Meskipun bukan berasal dari keluarga yang paham agama, sejak kecil Zyan sudah memeluk agama Islam mengikuti kepercayaan yang dianut oleh sang Ayah.
Awalnya kedua orang tuanya berbeda agama. Ibunya adalah seorang wanita asal Swedia, memutuskan untuk menjadi mualaf kemudian menikah dengan Ayahnya yang merupakan asli Indonesia.
Namun sayangnya, kehidupan pernikahan yang mereka jalani tidak berlangsung lama. Sang Ibu meninggal dunia, tepat beberapa saat setelah Zyan dilahirkan ke dunia.
"Pantas saja wajah Danton sedikit kebule-bulean, jadi dia itu blasteran toh." Elsya mangut-mangut saat baru mengetahuinya.
"Darimana kamu tahu semua tentang Danton?" tanya Arum.
"Dari Sersan Danu," balasnya.
Sersan itu memang terkenal sekali sebagai kepala gosipnya barak.
Arum geleng-geleng.
Elsya tampak sekali seperti tukang stalker, rela pasang mata dan telinga demi mendapatkan secuil informasi tentang si doi.
Arum juga heran, mengapa gadis itu begitu terobsesi setiap melihat pria tampan. Mungkin karena efek keseringan menonton drama Korea, atau novel romansa, sehingga sering berkhayal akan cowok fiksinya itu menjadi nyata.
Untuk ukuran gadis berwajah cantik, tinggi, berambut pirang, pintar, sudah dokter pula. Arum yakin para pria tidak perlu lagi dikejar, karena pasti akan datang pada Elsya dengan sendirinya.
Namun yang anehnya, gadis itu malah berkata, "Gue itu cuma seneng aja, Rum, ga lebih. Akhir-akhirnya nanti, juga bakalan tetap nikah sama jodoh pilihan keluarga gua."
Membuat Arum seketika hanya bisa geleng-geleng kepala, pasrah, dan angkat tangan melihat kelakuannya.
"Sudah sholat Isya?" tanya Elsya.
Arum mengangguk.
Meskipun Elsya berbeda keyakinan dengannya, namun gadis kenalannya saat sama-sama mengabdi ditempat ini, sering mengingatkannya akan waktu sholat, ataupun membantu menyiapkan menu berbuka saat kemarin Arum berpuasa.
Benar-benar hidup berdampingan yang indah, dengan toleransi, tanpa memandang perbedaan yang ada.
"Ca, menurutmu apa artinya seseorang ingin mencari tahu tentang kita?" tanya Arum.
"Mungkin karena tertarik."
"Tertarik?" Arum membeo.
"Ya, apa itu tentang Danton Zyan?" Tebak Elsya, sayangnya akurat.
Pipi Arum seketika memerah dan gelagapan, "Ha? M-maksud?"
Mengapa ujung-ujungnya tetap membahas pria itu?
•••
"Ajarkan saya membaca Al-Quran."
Ilham setengah cengo.
Ha? Apa yang barusan pria itu minta? Ilham tidak salah dengar 'kan? Apakah setan yang selama ini merasuki jiwa sang Danton sudah keluar?
"Astaghfirullah."
"Kok malah Astaghfirullah bukannya Alhamdulillah?" Zyan jadi heran, "Saya berniat mau hijrah."
"Ke Madinah?"
Otak Ilham masih setengah ngeblank.
"Karbala."
"Kejauhan, Danton."
Zyan memutar bola matanya malas, kemudian meluruskan, "Maksudnya saya mau berubah jadi lebih baik."
"Alhamdulillah." Rasanya Ilham seketika ingin sujud syukur mendengarnya.
Selain menjalankan tugas sebagai seorang tentara, kadang kala di sore hari Ilham membantu mengajar mengaji anak-anak muslim di desa ini. Mulai dari dasar yakni, Iqra.
Saat tadi Zyan berucap jika ia seorang muslim dihadapan Arum. Terdapat perasaan yang terus berkecamuk didalam hati Zyan. Apakah ia masih pantas disebut sebagai seorang muslim? Sungguh sebenarnya ia malu, bahkan ia belum mengenal satupun huruf Hijaiyah.
Masa ia kalah dengan anak-anak didiknya Ilham yang bahkan sudah hampir bisa membaca Al-Quran. Karena otaknya yang memang cukup jenius, ia bisa memahami lebih dari tiga bahasa asing, namun bahasa Al-Qur'an?
Zyan merasa ia sudah sangat jauh tersesat, bukankah sudah waktunya untuk pulang? Apa selama ini ketenangan yang ia cari hanyalah bentuk kesia-siaan?
Hidup seenaknya sendiri, mengikuti tren pergaulan bebas anak muda zaman sekarang. Untuk berhura-hura, menikmati masa muda, berlalai-lalai seakan sudah pasti hidup sampai tua.
Ilham melihat wajah sang Danton terlihat murung. "Tidak akan pernah ada kata terlambat, meskipun hidayah datangnya sedikit lambat," ujarnya tersenyum simpul.
Ya, terkadang Zyan memang benar-benar membutuhkan omelan ataupun ceramah dari Ilham.
Sebelumnya mungkin hanya mantul ditelinganya, namun lama kelamaan Zyan membutuhkannya untuk membuatnya semakin tersadar.
•••
"Bu guru, apakah Bapak Danton hari ini tidak ikut mengajar?" tanya beberapa anak, berwajah murung, karena hari ini hanya Arumi yang mengajar dikelas.
"Sepertinya beliau sedang ada urusan, Tias." Arumi berujar lembut, ingin memberikan anak didiknya pengertian.
"Yahhh...." Mereka mendadak menjadi lesu, dan kurang semangat.
Masalah teror oleh pemberontak bersenjata yang masih menghantui warga desa akhir-akhir ini. Pria itu pasti sedang disibukkan oleh tugas utamanya, sebagai Komandan pleton.
Memang benar jika tugas seorang tentara itu cukup beresiko. Tiba-tiba Arum jadi memikirkan sang Kakak yang saat ini tengah dikirim ke wilayah konflik, sebagai pasukan perdamaian. Arum sudah cukup menabung rindu setelah kurang lebih satu tahun, karena sibuk dengan tugas masing-masing.
"Selamat pagi!"
Lamunan Arum seketika buyar.
"Bapak Danton....!!!"
Anak-anak itu seketika girang dan bersemangat, seolah-olah tengah menyambut orang penting yang kehadirannya begitu dinantikan.
Pria itu mengacak rambut cepak-nya yang sedikit basah, karena sejak pagi tadi hujan gerimis.
Zyan terkekeh, karena ia bahkan masih berada diambang pintu saat anak-anak mulai mengerumuninya.
"Maaf, Bapak datang terlambat," ujarnya, kemudian mengelus kepala anak-anak itu satu per satu.
"Tidak apa-apa telat, yang penting bapak datang, bisa ajarkan kita bahasa orang luar!" balas mereka, antusias.
Mereka senang sekali diajarkan bahasa asing, dengan itu mereka seakan dapat melihat gambaran dunia yang luas, dari bayangan di kepala.
Arum tersenyum tipis.
Zyan rupanya sudah sedikit berbeda dari kesan yang Arum rasakan di awal. Seorang Danton baru yang menurutnya arogan, galak dan mau menang sendiri.
Entah sejak kapan prespektif-nya tentang pria itu sedikit demi sedikit mulai berubah. Apakah karena akhir-akhir ini mereka lebih sering bertemu?
"Bapak Danton tampan sekali e, sampai Bu guru tidak mau berhenti memandang." Celetuk salah satu anak didiknya.
"Astaghfirullah."
Arum baru tersadar setelah tawa anak didiknya itu seketika pecah. Apa yang baru saja Arum pikirkan?
______________

KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Danton! (End)
Teen FictionPertemuan awal dengan seorang Komandan Pleton baru pasukan pengamanan perbatasan itu cukup memberikan kesan buruk bagi Arum. Letnan Zyan Athalla Hasanain, pria egois, mau menang sendiri. Serta kelewat narsis bahkan di tahap overdosis. "Saya rasa te...