XXXVIII. Permintaan

2.3K 181 0
                                    

"Danton!!"

"Anda masih mendengar suara saya?!"

Raka kembali berteriak, mencoba menyadarkan pria itu dengan menepuk keras pipinya berulang kali.

"Bawa saya pulang..." Zyan masih setengah meracau.

"Anda memang akan pulang," balas Raka, cemas, mencoba memberikan pertolongan pertama yang ia bisa.

Selain penyelamatan yang dilakukan di bawah komando langsung Panglima TNI, Jenderal Haidar, situasi ini menuntut mereka untuk berusaha sebaik mungkin dan mencapai keberhasilan.

Beberapa hari yang lalu, Raka juga sudah berjanji kepada Arum bahwa ia akan menyelamatkan pria ini dan membawanya pulang. Ilham yang saat ini ia masih ditugaskan untuk berjaga di desa, juga ikut mengharapakan hal yang serupa.

"Sial! Kenapa banyak sekali luka?" Raka mencoba menghentikan pendarahannya, sesekali mengumpat karena darahnya sudah terlalu banyak keluar. Bisa-bisa ia akan segera mati karena kehabisan darah. Denyut nadinya semakin melemah.

Pria itu kehilangan tenaga vitalnya.

Mata Zyan hampir terpejam. Tangannya bergerak pasif, bergumam dengan bibir memutih yang terus bergetar.

"Tetaplah terjaga Danton, jangan pernah sekalipun mencoba untuk menutup mata! Semua orang sudah menantikan anda untuk pulang!!"

Raka terus meminta agar pria itu tidak menutup matanya, karena itu akan sangat berbahaya. Namun naasnya, Zyan benar-benar sudah kehilangan kesadarannya. Setelah kembali meracau 'ia ingin pulang', secara berulang.

Suasana seketika semakin panik.

Para tentara kini tergopoh-gopoh, membawa tandu medis untuk menggotong tubuhnya, menuju helikopter yang kini sudah mendarat tak jauh dari posisi mereka. Untuk segera dilarikan ke rumah sakit di kota.

_______

Zyan rasanya malu sendiri melihat wajah jelek milik Ilham saat menangis seperti ini, persis seperti seorang anak kecil yang merengek karena tidak dibelikan gula-gula.

Meskipun saat kemarin penugasan mereka kemarin, Ilham memang merupakan prajurit paling muda diantara yang lainnya.

Ditambah dengan sinyal yang tidak memadai, suaranya terdengar tak jelas sekaligus lebih berisik. Zyan dibuatnya semakin tambah pusing.

Mungkin jika diberi izin untuk pulang, Ilham pasti sudah berada dihadapannya dan tak akan berhenti menangisi keadaannya sekaligus mulai berceramah.

"Saya tutup saja teleponnya, terus saja menangis sampai puas. Nanti jika sudah selesai, baru telepon saya lagi."

"Selamat bertugas kembali." Zyan memang kejam dan mematikan telpon itu secara sepihak.

Kepalanya kembali terasa pusing, matanya memberat, tubuhnya terasa lemas sekaligus lelah, merasa sakit semuanya.

Klek!

Pintu terbuka.

Zyan seketika memberikan hormat saat seorang pria yang memakai seragam PDH lengkap dengan pernak-pernik militer serta banyaknya lencana itu memasuki ruang rawatnya.

"Santai saja, bayangkan saat ini sedang tidak bertugas." Titahnya, tersenyum tipis.

"Siap!"

Zyan seketika melemaskan tubuhnya yang spontan ia paksa untuk duduk dengan posisi badan tegap.

Bagaimana mungkin tidak kaku saat seseorang dengan jabatan paling tinggi di tiga matra TNI berada dihadapannya.
Meskipun pria itu adalah sahabat karib sang Ayah yang bahkan lebih sering menggendong dan menimang-nimang tubuhnya saat masih kecil.

Dari beliau lah Zyan juga bertekad untuk menjadi tentara, pria itu adalah orang yang cukup berperan dalam membantunya berubah dari remaja berandalan menjadi pribadi seperti sekarang.

"Berbaringlah jika belum kuat."

"Siap izin, tidak apa-apa, Ndan."

"Saya memaksa!"

Zyan seketika merebahkan tubuhnya, menurut, selain tak ingin membantah atasan, pria paruh baya ini juga seperti orang tua baginya.

"Kau rupanya pulih lebih cepat, walaupun juga sudah tertidur lebih dari satu minggu." Pria paruh baya itu geleng-geleng kepala.

Lebih dari satu minggu?

Zyan juga belum tahu sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Namun tubuhnya masih sangat lemas seperti ia baru memejamkan mata sebentar, buktinya ia masih saja mengantuk, badannya seperti remuk.

"Apa sudah mendingan?" tanya Haidar, melihat wajah pucat itu.

"Sepertinya yang Om lihat."

Haidar menepuk pelan pundaknya merasa bangga.

Meskipun dokter mengatakan jika keadaannya masih belum stabil, sewaktu-waktu kondisinya bisa jadi kembali drop karena cedera yang dialaminya cukup parah.

Haidar tidak berharap banyak bisa melihat pemuda itu kembali tersenyum seperti saat ini. Namun ia lega, rupanya Zyan berhasil bertahan.

Saat kemarin Zyan dilarikan kerumah sakit di kota untuk mendapatkan pengobatan, keadaannya sangat parah, dokter mengatakan tidak akan mampu berbuat banyak.

Bagaimana Aidan yang sangat terpukul dan sudah mencoba untuk pasrah. Namun detak jantung itu rupanya kembali meskipun sangat lemah.

Bahkan seperti sebuah keajaiban pemuda itu membuka kelopak matanya, disaat para dokter juga hampir menyerah.

"Bagaimana dengan para pemberontak itu?" Kali ini Zyan yang membuka topik pembicaraan.

Haidar menghela nafas, "Pimpinan mereka--Diego berhasil selamat, meskipun saat ini sudah ditahan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya."

"Setidaknya ia masih diberi kesempatan untuk merenungi kesalahannya selama ini dan berubah menjadi lebih baik," balas Zyan.

Meskipun itu kedengarannya mustahil karena seorang Diego selalu memiliki pendirian teguh jika apa yang mereka lakukan tidaklah salah, itu semua hanyalah untuk menyuarakan hak-hak mereka, meskipun sudah membunuh banyak nyawa tak berdosa.

"Sekarang tidak ada lagi yang perlu kamu pikirkan, urusan mereka saat ini sudah ditangani, Om sendiri yang akan ambil alih. Beristirahat dan fokus saja pada pengobatan dan pemulihan. Mengerti?"

Zyan mengangguk pelan, saat pria itu menyentuh kepalanya.

"Apa saya boleh minta sesuatu sama Om? Seperti permintaan kepada seorang Paman."

Haidar tersenyum tipis

Anak ini seperti sedang berbicara kepada siapa saja. Haidar jadi ingat saat dulu Zyan juga sering berlaku kurang hajar padanya, namun ia bersyukur anak ini sudah berubah.

"Tentu, katakan saja." Entah mengapa secara bersamaan Haidar juga merasakan kejanggalan, seakan-akan ini permintaan terakhir darinya.

"Tolong pertemukan saya dengan Diajeng." Pinta Zyan.

Ia tahu jika Haidar memiliki hubungan kedekatan yang cukup baik dengan Arum, layaknya seorang Ayah dengan putri kandungnya.

______________

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang