canggung.
"Maafkan kesalahpahaman saya kemarin, saya tidak tahu jika Kapten Idgam adalah Paman kandung Anda."
Zyan nampak menyesal, setelah memberanikan diri untuk meminta maaf, dan memutuskan untuk mengakhiri kesalahpahaman kemarin.
Arum tersenyum tipis, "Tidak masalah, saya dan Paman memang sudah sering sekali disalahpahami."
"Saya kira hanya saya," gumam Zyan.
Arum terkekeh pelan.
"Paman hanya lebih tua dua belas tahun dari saya. Dia seperti mengambil peran ganda sebagai Kakak sekaligus seorang Ayah, semenjak Ayah saya gugur saat saya masih kecil."
Arum melihat wajah Zyan masih setengah tak ngeh. "Ayah saya seorang prajurit sama seperti danton," lanjutnya.
Zyan berohria.
Pantas saja jika Arum memiliki sikap yang cukup tegas dan pemberani untuk seorang gadis kota biasa. Rupanya ia memiliki latar belakang dari keluarga militer toh.
"Diajeng...."
Arum kembali menoleh.
"Saya memiliki masa lalu yang cukup kelam. Saya yang sekarang sangat berbeda dengan waktu dulu." Pria itu mulai bercerita, sekilas memandang wajah Arumi dengan senyum getir.
"Bahkan dulu Papa juga hampir menyerah melihat kelakuan saya, sejak remaja saya dikirim untuk tinggal di Amerika, sendirian, hanya dengan ajudan Papa. Padahal alasan saya melakukan hal itu semua bukan semata-mata ingin membuat onar dan nakal. Namun saya berharap dilihat beliau meskipun sekali saja, dan ternyata cara saya salah. Papa adalah orang yang super sibuk dan sangat memprioritaskan pekerjaannya, sampai tidak sempat untuk memperhatikan saya."
"Sebenarnya saat kemarin kamu bertanya apa alasan saya menjadi seorang tentara, karena saya bertekad ingin mengubah cara Papa memandang saya. Kali ini saya berharap saat beliau nanti melirik saya, terdapat kebanggaan yang bisa saya tunjukkan." Zyan tanpa sadar sudah bercerita kisah sedihnya panjang lebar.
Dulu ia merupakan satu-satunya taruna di angkatannya yang sekalipun tak pernah dihadiri oleh orang tua. Sekali saat ia Praspa² dan mendapatkan gelar lulusan terbaik, Adhi Makayasa³.
Setelah pulang dari penugasan kali ini Zyan bertekad ingin menemui sang Ayah dan mengalah untuk menurunkan egonya. Ia sudah lelah untuk terus menebalkan muka, setidaknya hubungan mereka harus lekas membaik, meskipun belum bisa seperti anak dan Ayah pada umumnya.
"Letnan..." Tatapan mata Arum memperlihatkan jika wanita itu turut merasa prihatin.
"Tidak usah diberi semangat, karena mental saya sudah terlatih dan cukup kuat." Potong Zyan cepat.
"Ya, saya juga tahu." Arum seketika mengurungkan niatnya.
Bahkan pria itu masih saja terkekeh di situasi seperti ini.
Siapa tahu dibalik sifat milik Zyan, pria itu memendam perasaan yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.
Arum merasa setuju dengan ungkapan yang dulu pernah ia baca, jika orang yang senang mencari perhatian, sebenarnya adalah orang yang sering merasa kesepian.
"Diajeng...." Untuk ketiga kalinya pria itu memanggil namanya.
"Saya tidak tahu bagaimana cara mencintai seseorang di dalam islam. Bagaimana mengungkapkan perasaan kepada wanita muslimah yang tidak semudah mengajak pacaran para wanita di masa lalu saya. Dulunya saya merasa hal ini sangat asing dan aneh. Merasa ada yang salah, namun sekarang semakin saya sadari, jika pemikiran sempit saya lah terlalu fakir pada ilmu agama."
Ada kalanya pintu hati terbuka lebih lambat, walau tidak ada yang namanya kata terlambat, sebelum nafas terakhir sampai di tenggorokan.
Hidayah bisa datang kepada siapa saja, yang dikehendaki oleh Allah. Bahkan Umar bin Khattab ra. yang terkenal berwatak keras saja tiba-tiba terguncang hatinya saat membaca surat Toha, tersentuh dengan keagungan isi Kalamullah.
Secepat itu Allah mengubah seseorang yang dahulunya sangat membenci islam, menjadi seorang pembela yang selalu setia di barisan depan peperangan. Menghunuskan pedang kearah musuh, dengan tekad penuh untuk jihad fisabilillah.
Layaknya Allah mengubah waktu malam menjadi siang.
Sejenak Arum terpaku, namun kemudian buru-buru ia mengalihkan pandangannya.
"Astaghfirullah."
Zyan menoleh mendengar gadis itu baru saja beristighfar.
"Sepertinya saya harus segera pulang sekarang, Danton," ucap Arum.
"Ah, ya."
Gadis itu tampaknya buru-buru sekali ingin pamit dan meninggalkan Zyan sendirian.
•••
"Danton, pengucapan Anda masih kurang tepat. Ada bedanya antara Tsa, Sa, Sya."
"Iya, saya juga sedang berusaha." Pria itu tidak ingin menyerah meskipun sedikit kesusahan. Tekadnya boleh diacungi dua jempol.
"Anda bahkan fasih sekali berbicara lebih dari tiga bahasa asing." Sindir Ilham.
Zyan menghela nafas, "Itulah masalahnya."
"Anda tidak malu?" tanya Ilham.
"Lebih malu lagi jika tidak mau belajar sekalipun sudah tau diri sendiri belum mampu. Malu jika nanti sampai dihadapan Allah, saya tidak akan dapat berdalih apa-apa."
Ada benarnya juga.
Ngomong-ngomong darimana pria itu mendapatkan kata-kata seperti itu? Siapa yang mengajarinya? Ilham tidak salah dengar kan?
"Saya nonton kajian dakwah, btw." Jelas Zyan.
Owh ... pantas saja.
Sebenarnya sedikit aneh jika Danton yang siangnya sedikit galak ini terlihat seperti anak penurut, saat belajar ngaji dengannya.
Bagaimana pria ini cepat sekali berubahnya? Bahkan saat ini sudah mampu membaca Al-Quran meskipun beberapa masih perlu dibenarkan. Zyan aslinya tidak dua atau tiga orang kan?
"Belajarnya sampai disini dulu, besok saya mendapat jadwal berjaga di pos." Ilham tanpa izin sudah berbaring di tempat tidurnya.
Dasar!
Zyan rasa Ilham adalah satu-satunya anak buah kurang ajar, yang sangat sering berlaku seenak jidatnya saja.
Zyan ikut merebahkan tubuhnya, melihat langit-langit barak yang selalu dominan dihiasi oleh warna hijau.
Diajeng.
Nama itu seketika kembali terbayang dibenaknya.
Jujur Zyan terpikat dengan gadis itu. Pada senyum ramahnya, serta jiwa keibuannya saat mendidik anak muridnya.
Pertanyaan yang selalu ia ulang-ulang dibenak Zyan, pantaskah pria sepertinya mencoba mencintai wanita sesempurna itu? Bisakah ia tetap menjaga kehormatannya?
_____________
² Prasetya Perwira
³ Penghargaan tahunan bagi lulusan terbaik dari Akmil, AAU, AAL, dan AKPOL.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Teen FictionPertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...