I. Hey, Bu guru

8.1K 380 4
                                    

Betapa indahnya ciptaan-Mu, Tuhan.

Mata gadis itu tak henti-hentinya memandang sunrise di belahan Indonesia Timur.

Rasanya memang cocok sekali jika tempat ini dikatakan sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi.

Sejauh mata memandang, terdapat bebukitan yang menghijau, nampak asri jauh dari kata polusi. Terlebih di pagi hari, udara sejuk bak aroma terapi tersendiri.

Sangat disayangkan, perasaannya yang biasanya membaik dengan cepat setelah melihat pemandangan seindah ini, kini terganggu sejak kedatangan Danton Satgas Pamtas¹ baru yang kelewat narsis dan kepedeen itu.

Belum terhitung sepekan kedatangannya ke desa ini, sejak hari pertama sampai sekarang, rasanya Arum ingin sekali melayangkan sepatu ke wajah tengil pria itu setiap kali mereka bertemu.

Sabarrr, Rum. Sabarrr...

Gadis berjilbab warna lavender itu mengelus dada, mencoba menenangkan dirinya, dengan menarik napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan.

Suasana hatinya seketika kembali dibuat ambyar. Niat ingin menghilangkan sedikit beban, pikirannya masih terus saja melayang-layang.

Diajeng Arumi Primaningtyas.

Gadis berdarah campuran Jawa, Melayu dan Arab. Berperawakan sedang. Hidung mancung, mata yang indah dengan iris cokelat pekat, ulu mata lentik, serta alis seperti busur panah.

Seorang pengajar muda yang sudah mengabdi selama kurang lebih setengah tahun di tapal batas Indonesia.

"Arum!"

Dari arah kejauhan, seorang gadis tinggi semampai dengan rambut sebahu menghampirinya. Teman seperjuangan yang sama-sama mengabdi di tempat ini, dokter Elsyakira Berliant.

"Aigoo .... anak gadis pagi-pagi bukannya beres-beres malah keluyuran di sini." Gadis itu memang hobi sekali mengomel.

Arum itu memang penikmat nomor satu senja, fajar, hujan. Baginya ketiga hal itu adalah ketenangan, sekaligus teman saat mencoba berdamai dengan keadaan.

•••

"Gua dengar Letnan Zyan itu bukan orang sembarangan. Bener dugaan gua, Rum! Auranya aja beuh .... ga ketulungan. Sayang banget ya, wajah seganteng itu malah milih jadi tentara."

Seperti biasa, mulut ceriwis milik dokter muda itu sudah ingin mengajak Arum sewot pagi-pagi ini.

"Memangnya apa salahnya wajah tampan dengan jadi tentara?" Arum heran.

"Maksud gua, wajahnya itu seleb bangettt."

Arum mengangkat sebelah alisnya, membuat Elsya berdecak sebal, dokter itu akhirnya jadi heboh sendiri. "Itu lho, daebak! Kayak aktor-aktor drama, jadi sayang aja kalau malah dikirim ke tempat berbahaya terus megang senjata."

"Husttt .... nanti orang lain denger." Arum mencoba menghentikan ocehan dokter muda itu.

Arum hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tatapan takjub Elsya yang sedari tadi menatap para pria berseragam loreng yang tengah berbincang dengan beberapa warga.

Memang ada salah satu yang paling menonjol diantara mereka. Sosok berbadan tinggi proporsional, dengan kulit lebih terang untuk ukuran seorang prajurit. Tangannya memegang sebuah baret kebanggaan milik kesatuannya, mata tajam bak burung elang, serta lesung pipi yang akan selalu tampak sekalipun ia hanya berbicara.

Salah satu keindahan lain dari tapal batas Indonesia. Letnan Zyan Athalla Hasanain, kini berdiri dengan kaca mata hitamnya, bak tengah berpose untuk cover sebuah majalah.

"Astaghfirullah."

