Sepanjang perjalanan remaja itu terus bercerita panjang lebar, Zyan mengira lebih tepatnya curhat. Namun, cukup bagus untuk membuatnya tetap terjaga.
Remaja ini berhenti membopong tubuhnya, lalu membuat Zyan duduk di bawah sebuah pohon. Cukup jauh setelah mereka keluar dari markas milik Diego.
"Astaghfirullah, Ya Allah." Zyan memejamkan mata, menahan sakit saat mencoba menyandarkan tubuhnya.
"Apa anda ingin minum?" tawar Tora, menyerahkan sebotol air yang tinggal setengah.
Zyan tersenyum tipis, kebaikannya boleh dipuji, namun hal itu akan sama saja akan membunuhnya lebih cepat.
"Saya tidak haus," balasnya.
Tora nampak paham, lalu meminum air itu sedikit untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering, setelah cukup bercerita panjang kali lebar.
"Apakah masih jauh?"
"Eum...." Remaja tanggung itu nampak menerka-nerka. "Sejauh perkiraan saya, lumayan, kita akan keluar saat matahari terbit, jika saya berjalan dengan kecepatan normal mungkin sebelum subuh sudah sampai."
"Kamu bisa tahu padahal tanpa alat bantu?" tanya Zyan, terkesan.
Bahkan sama sekali tak memegang kompas, kehebatannya boleh dipuji. Bahkan Zyan sendiri yang notabene-nya merupakan tentara yang sudah dilatih berpuluh kali survival di dalam hutan dan taktik navigasi, bahkan hampir tersesat karena hutan ini belum banyak terjamah dan bagiannya sedikit sulit dipahami.
"Tentu."
Tora sudah sering keluar masuk dalam hutan karena perintah pamannya jadi ia sudah paham betul seluk beluk hutan yang seperti sudah menjadi taman bermain baginya.
Meskipun ia juga sering pergi tanpa sepengetahuan, ia menyukai keramaian penduduk yang hidup diluar hutan, setidaknya dengan itu ia merasa sedikit menjalani hidup seperti seorang manusia normal.
"Sebenarnya hanya dengan mengikuti aliran mata air juga bisa, danton nantinya akan dibawa ke desa yang berada ditepi sungai." Sambung remaja itu, santai.
Benar juga ya? Namun, mengapa kemarin Zyan tidak memikirkan hal itu sama sekali?
Padahal hanya tinggal mengikuti aliran, tanpa harus memikirkan kemana arah kompas, timur ke barat, selatan ke utara, melihat kemana arah mata angin, dengan perhitungan akurat yang pernah ia pelajari sewaktu masih menjadi seorang taruna.
Inilah definisi, jika ada yang susah mengapa harus cari yang mudah?
Nafas Zyan seolah tertahan, saat Tora semakin mengeratkan ikatan kain yang tadi ia lilitkan diperutnya. Darahnya kembali merembes keluar.
"Padahal anda masih terlalu muda untuk mati, bahkan baru lulus dari akademi dua tahun silam." Remaja itu geleng-geleng kepala, merasa prihatin melihat keadaan Zyan saat ini.
"Apa kira-kira anda masih bisa bertahan, Danton?" tanyanya kemudian.
Zyan hanya angguk-angguk kepala, "Ya ya, jadi teruslah mengoceh. Suara cemprengmu itu bahkan membuat orang yang ngantuk berat juga akan langsung terbangun."
Pria itu tiba-tiba saja teringat bunyi alarm Ops stelling yang sering digunakan untuk menguji kesiapan dan kecepatan para prajurit di asrama. Dibuat ketar-ketir bukan main.
Apapun yang sedang dikerjakan harus ditinggalkan, dipaksa untuk segera berkumpul, dalam waktu sangat singkat sudah dengan mengenakan seragam dan senjata lengkap, selayaknya memang berada di situasi perang.
"Maaf...."
Zyan dengar sudah lebih dari sepuluh kali bocah itu meminta maaf. Merasa jengah. Coba dengarkan baik-baik, kali ini untuk apa lagi.
"Karena saya Danton jadi tertangkap. Jika saja Paman tidak kembali mengancam akan menyakiti Mama, saya tidak akan pernah menjadikan danton sasaran anak panah saya." Lanjutnya penuh penyesalan.
