XXXI. Duka

2.7K 186 1
                                        

"A-astaghfirullah .... Astaghfirullah .... Hiks .... Ya Allah."

Gadis itu akhirnya membuka kelopak matanya, terbangun menatap dirinya sudah berada di ruangan serba putih.

Bukan lagi suasana belantara hutan, atau keadaan Subuh yang nampak chaos dari pos penjagaan.

"Arum?"

Hal yang pertama yang ia lihat adalah sahabat seperjuangannya, gadis yang sudah menemaninya mengabdi selama kurun satu tahun, Elsya.

Tangis Arum seketika pecah tak mampu lagi dibendung, menumpahkan satu per satu beban yang masih ia pendam.

Elsya memeluk tubuh bergetar itu erat, membiarkan sampai tenang, Elsya tahu apa yang ia alami beberapa waktu terakhir sangat berat.

"Iya, tumpahkan semua, Rum. Jangan ada lagi yang dipendam."

Sejak kemarin gadis itu belum kunjung membuka matanya, Elsya sangat khawatir, meskipun ia tahu jika Arum baik-baik saja, hanya kelelahan dan butuh istirahat untuk memilihkan tubuh dan pikirannya.

Atas perintah dari pusat mereka saat ini sudah berada di rumah sakit yang terdapat di Ibukota. Menunggu waktu untuk segera dipulangkan, tidak akan aman bagi mereka untuk tetap berada di desa yang saat ini sedang berada di kondisi siaga.

"Mereka ...."

Gadis itu kembali terisak, tenggorokan nya tercekat saat berusaha kembali mengingatnya. Suara bising peluru bahkan belum sepenuhnya hilang dari kepalanya membuat serasa ingin pecah.

Psikisnya terluka.

"Arum, please .... dengar gue! Pikirin dulu keadaan lo saat ini. Lo juga butuh istirahat." Elsya memegang kedua pundak rapuh itu.

"Lalu, bagaimana dengan Danton?" tanyanya bergetar. Kondisi tubuhnya saat ini tidak ada apa-apanya.

Apakah pria itu juga sudah diobati? Ah tidak, pertanyaan simpelnya apa saat ini ia juga sudah ditemukan?

"Merasa sedang mengusahakan," balas Elsya, ikut tercekat.

Ya Allah.

Gadis itu menunduk, bulir-bulir bening kembali jatuh dari pelupuk mata indahnya, bibirnya bergetar, nafasnya naik turun.

"Dia yang datang menyelamatkan saya, Elsya. Saya sudah kembali dengan selamat, mengapa dia belum? Saya sudah diobati, tapi mungkin saat ini dia masih terluka." Lidahnya mendadak kelu, suaranya parau.

"Karena saya .... mengapa dia harus berkorban?" Tangis Arum kembali pecah.
Kembali berharap pria itu benar-benar segera pulang untuk menyusulnya.

Elsya ikut menangis. Memeluk gadis itu kembali, memberinya kekuatan sebanyak apapun yang ia punya.

Baru kali ini ia melihat Arum seperti ini, gadis yang ia kenal pemberani, dan tangguh, selalu terlihat tenang bahkan hampir di semua situasi. Namun kali ini ia terlihat hancur dan terluka.

"Tolong telpon Bunda, Ca. Saya perlu bicara sesuai dengan beliau," ujar Arum serak.

•••

"Besar nanti Zyan mau jadi kayak Papa!"

Aidan yang saat itu tak sengaja melewati kamar putranya, seketika menghentikan langkah.

Dari celah pintu yang sedikit terbuka ia melihat anak berumur lima tahun itu tengah berbagai cerita dengan pengasuhnya.

"Oh ya?"

Anak itu mengangguk antusias sekali.

"Memangnya kenapa Mas Zyan pengen jadi kayak Bapak?" tanya Bi Suti, pengasuhnya.

Aidan yang sejak tadi berdiri diambang hanya bisa diam dan terus menguping pembicaraan anak itu.

"Soalnya kan Papa orang yang hebat, ada fotonya dimana-mana, waktu dia bicara ga ada yang berani tatap matanya sama sekali, saat Papa jalan banyak yang ikut di belakang, disegani sama banyak orang."

Diakhir kata ia semakin mengecilkan suara menjadi berbisik, "Meskipun Zyan sendiri juga sedikit takut sama Papa sih. Sedikit gini, ga banyak-banyak juga kok." Imbuh anak itu seraya menunjukkan jari mencubit.

Aidan menahan senyum.

"Papa ga asyik soalnya, agak galak kayak doggy peliharaannya Om Bima. Ups!" Zyan kecil spontan menutup mulutnya saat Bi Suti mengingatkannya.

"Husttt ... tidak boleh seperti itu."

"Kan Zyan bicara jujur, Bibi!"

"Tapi bukan begitu juga, Mas. Karena itu sudah kelewat jujur namanya, nanti minta maaf sama Bapak ya?"

"Ihhhhh...." Bibir Zyan maju.

Bukannya ingin marah, Aidan malah ingin tertawa melihat wajah masam anak itu yang tak mau kalah.

Bisa-bisa ia disamakan dengan anjing peliharaan milik sekretarisnya. Apa ia se-galak itu? Rasanya tidak juga.

"Walaupun minta maaf, Papa ga bakalan dengerin juga. Papa kan ga sayang sama Zyan."

Deg!

Anak itu kini menenggelamkan diri didalam selimut, nampak merajuk.

"Zyan tuh pengen dipeluk Papa, pengen dianterin ke sekolah kayak teman-teman yang lain, pengen ditemenin tidur, tapi Papa bahkan ga pernah lihat Zyan, walau cuma sekali saja," ujarnya sesugukan, saat tangisnya perlahan terdengar lirih.

Hal yang membuat pertahanan Aidan seketika runtuh, membeku, lidahnya terasa kelu, saat mendengar ucapan terakhir yang anak itu lontarkan,

"Hiks ... Zyan bakalan tetap sayang sama Papa, meski Papa ga pernah menyimpan dan punya perasaan itu juga buat Zyan."

_______

Aidan, wajah yang biasanya selalu nampak tegas dan berwibawa itu, juga tak bisa untuk terus dipaksa agar tetap tegar, raut duka benar-benar tercetak jelas di wajahnya.

Matanya menatap cakrawala berwarna kelabu yang dibatasi oleh kaca dari atas gedung pencakar langit di Ibukota.

Walaupun keinginan putranya itu dulu sudah sempat ia tentang, karena merasa takut kehilangan, dan sekarang benar-benar Aidan alami. Rasanya takut kehilangan seseorang yang begitu ia sayangi, sosok yang menurutnya juga sangat berarti. Namun, buktinya sekarang ia gagal, ia gagal menjaga putra semata wayangnya.

"Saya juga ingin berangkat, melihat bagaimana proses penyelamatan."

Aidan melihat Haidar yang kembali menghampiri dengan seragam PDL tentara lengkap, pria itu akan ikut pergi mengawasi anak buahnya serta ikut menyusun strategi dan rencana penyelamatan.

Haidar memutuskan untuk melihat keadaan terpuruk Aidan terlebih dahulu, pria itu menghela nafas melihatnya.

"Aidan, target sebenarnya yang mereka incar adalah dirimu. Jika mereka mendapatkan informasi tentang kedatanganmu ketempat itu, dikhawatirkan akan semakin memperburuk keadaan, terlebih mereka sudah mengetahui jika Letnan Zyan adalah putramu. Mereka bisa saja semakin menggila, dan terus mencari sisi kelemahanmu dengan menyakitinya, karena keinginan mereka benar-benar sudah dekat, tinggal selangkah didepan mata."

"Tetap menunggu dan duduk dengan tenang, saya pastikan akan segera membawanya pulang apapun yang terjadi." Haidar berharap agar sekali saja sahabatnya itu bisa berpikir dengan jernih.

"Lalu apa yang bisa aku lakukan sebagai seorang Ayah, Haidar?" tanya Aidan parau.

Bagaimana keadaan anak itu sekarang?
Apakah ia terluka? Apa mereka kembali menyakitinya?

Dirinya bisa duduk dengan nyaman dan tenang ditempat ini untuk menunggu, namun bagaimana dengan putranya yang saat ini belum bisa dipastikan dimana dan bagaimana keadaannya.

Tangis pria paruh baya itu kini pecah, lalu menunduk, tangannya gemetar kemudian mengepal erat.

Ampuni hamba, Ya Allah. Tolong lindungi anak itu dan bawa dia pulang, kembali bersamaku.

___________

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang