XVI. Dari Jogja

2.1K 167 5
                                    

Zyan masih ingat dengan jelas bagaimana awal pertemuan mereka, ketika baru pertama dan satu-satunya ada seorang gadis yang menolak jabat tangannya dengan ucapan yang dulu membuatnya spontan saja bertanya-tanya.

Saya seorang muslimah.

Hal yang membuat hati Zyan gelisah setiap saat lantaran memikirkan. Apa maksud dari gadis itu sebenarnya? Bukankah terkesan berlebihan untuk sekedar berjabat tangan dan berkenalan?

Semakin ia mencoba mencari alasan karena tertarik dan rasa penasaran, Islam seolah tanpa sadar masuk kedalam hatinya dan memberikan kebenaran bukan lagi pembenaran.

"Dalam Islam wanita itu memiliki kedudukan yang mulia dan diperlakukan selayaknya seorang ratu, jadi tidak bisa sembarangan orang lain sentuh."

Sungguh Zyan adalah orang yang sedikit plin-plan, jadi butuh waktu untuk memantapkan pilihan. Dan baginya gadis ini adalah salah satu ujian.

"Saya dari Jogja." Arum membuka topik pembicaraan mereka, setelah hanya hening tanpa suara.

Kini mereka duduk bertiga beralaskan rumput dengan Tias yang berada diantara keduanya, menghadap surya yang akan kembali tenggelam dibelahan bumi Indonesia.

Zyan menoleh. "Hm?"

"Ayah saya asli Jogja dan Ibu saya campuran Arab-Melayu," lanjut Arum, kemudian bertanya, "Saya dengar Ibu Danton juga bukan berdarah asli Indonesia kan?"

"Beliau berasal dari Karlskrona, sebuah kota kecil di bagian selatan Swedia. Jadi sama sekali tidak memiliki darah Indonesia," balas Zyan, mengiyakan.

Pantas saja, pikir Arum.

Ilham juga sering menyebut pria itu dengan istilah 'bule tanggung'.

"Saya hanya pernah melihat Mama beberapa kali saja difoto, dari sana saya berpikir pantas saja jika saya memiliki wajah setampan ini, rupanya menurun dari sana." Zyan tertawa puas sekali, melihat wajah Arum yang mendadak suram.

Tuh kan, padahal baru tadi Arum pikir pria itu sudah berubah, tiba-tiba jiwa narsisnya kembali lagi. Tidak usah diharapkan lebih memang.

Terlebih jika ditambah dengan kaca mata hitam keramat yang biasanya selalu ia bawa. Fix, klop sudah jadinya.

Sesaat keduanya kembali terdiam. Arum juga tidak tahu topik apa lagi yang akan mereka bahas. Sama halnya dengan Zyan, pria itu sungguh tidak mengerti mengapa pria dengan tipe blakblakan dapat menjadi canggung seperti ini.

Saat Zyan menoleh kearah samping, gadis itu tengah memejamkan matanya, dan menarik nafas dalam-dalam, seolah ingin menikmati udara-udara terakhir ditempat ini.

Indah sekali. Arum dan pemandangan alam ini benar-benar perpaduan yang sempurna.

Pria itu tersenyum simpul. Ya, ia juga tahu jika gadis itu hanya tinggal menghitung hari berada ditempat ini.

"Setelah pulang apa yang akan Ibu guru lakukan?" tanyanya.

Arum membuka kelopak matanya, lalu menoleh sekilas, "Selain kembali mengajar. Saya akan memulai aktivitas lain seperti kembali menulis laman blog atau novel, sekedar info saya juga seorang penulis hebat."

Diakhir katanya, Arum malah membuat Zyan jadi tertawa, karena baru kali ini ia berbicara yang terkesan sedikit membanggakan.

"Apa selain itu anda tidak memiliki rencana lain?" Kali ini Zyan tampak sedikit ragu bertanya.

Pertanyaan yang malah terdengar lebih mengarah pada kata-kata, apakah gadis itu akan segera menikah?

Jangan bilang sebelumnya Arum sudah menyimpan seseorang dihatinya? Perjodohan? Atau mungkin menikah dadakan, karena seorang pria yang sudah lama menunggunya mengajaknya untuk ta'aruf. Siapa yang tahu?

"Rencana lain? Eum .... saya belum memikirkannya, tapi bisa jadi akan segera," balas Arum, dengan sedikit senyum khas.

Zyan seketika mengalihkan pandangan kearah lain. Rasanya ada sesuatu yang menyakitkan dihatinya. Sebenarnya apa arti dari kata ikhlas itu?

Saat ini Zyan tidak akan mungkin meminta gadis itu menunggunya sampai pulang, dan membuatnya untuk setia melajang menunggu pria sepertinya memperbaiki diri sampai benar-benar memantapkan iman dan hati.

Memang dirinya siapa? Bukankah itu sama saja hal lancang dengan mengajaknya menjalin hubungan karena sama-sama sudah terikat. Dan hal itu tidak akan pernah Zyan lakukan, se-egois apapun dirinya.

Gadis itu pasti lebih menyukai pria paham agama yang mampu membimbingnya dengan baik, sebagai penunjuk arah dalam meraih jannah-Nya bersama.

Zyan hanyalah seseorang yang baru saja berniat memperbaiki diri, bahkan dengan kadar iman yang kadang kala masih goyah. Membuatnya berulang kali berpikir, apakah ia masih pantas? Apakah ia masih ingin berharap?

Dimatanya gadis itu terlalu sempurna.
Dan semakin Zyan sadari, mencintainya layaknya hanya bayang semu yang sulit diraih, bahkan tidak pernah bisa ia dapatkan saat akan ia kejar. Meskipun tak ada yang namanya mustahil, namun ia lebih memilih untuk sadar diri.

Jujur, ia akan rela.

Gadis itu berhak untuk mendapatkan seorang pria yang jauh lebih baik darinya.
Iya, setidaknya bukan pria dengan masa lalu yang buruk sepertinya.

Setelah pulang nanti, mereka mungkin akan saling melupakan dengan mudah. Menjalankan hidup masing-masing seperti biasa hingga kembali terbiasa.

Hari ini hanyalah salah satu kenangan yang mungkin juga akan segera terlupakan, tidak akan cukup memberikan kesan yang mendalam.

Jadi cukup mengenal, jika tidak ingin nanti menyesal.

"Danton sendiri, apa anda sudah merencanakan hal lain?" tanya Arum.

Zyan kembali menoleh, lalu tersenyum tipis, "Iya, bahkan saya ingin segera pulang," jawabnya.

Deg!

Arum segera mengalihkan pandangan.

Apa mungkin karena ingin menikah?

Arum pikir seorang perwira yang mendapatkan banyak prestasi diusia yang masih sangat muda, pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikahi seorang gadis dengan latar pendidikan bagus, serta keluarga terpandang setidaknya yang setara dengan keluarganya.

Pemuda dari keluarga kaya raya yang pasti banyak diidamkan oleh para gadis. Akan mudah baginya untuk memilih salah satu dari mereka. Dan yang jelas bukanlah seperti gadis seperti Arum, yang bahkan sama sekali tidak mengerti tentang fashion.

Jadi, apakah mungkin? Arum hanyalah seorang pengajar, bukan seorang dokter yang dapat mengobatinya tatkala terluka. Seorang gadis biasa, yang mungkin saja dianggap membosankan oleh sebagian pria.

"Astaghfirullah..."

Zyan seketika menoleh, "Ada apa?"

"T-tidak."

Gadis itu akhirnya tersadar.

Apa yang saat ini ia pikirkan? Kehilangan rasa percaya diri hanya karena hal duniawi?

Tias yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan dua orang dewasa itu, juga hanya bisa plonga-plongo.

Sepertinya dua orang yang kurang komunikasi verbal itu, lebih banyak ingin menggunakan komunikasi batin.

____________

Hey, Danton! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang