XXXVII. Memori

2.9K 196 0
                                        

Beberapa hari kemudian.

Elektrokardiogram itu masih mendeteksi kinerja jantung yang belum stabil. Grafik yang tampil pada layar monitor seharusnya berbentuk gelombang, namun beberapa kali hampir memperlihatkan garis lurus, menunjukkan jika pasien tengah mengalami masa kritis.

Tangan pria paruh baya itu tidak henti mengelus pucuk kepala sang putra, seraya terus mengumamkan doa, berharap untuk kesembuhannya.

"Papa akan melindungimu. Tidak akan Papa biarkan mereka menyakiti Zyan lagi."

Tis!

Air matanya kembali jatuh dengan mulusnya, "Zyan akan sembuh. Papa akan segera membawamu pergi, kita akan berobat keluar negeri."

Pemuda itu perlahan membuka kelopak matanya yang semula tertutup sangat rapat. Terbangun setelah cukup lama mendengar sebuah suara yang terus saja berharap dan memohon akan keselamatannya.

Hal pertama yang ia lihat, adalah sosok pria paruh baya yang kini memegang erat sebelah tangannya, menyalurkan rasa hangat membuat kenyamanan yang teramat, dengan air mata yang terus mengalir.

Pria itu menangis?

Sayangnya ia tidak mampu berucap satu kata pun. Selang ventilator kini berada di tenggorokannya untuk menunjang dan membantu pernapasan, sehingga menghalanginya berbicara.

"Nak...."

Aidan baru menyadari mata itu perlahan terbuka. Segera ia menekan tombol darurat yang berada di ruangan untuk memanggil perawat.

"Tahan sebentar ya..." ujar Aidan lembut, lalu kembali mengusap kepalanya dengan penuh perhatian. Namun, mata itu masih tetap menatapnya bingung.

Tak lama berselang, beberapa perawat dan seorang dokter datang, Aidan menyingkir untuk memberikan jalan agar mereka dapat memeriksa.

Sudah berapa lama dirinya berada ditempat ini? Rasanya tubuh Zyan kehabisan tenaga, kepalanya sakit sekali serasa ingin pecah.

Ia hanya bisa menatap dokter itu yang kini mengajak Aidan untuk berbicara diluar, sementara perawat mulai memeriksa kemajuannya.

"Besar kemungkinan jika pasien akan kehilangan sebagian dari memori ingatannya," jelas dokter itu pada Aidan yang spontan mengernyitkan dahi.

"Maksudnya amnesia?"

Dokter itu mengangguk pelan, "Amnesia bukan hanya disebabkan karena adanya benturan yang fatal di kepala, melainkan juga dapat dikarenakan kurangnya aliran oksigen ke otak saat jantung atau pernapasan berhenti terlalu lama. Pasien sudah beberapa kali mengalami henti jantung, dan juga cedera parah yang menyebabkan beberapa kerusakan jaringan."

"Akan tetapi ini masih dugaan sementara, kita akan melakukan diagnosa ulang setelah pasien sudah stabil, berdoa saja hasilnya tidak." Pungkasnya.

Seketika sebuah anak panah terasa menghunjam dada milik Aidan, kakinya semakin melemas.

•••

"Kenapa anda bisa berada disini?" tanya Zyan, datar.

Atmosfer begitu mencekam.

Tatapan mata itu terlihat dingin sekali, menatap pria paruh baya yang kini hanya menunduk, menyesali kesalahannya selama ini.

Apapun ingatan yang masih tertinggal didalam kepala putranya itu pasti adalah hal yang buruk, tentang pertengkaran mereka, sikap keras yang sama-sama tak mau mengalah, hingga diakhiri oleh Zyan yang pergi lebih dulu, dan tak pernah pulang.

Saat ia kembali datang, bukannya Aidan menyambut dan menanyakan kabarnya, pria itu hanya diam, seolah sama sekali tak menghiraukan keberadaannya.

"Maafkan Papa."

Jujur Aidan malu sekali untuk mengatakannya. Ia bahkan tidak berharap banyak jika putranya itu mau memaafkannya dan ia tidak akan pernah marah dan menanyakan apa alasannya.

Tatapan mata Zyan semakin dingin, "Apa anda pikir saya sakan semudah itu saja memaafkan, setelah apa yang terjadi selama ini?" Dada itu naik turun, merasa nafasnya memburu.

Mengapa pria itu tiba-tiba peduli, dan bersikap seolah ia begitu perhatian dengannya, kemana tatapan tajam yang sejak kecil selalu mengarah padanya, hingga akhirnya membuat Zyan menyerah

Bagaimana mungkin seorang anak yang sejak lahir yang tidak tahu apa-apa, dicap menjadi anak yang tidak diharapkan karena kelahirannya menjadi penyebab sang Ibu meninggal dunia.

Meskipun Sang Papa tidak pernah menunjukkan hal itu secara terang-terangan, sejak dulu Zyan sudah menanggung semua itu, cemoohan dari teman-temannya, serta lingkungan sekitar yang menatapnya seperti seorang penjahat. Namun yang bodohnya ia masih terus berharap jika semua itu tidak benar adanya.

Zyan mengingat bagaimana ketika sang Papa mengirimnya keluar negeri hanya sendirian, dalam waktu yang lama. Mata yang tak pernah sekalipun menatapnya dengan hangat. Serta, wajah acuh seolah tak peduli akan kehadirannya.

Aidan mengangkat wajah, menatap wajah pucat pasi sang Putra yang kini semakin tak bersahabat.

Zyan memegangi kepalanya yang berdenyut sakit sekali.

"Nak..."

Sungguh, Aidan sangat khawatir.

Namun sang Putra segera menepiskan tangannya. Matanya tanpa sadar melunak menatap Aidan, ia benci melihat wajah itu yang selalu menatapnya dingin, namun Zyan lebih benci wajah Aidan saat ini.

Bukankah kali terakhir pertemuan mereka sangat buruk, baru kali ini ia lihat wajah yang biasa tampak datar, juga dingin saat menatapnya, kini tampak hancur seolah ia juga ikut terluka.

Zyan menarik nafasnya saat merasa tercekik, dadanya masih terasa sesak, kepalanya semakin sakit sekali seolah dihantam oleh batu besar. Spontan saja ia langsung memegangi kepala dan mengerang saat telinganya berdenging keras.

Aidan yang nampak khawatir akan kembali memencet tombol darurat, namun tangannya segera dihentikan.

"Zyan yang seharusnya minta maaf duluan sama Papa," ujar sang putra spontan, dengan suara pelan.

"Apa?"

Zyan masih tampak kesusahan mengatur laju nafasnya. Bibirnya bergetar menahan hal yang bergemuruh dihatinya.

"Zyan ga seharusnya egois dan selalu berusaha mencari perhatian Papa. Maaf karena selalu buat Papa kecewa, dan pertengkaran hebat sewaktu Zyan memutuskan buat jadi tentara."

Aidan sesaat terdiam, mencerna. "K-kamu ingat?" tanyanya, berharap dugaan dokter itu tadi salah.

Ya, Zyan bahkan mengetahui semua hal yang terjadi selama ini. Terlalu banyak hal yang seharusnya ia simpan baik-baik. Bagaimana mungkin ia akan lupa?

Tekadnya untuk berubah.

Serta semua hal yang terjadi saat ia bertugas di perbatasan.

Gadis aneh.

Senyuman indah.

Hijrah.

Iqra.

Senja.

Serta sunrise indah terakhir yang ia lihat saat para pasukan penyelamat datang, hingga akhirnya ia berada ditempat ini.

Zyan rasanya ingin sekali meledek wajah takut pria paruh baya itu saat ini. Serta saat tadi Aidan menangis, rasanya sangat tak cocok dengan wajahnya yang biasanya selalu tampil kaku dan berwibawa.

Ck, mengapa saat ia akan segera mati sang Papa baru saja menyadari jika anak manis seperti dirinya memang sangat berharga?

_________________

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang