XXX. Negosiasi

2.7K 179 1
                                        

Satu tahun silam, tepat sebelum Zyan bergabung kedalam satuan tugas pengaman perbatasan, pria itu pernah ditugaskan memimpin sebuah operasi yang beresiko untuk mengagalkan upaya penyeludupan yang dilakukan oleh para teroris di pulau Sebiru, salah satu pulau paling terluar Indonesia.

Dalam waktu kurang dari 2×24 jam, para teroris itu sudah berhasil dilumpuhkan, pulau berhasil direbut dan diamankan. Penyeludupan berupa bahan peledak berbahaya, serta narkotika yang akan dikirim masuk kedalam negeri berhasil digagalkan.

Dirinya cukup memperoleh banyak pujian, padahal kala itu ia sendiri untuk pertama kalinya diterjunkan ke lapangan.

Akan tetapi, kali ini merupakan salah satu kegagalan terbesarnya. Tertangkap dan dibawa masuk kedalam markas pemberontak, yang jelas sangat membenci sekali para aparat.

Mereka mudah sekali untuk langsung membunuhnya dengan melubangi bagian kepalanya dengan peluru. Namun anehnya hal itu tidak mereka lakukan.

Tubuh pria itu dibiarkan duduk pada sebuah sebuah kursi, dengan kedua tangan terikat dibelakang.

Telinganya sayup-sayup mendengar dari pembicaraan mereka yang sepertinya sudah mengetahui indentitas dirinya yang sebenarnya, itu alasannya ia tetap dibiarkan hidup, untuk disiksa secara perlahan kemudian dijadikan sebagai bahan tebusan.

Byur!

"Bangun!"

Tubuhnya seketika diguyur menggunakan air dingin. Pria itu seketika tersadar kemudian menggigil. Luka di sekujur tubuhnya seketika terasa sangat perih, bahkan luka tembak sejak kemarin belum berhenti mengeluarkan darah.

Jujur ia sudah sangat lelah.

Dan ingin tertidur segera.

"Setelah mutiara berhasil melarikan diri, kita malah mendapatkan permata berharga. Putra tunggal dari Aidan Winata." Pria itu menyeringai lebar.

Pimpinan mereka pasti akan senang sekali melihatnya. Setelah ini akan lebih mudah untuk mendapatkan apa yang mereka ingin, hanya tinggal selangkah. Seorang Pangeran mahkota saat ini sudah berada digenggaman tangan mereka.

Berharga?

Zyan seketika tergelak tawa mendengar ucapan mereka barusan, para pemberontak itu juga tampak keheranan.

Tolong, tiba-tiba saja sesuatu seakan menggelitik perutnya.

Zyan yakin, bahkan seyakin-yakinnya jika setelah ini mereka pasti akan menyesal sudah menyanderanya agar bisa ditukar dengan keinginan mereka. Bahkan untuk satu rupiah pun, ia rasa sang Papa tak akan rela untuk menebusnya.

Andai mereka tahu jika selama ini hubungan keduanya yang tak lebih dari sekedar dua orang yang tinggal seatap namun tak saling kenal.

Jadi, lebih baik ia dibunuh sekarang juga, daripada nanti mereka akan menyesal sudah berharap tinggi, karena ending-nya tak seru seperti yang sering ditampilkan di novel ataupun drama.

"Pria gila!"

Bahkan di situasi hidup dan mati masih bisa tertawa seakan tengah menonton acara komedi tepat didepan mata.

Aturan yang paling utama menjalani hidup sekalipun berada dalam situasi genting, tentu adalah rileks.

Jika sejak dulu Zyan terlalu serius menanggapi semua hal, mungkin saat ini ia tidak akan pernah bergabung menjadi tentara, karena terkena gangguan jiwa.

Kemarin saja ia mendapatkan hasil tes psikotes dengan nilai hampir pas-pasan. Tebakan Arum waktu itu rupanya nyaris benar.

Pria itu terbatuk-batuk, setelah cukup puas tertawa. Sial, sepertinya kondisinya saat ini semakin memburuk.

"Senang akhirnya dapat bertatap muka langsung dengan anda, Letnan! Anda begitu lincah hingga membuat kami sampai kesulitan." Bibir pria berkulit gelap itu tersenyum miring.

Zyan memicingkan mata, melihat siapa yang baru saja datang.

"Lalu Ibu guru, apa kabar?" tanyanya pada anak buahnya yang spontan saling pandang, tampak gugup.

Melihatnya pria itu seketika langsung paham dan nampak berdecak miris, "Ck ck ck sayang sekali, padahal tempat ini adalah yang paling aman. Saya khawatir jika ada seorang gadis yang berlarian sendiri didalam hutan. Akhir-akhir ini banyak terlihat binatang buas."

Seringainya kembali muncul, senyuman yang ramah namun tersimpan beribu kata berbahaya, penuh muslihat dan tipu daya. Pria itu seolah dapat membunuh seseorang hanya lewat senyumannya.

Zyan mengertakkan giginya.

"Saya hanya bergurau, Letnan." Diego terkekeh.

Ia lihat wajah pria itu sangat pucat, bibirnya mulai memutih, tetesan darah terus jatuh tanpa henti, dari perutnya begitu juga dari lengannya bekas panah yang baru dicabut.

Pria itu terluka parah, meskipun tanpa mereka siksa, tak perlu menunggu waktu lama ia akan mati karena kehabisan darah.

Sejak tadi Zyan berusaha memfokuskan penglihatannya yang mulai kabur, menatap wajah manusia biadab dihadapannya.

"Mari bernegosiasi." Pria itu masih terus memasang seringai.

"Saya tidak tega karena kau mengingatkan pada adik bungsu saya yang sudah tewas." Sambungnya. "Saat ini kondisimu juga sedang sekarat, tidak akan menunggu waktu lama kau akan segera mati, Letnan."

"Kalau begitu cepat akhiri dan bunuh saya," balas Zyan, matanya terlihat semakin nyalang.

Pria itu kembali tertawa renyah. Hal-hal yang membuatnya sejak dulu benar-benar kagum, para prajurit yang tidak pernah goyah bahkan saat kematian sudah didepan mata.

BRAKKK!!!

"Uhuk ... Uhuk...!"

Zyan terbatuk-batuk saat perutnya ditendang keras, kursi yang ia duduki ikut terjatuh. Beberapa pria itu ikut menendang tanpa ampun tubuhnya, membabi buta. Saat Diego menginjak keras luka tembak di bagian perutnya, Zyan mengerang keras, nafasnya tersengal-sengal, merasakan sakit yang luar biasa.

Diego berhenti, masih dengan seringainya. Ia yakin pria itu akan segera berubah pikiran. Putra salah satu pengusaha elit yang seharusnya memang tidak berada ditempat seperti ini.

Bukankah duduk di kursi empuk serta ruangan ber-AC yang nyaman lebih menggiurkan daripada membiarkan nyawa sendiri terancam untuk menghadapi para pemberontak seperti mereka.

"Uhuk...!"

"A-astaghfirullah..."

Zyan kembali terbatuk hebat, namun kali ini disertai oleh darah yang keluar dari sela-sela bibirnya.

Sampai kapanpun Zyan tidak akan pernah mau bernegosiasi dengan para bajingan yang bahkan sudah membunuh nyawa tak berdosa, termasuk para tentara, saudara mereka yang telah lebih dulu gugur.

Sudah cukup. Tekadnya sudah bulat tanpa adanya tawar-menawar, sampai kapanpun apa yang mereka inginkan akan pernah terwujud, hanya sekedar mimpi.

Tidak sama sekali sekalipun ia harus mati.

______________

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang