Rasanya ada kebanggan tersendiri bagi Arumi dapat berdiri dihadapan para anak didiknya. Melihat wajah-wajah penuh antusias saat ia memberikan gambaran betapa luasnya negara Indonesia, dengan beribu pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Mencoba membuka mata serta pengetahuan mereka, menanamkan rasa cinta dan semangat nasionalisme, yang mana kelak ditangan-tangan itulah masa depan bangsa ini akan ditentukan.
Tanah air, tempat kelahiran.
Kemanapun kaki melangkah. Tempat ini akan tetap menjadi rumah ternyaman, rumah akan selalu menuntun untuk segera pulang. Tempat yang akan selalu terkenang, dirindukan, dan tidak akan pernah terlupakan.
"Bu Arum...!"
"Sersan Ilham? Ada apa?" tanya Arum melihat kedatangan sosok Serda disela-sela ia mengajar.
"Danton sedang memimpin patroli patok perbatasan selama dua hari ke depan. Jadi beliau menyuruh saya untuk tetap tinggal dan sementara menggantikan beliau mengajar," jawab Ilham.
Akhir-akhir ini memang Arum sedikit kesulitan mengajar empat kelas sekaligus. Karena sekolah kekurangan tenaga pengajar.
Haikal dan Bayu yang biasa membantunya, kemungkinan sekarang akan sangat sulit menyempatkan waktu untuk mengajar, karena adanya pertukaran pasukan antar pos jaga.
Arum mangut-mangut mengerti, kemudian mempersilahkan Ilham untuk masuk.
Bagi Ilham sendiri, tugas ini sama saja dengan misi rahasia membantu meringankan beban calon Ibu Danton-nya dalam mengajar. Jadi, perlu dilaksanakan sebaik mungkin, ia tidak ingin ditempat sana Zyan malah tidak fokus dengan tugasnya.
"Saya juga bisa mengajari anak-anak banyak bahasa," ujar Ilham, tak ingin diragukan.
Arum tampak antusias, "Jadi Sersan Ilham juga mahir berbicara lebih dari satu bahasa?"
"Tentu, saya bahkan bisa empat bahasa. Indonesia, Jawa, Sunda, dan sedikit bahasa Palembang karena Ibu saya berasal dari sana."
Arum seketika terbahak mendengarnya. Serda itu ada-ada saja, tapi ucapannya tidak juga salah.
Pantas saja danton sampai dibuat tidak bisa tidur.
Ilham segera mengalihkan topik lain, agar tidak lebih jauh terpikat pada senyuman itu. Ayahnya selalu mengajarkan jika menjaga pandangan itu adalah yang paling utama.
"Apa ada hal yang bisa saya bantu, Ibu Dan—eh maksudnya Ibu guru?" Ilham hampir saja salah bicara.
"Kelas satu sedang belajar menghitung. Sersan bisa membantu mereka sekalian bermain dihalaman sekolah," jawab Arum.
"Siap!"
•••
Dibawah pohon rindang dekat sekolah memang disediakan tempat duduk yang terbuat dari bambu, serta papan tulis untuk mengajar, agar sesekali anak-anak dapat belajar diluar dan tidak mudah jenuh.
"Ibu Arum..."
"Ya?"
Sebenarnya Ilham sedikit ragu menanyakan hal ini. Tapi mengingat ia bukan hanya seorang bawahan tetapi juga teman terdekat bagi Zyan, ia mencoba memberanikan diri bertanya.
"Apa Ibu guru menyadari akhir-akhir ini Danton Zyan banyak sekali berubah? Ah, tidak ... apa anda tahu seberapa besar tekadnya untuk berusaha menjadi lebih baik?" tanya Ilham.
Arum sejenak terdiam.
Iya, ia sadar jika pria itu sedikit berubah dari ketika awal bertemu, tatapan mata remeh dan sedikit arogan sering membuat orang merasa tak nyaman. Namun sekarang bukan lagi mendongak angkuh, pria itu lebih banyak menunduk kebawah, bicaranya sudah tidak terkesan meremehkan. Kadang kala ia lebih memilih menjadi sepasang telinga dan tanpa menyela, menyimak ucapannya hingga selesai.
Zyan benar-benar tampil seperti pribadi baru yang berbeda.
"Jujur saya khawatir, Sersan," ucap Arum, dengan suara pelan.
"Maksud, Ibu guru?" Ilham tampaknya belum paham.
Arum mengigit bibir bawahnya, "Saya khawatir alasannya berubah hanya karena seseorang. Segala sesuatu yang diniatkan bukan semata-mata karena Allah tidak akan bertahan lama, bahkan mungkin tidak ada nilainya." Terangnya.
"Jangan khawatir Bu guru, waktu siang beliau memang danton saya, tapi saat malam, saya adalah guru ngajinya," ujar Ilham setengah terkekeh, ingin menenangkan gadis itu.
Ilham pasti sudah menceramahi pria itu habis-habisan jika niat awalnya sudah salah. Namun ia lihat kesungguhan didalam diri Zyan saat pria itu berkata,
"Saya sudah terlalu jauh tersesat, sudah waktunya saya kembali, menemukan arah untuk mengenal Allah lebih jauh lagi."
•••
Perasaan cinta itu memang adalah sebuah anugerah. Akan tetapi Arum sungguh takut jika tiba-tiba hal itu datang di waktu yang salah. Sejak saat itu ia lebih memutuskan untuk mengejar Sang pemilik cinta, sebelum mencintai sesama makhluk ciptaan-Nya.
Jangan terlalu dekat, nanti terpikat.
Jika sudah terpikat, takutnya akan terikat dan sulit untuk terlepas.
Jalan amannya, mencoba untuk memantaskan diri lebih dulu, hingga tiba saatnya Allah hadirkan seseorang yang memang pantas disandingkan untuknya, dalam ikatan yang sah.
Prinsip yang sejak dulu berusaha ingin Arum pegang, namun akhir-akhir ini ia sadari banyak sekali tantangan sekaligus ujian.
Gadis itu menarik nafas dalam-dalam.
Ia merasa senja ditempat ini merupakan momen paling indah yang pernah ia lihat. Membuat merasa betah untuk berlama-lama, meskipun kakinya sudah merasa lelah karena berjalan dan berdiri seharian."Saya tidak mengerti mengapa orang-orang sangat suka sekali memfilosofikan senja, malam, bintang, bulan, dan hujan."
Suara itu...
Arum yang tengah fokus melihat pemandangan indah dihadapannya seketika menoleh para sumber suara.
Seorang pria berbadan tegap, kini berjalan mendekat kemudian berdiri tak jauh dari posisinya.
Arum terpaku.
Pria itu tersenyum tipis, ikut memandang kearah yang sama, pada semburat merah jingga yang tergambar indah diatas cakrawala tapal batas Indonesia.
"Raka Bumantara."
______________

KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Novela JuvenilPertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...