Sosok pria itu tiba-tiba mengalihkan pandangan kearah mereka, membuat Arum seketika tersadar dan segera menundukkan pandangannya.

Berbeda dengan Elsya yang sejak tadi belum ingin mengalihkan pandangan, seolah merasakan efek kecanduan.

Wajahnya tipe gue bangettt.

Oppa saranghae!!!

Arum tidak mau terlibat jika gadis itu malah berujung kerasukan.

"Sepertinya Ibu dokter sedang tidak ada kerjaan." Pria itu tiba-tiba muncul dihadapan mereka, seraya melepaskan kaca mata hitam keramatnya.

Ketangkap basah jadinya kan!

"Ehh ... ya, eum ... anuu." Elsya spontan gelagapan, seraya memegang tekuk, merasa kesulitan menjawab. Kaget karena si doi tiba-tiba muncul dihadapannya.

Arum menepuk jidatnya, malu sendiri melihat ulah temannya.

Saat mata tajam milik perwira kelas pertama itu tak sengaja melihat kearah meraka, Arum saja sudah merinding, ingin menghilangkan diri dari tempat ini sekarang juga.

Apalagi dengan sengaja menatapnya terang-terangan. Ampun deh! Takut kepedean pria itu semakin merajalela.

Sejak istirahat yang terhitung lebih dari tiga puluh menit yang lalu, jadwal pemeriksaan rutin warga desa memang belum kunjung dilanjutkan. Padahal hari sudah mulai siang, matahari semakin meninggi.

"Apa Ibu guru juga ingin lebih berlama-lama menjadi patung disini?" Pria itu kemudian bertanya dengan nada sinis, menatap gadis disampingnya.

Ujung-ujungnya Arum juga yang ikutan kena, kan!

Rasanya ia ingin mengeplak sadis wajah pria itu menggunakan buku besar yang dipegangnya. Catat baik-baik, jika Arum tidak menyukai pria itu, bahkan sejak awal mereka bertemu.

Hey, apakah dia sedang merasa diatas awan karena ketampanannya itu?

Wajah Arum terlihat sedikit kusut.

"Sepertinya anda tidak suka dengan ucapan saya barusan, Bu guru?" ujarnya menyadari itu.

"Dari mana Bapak tahu?" Arum jadi sewot, meskipun suaranya masih terkesan netral.

Pria itu tersenyum getir, "Bahkan dapat diketahui jelas dari balasan Anda. Sepertinya benar-benar tidak menyukai saya."

Alhamdulillah, sadar lebih cepat.

Iya, bahkan Arum malas sekali setiap bertemu dengannya.

Gadis itu masih tersenyum tenang, meskipun suasana hatinya mulai memanas, "Sepertinya Bapak orang yang terlalu mudah menyimpulkan sesuatu ya? Memangnya juga dipikir semua orang akan langsung menyukai Bapak?" Suara Arum semakin menekan diakhir kata.

Tolong turunkan level kepedeen Anda!

Arumi bukanlah tipikal wanita yang mudah klepek-klepek melihat pria hanya dari ketampanan saja bukan pada sifatnya.

Zyan tertawa sumbang, yang benar saja, pikirnya, "Hey, Bu guru!"

Tatapan mata Arum kini nampak tak seperti biasa, gadis itu menatap dingin.

Elsya sendiri yang melihat perdebatan mereka tak tahu harus berbuat apa, suasana ini seolah menjadi tanda akan meletusnya perang dunia ketiga. Kalau seperti ini berabe sudah jadinya.

"Danton!"

Serda Ilham akhirnya menyela disela-sela perdebatan mereka, pria itu nampak tergesa.

"Ada apa?" tanya Zyan melihat anak buahnya itu kini berwajah cemas.

"Terjadi kerusuhan tepat tak jauh dari pos penjagaan, sepertinya ada sangkut pautnya dengan teror para pemberontak bersenjata."

_____________

¹Satuan tugas pengamanan perbatasan.

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang