Dilihat dari wajahnya, dokter militer ini masih sangat muda. Zyan dapat menebak jika usianya hanya berjarak beberapa tahun saja darinya. Jadi, tidak akan mungkin jika pria ini adalah Paman Arum yang kedua.
Gadis itu pernah mengatakan jika ia hanya memiliki seorang Kakak sulung yang berbeda dua tahun darinya dan saat ini sedang bertugas sebagai pasukan perdamaian di Afrika.
Arum juga tidak akan mungkin menatap saudara sepupunya dengan tatapan dingin, seolah merasa tak nyaman.
Siapa pria ini sebenarnya? Apa seseorang dari masa lalu, yang pernah menyia-nyiakan gadis sesempurna Arum?
Tidak!
Zyan menepuk jidatnya sekali lagi.
Meskipun Zyan juga belum mengetahui kehidupan sebenarnya yang dijalani oleh seorang Arumi. Namun, ia yakin jika gadis itu tidak pernah begitu dekat dengan pria, apalagi berpacaran, jadi berhenti menerka-nerka hal yang buruk tentangnya.
Raka merasa sejak tadi pria dihadapannya ini terus saja menatapnya tajam, seolah tengah berusaha mengintimidasi lawan bicaranya.
Ck! Apa ia pikir semudah itu?
Tunggu, jangan bilang Arum menyukai pria dengan emosi labil ini? Tidak mungkin 'kan?
"Mungkin akan sedikit sakit, Danton." Raka akan menyuntikkan vaksin pencegah malaria ke lengan pria itu
"Apa saya bisa percaya jika obat yang kamu suntikkan itu aman?" tanya Zyan, matanya masih memberikan aura intimidasi yang kuat.
Rasanya Raka ingin terkekeh.
"Siap, izin, sebelum dilantik secara resmi semua dokter sudah mengambil sumpah profesi, jadi tidak bisa hanya sembarangan disalahgunakan, kami juga terikat oleh kode etik kedokteran," balasnya memberikan pengertian.
Ck, yang benar saja.
Apa dikira Raka akan menyuntikkannya racun?
"Saya hanya sekedar memastikan," ujar Zyan, berdalih.
Tidak, lebih tepatnya itu terdengar meragukan.
"Saya cukup berpengalaman bahkan juga pernah selama setahun belajar di luar negeri." Lanjut Raka kembali membuka topik, sekedar informasi.
Zyan nampak tertarik, "Oh ya, di negara mana? Setelah lulus sekolah dasar saya juga pernah belajar di Amerika sampai akan lulus SMA."
Sepertinya perang urat saraf ini benar-benar akan terus berlanjut.
Elsya yang melihatnya dari kejauhan jadi prihatin sendiri. Sepertinya kedua calon suaminya tampak tak akur.
"Anu ... Danton, sepertinya anda sudah selesai, Abang tentara dibelakang juga sudah menunggu." Gadis itu menyadarkan mereka.
Untung saja para prajurit dibelakang masih sabar menunggu dan tak ingin menyela perdebatan sengit dua perwira muda itu.
•••
Mengapa Zyan bisa jadi sekesal ini?
Namun, jujur ia sangat tidak menyukai bagaimana cara dokter kota itu memperlakukan Arumi dengan seenaknya saja. Apa ia pikir gadis itu bisa dengan mudah saja disentuh?
"Seharusnya Danton lebih memilih fokus pada target hapalan anda." Ilham geleng-geleng.
Sejak tadi, ia lihat pria itu terus berwajah kusut seperti kurang disetrika. Apa lagi kali ini?
"Saat ini sepertinya saya perlu kata-kata tamparan," ucap Zyan, lesu.
Tiba-tiba ia merasa malas untuk melakukan rutinitas yang sudah ia bangun beberapa waktu terakhir.
Ilham menghela nafas panjang, nampaknya iman pria itu saat ini sedikit goyah, perlu ia beri semangat kembali.
"Anda tahu? Sewaktu saya kecil dulu, Ayah saya sering bercerita mengenai kisah-kisah sahabat nabi yang mulia."
Zyan menoleh, merasa tertarik dengan arah pembicaraan anak buahnya itu.
Ilham melanjutkan ceritanya, "Salah satu kisah luar biasa yang pernah saya dengar adalah kisah pencarian panjang Salman Al-Farisi ra., sahabat mulia nabi dalam menemukan hakikat sebuah kebenaran di setiap tempat, melewati perjalanan yang berliku dan tidak sebentar.
Mulai dari memeluk agama kaumnya yang menyembah api—Majusi, lalu Nasrani, pencariannya belum puas dan terus berlanjut hingga membawanya ke Jazirah Arab dan akhirnya menemukan agama kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. lalu beriman.
Bahkan Rasulullah pernah berucap seraya meletakkan tangannya di tubuh Salman Al-Farisi, ‘Kalau saja iman berada di bintang pasti akan dicapai oleh orang-orang ini’."
Zyan tertegun.
Ilham hanya tersenyum tipis.
"Saya tahu jika berusaha untuk menjadi lebih baik itu sulit, danton. Banyak tantangan sekaligus ujian. Jujur saya saja masih jauh dari kata baik, bahkan untuk membimbing diri saya sendiri. Namun saya juga yakin perubahan itu bisa terjadi perlahan tapi pasti. Karena semuanya adalah tentang kualitas tak cukup kuantitas."
Kunci utamanya jelas adalah konsisten.
Tidak ada yang namanya hijrah tanpa ujian.Zyan baru saja memulainya, dan jangan tanya sudah sejauh apa ia berlari atau masih berjalan dengan langkah pelan.
Bagaimana dengan niat awalnya, apakah hanya karena wanita? Bukankah ini adalah perkara menggapai iman. Apakah semudah itu ia biarkan untuk segera mengakhirinya dengan kata menyerah?
Akhir-akhir ini ia memutuskan untuk menjaga batasan. Memantapkan terlebih dahulu diri, iman, dan hati untuk mengejar ridha ilahi.
Namun sekarang ia tiba-tiba takut jika wanita itu direbut oleh pria lain, saat ia sedang mencoba sementara merelakan.
Apa saat ini ia takut kehilangan hal yang bahkan belum pasti menjadi miliknya? Apa ia ragu pada takdir indah yang direncanakan oleh Tuhannya?
Apapun yang menjadi takdir pasti akan menemukan jalannya tersendiri untuk menemui sang pemilik, tidak akan pernah salah tujuan, apalagi salah sasaran.
Pada akhirnya semuanya akan bertemu digaris takdir yang telah ditentukan. Aku, kamu, dan rencana terbaik dari Allah.
Setidaknya tetap menjauh untuk saling menjaga, sampai tiba saatnya Allah perkenankan untuk bersama dalam ikatan yang sah.
"Jika anda ingin mengakhirinya, ingat kembali alasan anda saat ingin memulainya."
Ilham kembali berucap, kali ini menepuk pelan pundak Zyan, kemudian meninggalkan pria itu sendirian, dan memikirkan kembali tekad awalnya waktu itu.
"Sudah waktunya saya pulang."
_______________

KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Roman pour AdolescentsPertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...