Namun ia sudah sengaja menggunakan anak panah terburuk yang ia punya, dengan mata yang tumpul dan ukuran kecil. Agar luka yang didapat tidak akan terlalu parah, meski tetap saja menyakitkan dan berbahaya.
"Apa anak panahnya mengandung racun?" tanya Zyan.
Remaja itu menggeleng, masih dengan menunduk, "Tidak, saya sama sekali tidak menggunakan anak panah yang mengandung racun."
"Ya ya, saya maafkan, karena kemampuan memanahmu juga cukup buruk," cibir Zyan, acuh.
Wajah remaja itu kembali cerah.
Padahal kemarin ia sengaja hanya mengincar lengan, serta sedikit obat bius agar pria itu langsung kehilangan kesadarannya.
Jika mau, ia bisa saja menggunakan anak panah yang biasa ia gunakan untuk berburu rusa, dengan mata panah runcing yang sudah diasah, hingga mampu menancap di tempurung kepala manusia.
"Kemarin kamu mau dan membiarkan saya ditangkap mereka. Mengapa tiba-tiba berubah pikiran?" Zyan heran. Diluar karena sebotol air minum yang saat itu ia berikan.
"Saya remaja yang masih labil, jadi tidak perlu heran jika sering sekali berubah pikiran," jawabnya enteng.
"Lalu, bagaimana dengan Ibu dan Kakak perempuanmu jika Pamanmu mengetahui dirimu berkhianat?" tanya Zyan kembali.
Remaja itu menghela napas. "Mama dan Kak Elisa diam-diam sudah pergi dan akan tinggal di kota, kalaupun mereka ingin mengejarnya itu tidak akan mudah, foto mereka sudah tersebar dimana-mana, masuk ke dalam DPO sebagai seorang buronan, dan Paman cukup takut untuk itu. Itu alasannya dia tidak pernah keluar dari zona aman di tempat ini," ujarnya merendahkan suara diakhir kata, lalu terkekeh pelan.
Mengapa Paman dan keponankan ini sangat jauh sekali berbeda? Dari wajah juga tidak ada mirip-miripnya, remaja ini lebih bersih, hidung mancung, secara sekilas malah terdapat beberapa kesamaan dengan Zyan, seperti rambut mereka yang tidak terlalu hitam.
"Ibu saya adalah salah satu dari peneliti asal Swedia yang dulu juga pernah ditawan." Terang remaja itu saat Zyan terus mengamati wajahnya.
Zyan seketika terperangah, nampak tak menyangka. Jadi apakah kabar itu memang benar adanya? Seorang peniliti wanita asal Swedia yang dibiarkan hidup setelah rekannya sudah dibunuh dengan kejam, kematiannya hanya dipalsukan, untuk diperistri secara diam-diam oleh salah satu pimpinan mereka.
Pantas saja.
"Tolong jangan coba cari kesamaan saya dengan Paman. Karena sampai kapanpun kami jelas berbeda." Remaja itu melanjutkan ucapannya,
"Dulu saat ayah tewas ditembak mati oleh seorang tentara, saya tidak pernah sekalipun merasa dendam seperti Paman. Karena ia memang pantas mendapatkannya. Saya rasa itu memang balasan setimpal untuk kesalahan yang ia perbuat, konsekuensi karena telah memilih menjadi duri ditubuh negeri sendiri."
Zyan menepuk-nepuk pundak remaja itu, merasa kagum sekaligus bangga dengan pandangan dan pola pikirnya yang luas, untuk anak seumurannya.
"Harapan saya ingin bebas, menjadi seorang atlet memanah, setelah sudah punya banyak uang, saya akan membawa Mama kembali pulang ketempat asalnya, bersama Kak Elisa kami akan tinggal bahagia di sana," ujarnya seraya menyunggingkan senyuman tipis, membayangkannya saja ia sudah bahagia.
"Namun, jika hal itu memang terlalu mustahil, saya bertekad hanya ingin bisa bebas dari Paman, apapun yang terjadi." Pungkasnya.
Zyan tertegun.
Impian anak ini rupanya sangat sederhana.
Hanya ingin menghirup udara bebas.
_______________
![](https://img.wattpad.com/cover/338262491-288-k821692.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Ficção AdolescentePertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...