Markas besar Angkatan Darat saat ini terlihat sangat sibuk, beberapa petinggi menghadiri rapat darurat, dituntut untuk segera mengambil tindakan.
Saat ini seorang tenaga pengajar yang juga merupakan cucu dari Purnawirawan Panglima TNI sedang dijadikan korban penyanderaan, serta seorang prajurit yang juga ikut dinyatakan hilang.
"Para prajurit saat ini sudah berada dalam kondisi siaga tempur dan akan segera dikerahkan untuk melakukan pencarian. Matra angkatan udara juga menawarkan bantuan dengan mengirimkan drone pengintai karena kontur tanah serta medan hutan yang terjal sulit untuk dijangkau bahkan cukup berbahaya." Jelas salah satu tentara berpangkat Kolonel.
"Bagaimana dengan pelaku?" tanya Panglima.
Kolonel itu kembali menjelaskan lewat sebuah proyektor yang menampilkan sebuah foto, "Dierto Gunandi Sora alias Diego, pimpinan para pemberontak yang kemarin juga terlibat dalam penculikan dua peneliti asal Swedia serta penyanderaan dua belas WNA yang merupakan para relawan medis organisasi Palang Merah Internasional. Motif mereka masih sama, ingin meminta tebusan dengan mengancam kepada pimpinan pusat, agar keinginan mereka segera terpenuhi. Sejak dulu mereka menuntut agar dikirimi persenjataan amunisi yang lengkap, serta diberi akses ingin terbebas dari pemerintah, sederhananya bukan hanya sekadar otonomi wilayah," pungkasnya.
"Mereka sama saja ingin mematik api perang. Keinginan tidak masuk akal mereka sampai kapan pun tidak akan pernah bisa dipenuhi!" balas Panglima dengan tegas.
Diantara para pejabat tinggi militer itu, terlihat seorang pria paruh baya yang nampak berpenampilan beda, dengan balutan rapi jas berwarna hitam, hanya diam dengan pandangan kosong kearah depan.
Aidan Winata Hasanain, sosok direktur perusahaan swasta yang sudah lama bekerja sama dibawah naungan Militer dalam menyediakan amunisi dan persenjataan bagi para prajurit.
"Apa operasi militer masih saja belum dimulai?" Suaranya tak kalah terdengar berat dan tegas, memecah diskusi panas para prajurit senior itu.
"Direktur, saya tahu jika keberadaan putra anda, Letnan Zyan saat ini juga belum dapat dilacak keberadaannya. Namun, semua ini harus didiskusikan secara matang-matang, tidak bisa jika dilakukan dengan gegabah," ujar Panglima mencoba memberikan pengertian.
Bagaimana pun memang, keputusan tidak bisa dibuat dengan melibatkan perasaan pribadi. Karena bisa saja satu kesalahan, situasi bisa semakin memburuk, bukan sekedar mengancam satu atau dua nyawa saja.
•••
Zyan akhirnya memberikan kompas kecil yang tadinya ia pegang kepada Arum, tentu saja ia tidak akan membiarkan mereka berlama-lama ditempat ini karena lukanya.
Sementara para pemberontak itu pasti semakin bergerak maju, dan tidak akan berhenti sampai menemukan keberadaan mereka.
Setidaknya jika ia harus mati, maka sebelumnya ia pastikan tidak dengan gadis ini.
"Jika terus berlari lurus kearah Timur, kamu akan menemukan pos terluar tempat Serda Haikal dipindahkan dan dapat meminta pertolongan. Memang belum bisa dipastikan, namun saya memiliki keyakinan yang kuat, Diajeng, percayalah. Saya juga yakin jika gadis pemberani seperti kamu bisa melakukannya."
"Bagaimana dengan Danton?" tanya Arum gemetar.
Zyan terdiam sejenak, "Saya akan kembali melindungi kamu dari arah belakang." Jawaban yang benar-benar tidak ingin Arum dengar. Ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya yang kembali tumpah.
"Tidak, kali ini saya tidak akan meninggalkan Danton sendirian." Arum menggelengkan kuat, ia tidak akan pernah mengambil keputusan berat itu untuk kedua kalinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Fiksi RemajaPertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...