"Tolong pikirkan lagi, Arum! Dokter mengatakan keadaannya masih belum sepenuhnya stabil, sewaktu-waktu kondisinya mungkin bisa saja kembali kritis atau bahkan--"
Pria berpangkat Kapten itu memijit pangkal hidungnya pelan, saat menyadari jika ia sudah kelepasan.
Sejak tadi tatapan Dafa juga menyiratkan hal yang serupa, dalam diamnya menanyakan, apakah itu benar?
Apa jangan-jangan pria itulah yang dimaksud sang Adik waktu itu? Pria yang membuat adiknya yang bahkan sejak dulu tidak pernah tertarik akan urusan cinta, sampai dibuat luluh hatinya.
Arum juga sama sekali tak menyangka dengan pengakuan tanpa diduga dari pria itu. Merasa sedikit terkejut dan berusaha mencerna.
"Rum...." Kini sang Bunda akhirnya ikut turun tangan, menengahi mereka.
Sarah mengajak sang putri duduk di kursi tunggu, memegang kedua tangan itu, bibirnya tersenyum saat Arum kini mengangkat wajahnya.
"Apa kau sudah mendapatkan jawaban dari sholat Istikharahmu kemarin malam?" tanyanya.
Kedua pria yang merupakan Paman dan keponakan itu sejenak saling bertatapan, dan seketika diam.
Arum mengangguk pelan.
Selain doa, Sarah juga menyarankan Arum untuk melakukan sholat istikharah untuk menghilangkan kebimbangan dan meminta petunjuk dari Allah atas apapun pilihan yang terbaik untuknya.
"Katakan pada Bunda, nak, bagaimana jawabannya?" Pinta Sarah.
Arum menunduk. Tak terasa cairan bening kembali mengalir mulus di pipinya.
Mimpi yang ia alami semalam seolah sudah cukup memberikan jawaban nyata atas semua keraguannya selama ini dalam menemukan kemantapan hati.
Sarah kembali memeluk Arum, seolah paham, "Ikhlas ... jika dia memang bukan lah orang yang ditakdirkan. Insya Allah, nanti akan dipertemukan kembali dengan yang lebih baik. Rencana Allah jauh lebih indah."
Arum menatap wajah Sarah.
Wanita itu kini tersenyum, menghiburnya seraya mencium mengusap ubun-ubun kepalanya, mencoba menguatkan.
Dafa ikut duduk, dan mengusap punggung milik adiknya.
Namun, Arum kembali menunduk, bibirnya bergetar saat membalas, "Dia lah menjadi jawaban yang sebenarnya, Bunda."
Tis!
Air matanya jatuh.
Sarah terpaku.
Begitupun dengan Dafa sudah ikut merasa iba melihat Adiknya.
Bibir itu bergetar, "Dia yang hadir didalam mimpi Arum semalam, pria yang mengaku masih belajar merelakan dan berusaha menjadi lebih baik, memegang tangan Arum dan mengajak menuju ketempat yang dipenuhi dengan cahaya." Papar Arum, air matanya kian tak terbendung, saat kemudian kembali menunduk dalam.
Detik berikutnya Sarah tampak tersenyum lega, bibir wanita itu seketika berucap syukur dengan kalimat hamdalah beberapa kali, seraya kembali mendekap tubuh putrinya dengan erat.
•••
"Nak..."
"Jangan khawatir, Zyan sudah belajar ikhlas dan merelakan apapun yang akan menjadi keputusannya, Pa. Karena apapun takdir yang telah direncanakan oleh Allah adalah yang terbaik, tidak akan salah," balas Zyan mantap, seraya meyakinkan sang Papa.
Aidan menepuk pundak itu bangga.
Ia seolah melihat pribadi baru yang berbeda pada putra. Sebelum ia akan pergi bertugas, Zyan masih begitu keras, tak ingin mengalah, dan tidak pernah merasa salah.
Namun kini tatapan mata itu terlihat melunak, tampak teduh dan tenang. Aidan dapat melihat senyuman yang begitu mirip dengan Thalia, wajah yang seolah tanpa beban sama seperti ketika ia melihat Zyan sewaktu kecil.
Cara bicaranya tidak lagi kasar, Aidan sangat menyukai bicaran Zyan yang perlahan dan tidak lagi menekan.
"Terima kasih sudah mau bertahan. Papa bangga padamu," ujar Aidan.
Zyan tersenyum tipis.
Walau ia masih sulit percaya dan hanya mengetahuinya dari Haidar jika sang Papa adalah orang yang paling terpukul dan merasa terluka, saat ia dilaporkan menghilang, ditawan selama beberapa hari, serta bagaimana keadaannya saat dibawa pulang.
Aidan juga baru menyadari jika ia begitu takut kehilangan putranya. Dejavu ketika Thalia pegi meninggalkannya tanpa pamit lebih dulu.
Pintu kembali terbuka.
Menampilkan Dafa serta Idgam yang masuk kembali kedalam ruangan. Serta Sarah yang juga membawa Arum.
"Jadi, bagaimana, Nak? Katakan dengan jujur sesuai pilihan hati kamu dan tanpa paksaan." Pinta Aidan.
Arum menunduk sejenak, saat Sarah juga mengusap punggungnya, sebelum menjawab dengan mantap. "Bismillah, saya bersedia."
Zyan yang sejak tadi memilih menunduk, bersiap mendengar apapun keputusannya, segera mengangkat wajah, menatap gadis itu yang barusan memberikan jawabannya.
Air mata terlihat kembali meleleh mulus membasahi pipi Arum, namun berbeda dengan tadi, kali ini seolah tersirat binar bahagia dari sepasang mata indahnya.
Zyan tampak takjub.
Tadi ia benar-benar tidak salah dengar, bukan? Wanita itu bersedia menerima lamarannya?
"Alhamdulillah." Aidan seketika mengucapkan hamdalah, sama halnya dengan Sarah.
"Ekhm .... masih belum halal." Dafa segera menyadarkan Zyan, membuat pria itu segera menunduk kemudian beristighfar.
Idgam hanya geleng-geleng kepala.
Sungguh rasanya begitu sulit menahan perasaan menggebu jika saat ini ia begitu bahagia. Bibir Zyan tak henti menggumamkan kalimat hamdalah, menggambarkan perasaan syukur yang tak terukur.
"Saya berharap dapat meminta satu hal ini lagi, Bunda." Zyan kembali membuka suara.
Sarah kembali menatapnya.
Pun sama dengan Aidan yang seketika menyentuh lembut pundaknya, sebelum bertanya, "Ada apa, Nak?"
Zyan kembali menghela napas, menatap wajah mereka satu per satu.
"Setalah ini saya ingin langsung menikahi Diajeng. Tanpa ingin menunggu kondisi saya pulih lebih dulu. Bukankah niat baik juga tidak boleh ditunda lebih lama?" tanya Zyan diakhir kata.
Mendengarnya mereka seketika saling berpandangan satu sama lain, seolah kembali berdiskusi.
Sebenarnya Zyan merasa takut, kalau saja ia tidak sempat dan waktunya tak akan cukup. Sejak tadi ia sudah merasa, bahwa ada hal yang begitu dekat akan segera menghampirinya.
_____________
![](https://img.wattpad.com/cover/338262491-288-k821692.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Teen FictionPertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...