XXXIX. Temu

3.1K 206 3
                                        

Setelah sekian lama dapat kembali melihat wajah itu, Arum merasa ada sesuatu hal yang perlahan terobati, beban-beban berat mulai terangkat satu per satu dari pundaknya dan menjadi lebih ringan untuk dibawa.

Dia kembali berhasil.

Memenuhi janjinya untuk pulang bersama-sama.

Meskipun nasal kanul kini masih bertengger di hidungnya, wajah yang tampak sangat pucat dipenuhi oleh lebam dan luka, serta banyaknya alat medis yang masih melekat ditubuhnya. Lebih dari itu, Arum bersyukur pria itu masih diberi kesempatan hidup dan bernafas.

"Diajeng...." Senyuman itu menyambut hangat langkah pertamanya saat memasuki ruangan.

"A-anda tidak melupakan saya?" Potong Arum ragu, takut kekhawatiran yang terlintas didalam kepalanya itu benar.

Pria itu ingin terkekeh, "Bagaimana saya bisa lupa, disaat masih ada hapalan surat Ar Rahman yang belum selesai didalam kepala saya."

Untuk kedua kalinya Arum menghela nafas lega. Pria itu rupanya tidak amnesia.

"Senang bisa melihat Ibu guru kembali dengan selamat," ungkapnya. Arum merasa seharusnya dirinya lah yang mengatakan hal itu.

Perjuangan Zyan rupanya tidak sia-sia.
Setidaknya sekalipun tidak selamat, ia berhasil menepati janjinya untuk membawa gadis itu pulang meskipun tidak dengan dirinya.

"Saya baik-baik saja." Kali ini Arum yang mendahului pria itu sebelum bertanya.

"Ah, ya." Zyan yang baru saja membuka mulutnya hanya tersenyum, rupanya pertanyaannya sudah terbaca.

Air mata gadis itu kembali meleleh.

"Diajeng?"

Arum menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, isak tangis kecil itu terdengar, berharap agar kali ini tidak ada siapapun yang meminta berhenti menumpahkan beberapa beban yang masih tertinggal.

Zyan yang tidak tahu harus berbuat apa juga hanya diam, menunggu gadis itu menjadi tenang.

Sungguh ia begitu benci melihat seorang wanita menangis. Mengapa dulu ia begitu brengsek hingga sengaja menyakiti hati para wanita dan pergi begitu saja setelah turut meninggalkan luka.

Entah kenapa, akhir-akhir ini Arum juga menyadari jika ia begitu cengeng. "Maaf, karena saya danton harus terluka dan menjadi seperti ini."

Melihat gadis itu rupanya kembali menangisinya, Zyan segera menenangkannya, "Ibu guru bahkan tidak meminta saya untuk datang menyelamatkan Anda. Karena ini semua adalah insiatif saya sendiri, menjalankan kewajiban sebagai sosok Danton yang peduli serta murah hati."

Zyan lihat gadis itu jadi terkekeh pelan.
Ia berhasil menyingkirkan suasana tidak nyaman diantara mereka.

Narsisnya masih sama.

Sayang sekali kaca mata hitam keramatnya waktu itu patah setelah tak sengaja terinjak oleh Ilham.

Zyan jadi terbayang momen awal ketika jiwa narsisnya yang selalu sukses mengundang perasaan dongkol bagi Arum. Ia ingin tertawa saat mengingat ekspresi masam gadis itu, namun terus berusaha memasang senyuman.

Arum yang ia lihat diawal begitu pintar dan tenang dalam menyembunyikan perasaan. Namun yang saat ini berada dihadapannya, nampak benar-benar hancur hingga tak bisa lagi untuk berpura-pura.

Kemana senyuman ramah yang biasanya ia tampilkan menyambut anak didiknya yang memasuki ruangan kelas. Atau sapaan hangat untuk warga desa, tatapan tulus serta tawa pelan saat melihat kelakuan Tias dan kawan-kawannya.

Untuk sementara Zyan lihat sosok Arum yang berbeda, seolah hal itu direnggut paksa darinya. Zyan berharap senyuman indah itu dapat segera kembali kepada pemiliknya.

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang