XXV. Sandera

2K 169 1
                                    

"Mutiara ini sangat indah sekali."

Plak!

Arum segera menepiskan tangan itu dengan kasar, "Jangan pernah sekalipun berani menyentuh saya!" ucapnya memperingatkan, bahkan menatap mereka dingin, tanpa sedikitpun rasa takut.

"Wow!" Diluar dari tampilan wajah cantik dan manis miliknya, rupanya gadis itu juga cukup berbahaya.

Sejenak mereka lupa jika dalam tubuhnya mengalir deras darah seorang prajurit tangguh, tak heran jika ia memiliki tatapan mata khas yang tak sembarang orang punya.

Pria itu seketika mundur. Setelah seseorang menyuruhnya untuk pergi.

"Ya ya, kami tidak akan pernah bisa menyakitimu. Meskipun bisa, banyak resiko yang bisa kami ambil. Bukankah begitu, Nona?" tanyanya memberikan seringai kecil.

Pria yang diketahui merupakan atasan mereka—Diego.

"Sejak dulu kau pasti sangat ingin pergi ketempat ini, tempat yang sama dimana Ayahmu tewas." Sambungnya.

Tis!

Air mata Arum seketika meleleh.

"Apa kalian tidak cukup puas setelah menghilangkan banyak nyawa, bukan hanya para tentara, namun juga melibatkan warga sipil yang tidak tahu apa-apa?!" Bentak Arum.

"Kami melakukan itu semua, karena ada hal jauh lebih besar yang menjadi tujuan sebenarnya. Ibu guru tidak akan pernah paham," ujarnya sedikit berbisik diakhir kata, lalu tertawa renyah.

"Jadi, bagaimana apakah kehilangan orang yang begitu anda cintai begitu menyakitkan?" 

Arum hanya terdiam, menahan kerongkongannya yang tiba-tiba terasa tercekat.

Pria itu kembali melanjutkan ucapannya, "Mayor Abiandra, pria yang lebih tepat dikatakan gila daripada pemberani. Dengan nekat, menerobos masuk ke area musuh dengan sendirian, untuk menyelamatkan nyawa orang lain, bahkan tidak memikirkan nyawanya sendiri. Pengorbanan yang begitu mengharukan dan perlu dipuji. Seolah negara benar-benar sudah menjanjikan segalanya padanya."

"Setidaknya beliau jauh lebih baik dari kalian!" balas Arum.

"Hm?"

"Iya." Wajah gadis itu memerah padam, air matanya masih berlomba-lomba jatuh, "Kalian hanyalah orang-orang pengecut yang hanya bisa melakukan pemberontakan, meneror para warga, menghilangkan nyawa yang tidak berdosa, hanya untuk mencapai apa yang inginkan tadi? Tidak usah bermimpi!"

Plak!

Arum dipukul dengan keras, menggunakan senapan yang pria itu pegang. Hingga pipinya seketika lebam, bibirnya robek dan berdarah.

Arum seketika terdiam, syok.

Pria itu tersenyum tipis, "Rupanya Ibu guru kelihatan manis, saat lebih banyak diam."

•••

"Sertu Danu ditemukan tergeletak dengan luka tembak didada bagian kanannya, saat ini kondisinya kritis dan segera dilarikan ke rumah sakit di Ibukota. Dugaan sementara, Ibu Arum seperti benar-benar tengah ditawan. Sepertinya mereka ingin memancing kemarahan Kapten."

"Lalu, bagaimana dengan Danton?"

"Kemungkinan besar jika beliau memulai pengejaran dengan sendirian. Beberapa pasukan juga akan segera dikerahkan untuk menyusul."

Ilham hanya diam mendengar suara percakapan rekannya, dengan raut cemas. Ia tahu jika Zyan sedikit gila, bahkan ada kalanya tidak pernah memperhitungkan situasi.

Hal pertama yang selalu Ilham ingatkan ketika mereka sama-sama akan bertugas adalah meminta pria itu untuk berhati-hati.

"Keselamatan anda adalah yang terpenting, Danton. Semuanya harus kembali dalam kondisi lengkap seperti awal saat kita akan berangkat."

Meskipun pria itu kerap mengatakan jika ia kembali dengan selamat ataupun tidak, itu semua tidak akan berpengaruh. Tak ada seorangpun yang menunggunya pulang, menantinya dengan sebuah sambutan, serta sebuah rumah yang akan menjadi tempat tujuan. Kehadirannya sering tak dianggap, bahkan lebih bisa dibilang tidak diharapkan.

Namun kemarin dengan raut wajah yang berbeda, Zyan dengan semangat bertekad ingin sekali pulang, seperti menemukan arah dan tujuan yang baru.

"Sersan Ilham."

"Dokter?"

Dari kejauhan Ilham melihat sosok gadis yang menghampiri beberapa rombongan tentara yang sedang berjaga.

"Apa yang anda lakukan sampai berkeliaran? Situasi disini sedang tidak aman," ujar Ilham.

"Sersan, saya harap informasi yang tadi saya dengar tidaklah benar. Arum saat ini sudah pulang, 'kan?" tanya Elsya dengan suara bergetar.

Ya, gadis ini pasti juga syok saat mendengar kabarnya. Wajahnya bahkan terlihat pucat.

"Kami berjanji akan segera menyelamatkannya," balas Ilham, terlihat meyakinkan. Sayangnya mematahkan harapan gadis itu.

Elsya seketika menunduk, lalu menutupi wajahnya menggunakan tangan, beberapa saat suara tangis itu terdengar. 

Tidak!

Gadis yang bahkan baru tadi pagi berjanji padanya akan menunggunya pulang segera dan menyambut kedatangannya di Jogja, untuk berlibur dan bersenang-senang bersamanya.

Elsya masih berharap jika kabar itu masih tidak benar adanya.

•••

Arum perlahan membuka kelopak matanya.

Penglihatannya seketika disambut oleh penerangan dari lampu teplok yang digantung disudut-sudut bagunan gubuk.

Suara jangkrik yang bersuara semakin nyaring, ia cepat menyadari jika saat ini sudah malam.

Suara bising para pemberontak itu tak lagi terdengar didekat gubuk ia disekap, beberapa pria yang tadinya terlihat mengawasinya juga sudah menghilang.

Mereka meninggalkan seorang tawanan mereka sendirian? Jika saja tubuh Arum lebih kuat dan tidak seletih sekarang, ia akan memulai aksi gila untuk penyelamatan dirinya.

Pikirnya kembali melayang-layang, teringat sosok Sersan yang mencoba melindungi saat ia akan diseret pergi.

Sertu Danu.

Bagaimana keadaan pria itu saat ini?

Suara tembakan meletus keras seolah ikut meledakkan telinganya, saat mereka mulai menyeretnya menjauh.

Arum menunduk, air mata perlahan jatuh.
Ia tidak menyangka akan merasakan ketakutan sehebat ini, adrenalin-nya membuncah, rasa sesak seolah sulit menghirup oksigen bebas.

Disaat-saat seperti ini bibirnya terus melafazkan dzikir, mengingat Allah SWT. sebagai sebaik-baiknya penolong. Saat rasa takut mulai merasuk kedalam hatinya dan membuatnya lemah, ia ingat jika Allah Maha kuat lagi Maha perkasa.

Tetes air matanya berlomba-lomba jatuh, dengan bibir yang masih terus bergumam.

Saat ini Arum kembali menyadari, semudah itu mendapatkan perasaan tenang. Hal yang namun beberapa waktu terakhir sayangnya hampir ia lupakan.

BRAKKK!!!

Pintu kayu itu tiba-tiba terdengar ditendang kasar dari luar, agar dipaksa terbuka.

"Aaakhh ... Bundaaa!!!!!"

Arum spontan akan berteriak.

Gadis itu memejamkan matanya kuat-kuat, tubuhnya kembali gemetar hebat.

"Ini saya, Diajeng," ujar sebuah suara yang terdengar pelan.

Suara yang bahkan terdengar begitu hafal ditelinga Arum, serta panggilan yang berbeda dari kebanyakan orang, ia langsung bisa mengetahui siapa pemiliknya bahkan ketika sedang tertidur.

Gadis itu memberanikan diri membuka kembali matanya perlahan.

Dari pencahayaan lampu teplok yang redup. Arum lihat, manik mata legam setajam elang itu seolah nampak memancar di kegelapan.

"D-danton?"

________________

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang