''Ketika hal-hal terlalu sulit untuk ditangani, terkadang memilih pasrah lebih baik daripada terlalu banyak menyalahkan keadaan.''
Latihan basket dihentikan sementara untuk melakukan istirahat beberapa menit. Terlihat dari arah tengah lapangan, Darren berjalan menuju tempat duduk Vanka. Mata tertuju pada novel yang dipegang dari kedua tangannya serta sebuah headset putih terpasang di kedua telinga Vanka.
"Woi!" ucap Darren melepaskan salah satu headset dari telinga Vanka.
"Nih kalo mau minum!" balas Vanka seraya menyerahkan sebuah botol minum warna pink miliknya pada Darren.
"Tumben perhatian!" lanjut Darren dengan duduk di samping Vanka.
"Perhatian tumben! Nggak perhatian tumben! Salah mulu!" gerutu Vanka mendengus kesal.
"Terima kasih banyak Nona Vanka! You are the best!" balas Darren mendekati telinga Vanka.
"Ye." geram Vanka menggeser posisi duduknya.
"Yaudah gue lanjut latihan lagi!" ujar Darren segera berdiri dari tempat duduk.
"Berapa lama lagi?" sambung Vanka memutarkan bola matanya.
"Hmm kemungkinan sampek pohon jati berbuah!" canda Darren melangkahkan kakinya meninggalkan Vanka.
"Stress!" gumam Vanka dengan lirih.
Menunggu adalah hal yang membosankan bagi Vanka, apalagi menunggu Darren pasti akan sangat lama. Tetapi mengingat pemberian dari Darren yang sudah Vanka terima, jadi keinginan Vanka untuk menolak harus dia hilangkan terlebih dahulu. Dengan melakukan kesibukan sendiri, Vanka menunggu Darren latihan sampai beberapa waktu nanti sampai selesai.Akhirnya waktu telah berakhir untuk latihan basket pada hari ini. Semua tim anggota basket segera membereskan barang-barangnya dan langsung meninggalkan lapangan basket tersebut.
Darren sudah berganti baju basketnya menjadi kaos polos warna hitam. Dengan langkah kaki yang cepat dia berjalan ke tempat duduk Vanka.
"Lo pulang apa nginep disini?" ucap Darren memasukkan baju basketnya ke dalam tas.
"Ayo buruan pulang! Lama banget! Capek tau!" sahut Vanka segera berdiri dari tempat duduknya.
"Yaudah ayo pulang." balas Darren dengan merangkul pundak Vanka mengatakannya berjalan menuju keluar dari lapangan tersebut.
Akhirnya setelah penantian yang cukup lama, Darren telah usai dari latihannya. Ini yang Vanka tunggu sedari tadi, pulang ke rumah.Tin Tin!
Suara tersebut berasal dari motor yang milik Daniel melaju dengan cepat melewati Darren dan Vanka.
"Sombong banget jadi orang! Sok-sokan mentang-mentang jadi ketua basket!" pungkas Vanka dengan kesal.
"Bukan mentang-mentang tapi skillnya nggak diragukan!" balas Darren menaiki motornya.
"Aslinya lo lebih jago daripada dia! Cuman lo kurang beruntung aja waktu itu!" cetus Vanka memasang helm pada kepalanya.
Sikap angkuh Daniel memang sangat terlihat, hal tersebut membuat Vanka begitu kesal dengan apa yang dia lakukan termasuk kepada Darren. Dia yakin Darren pasti bisa lebih daripadanya, hanya saja takdir berkata lain pada kala itu. Mungkin jika dilain kesempatan, Darren bisa menaklukan semuanya, termasuk mengalahkan Daniel.
"Lo tau darimana?" lanjut Darren menatap Vanka.
"Dari orang dalam! Barusan aja!" ucap Vanka melirik Darren.
"Gerald sama Rafael?" tanya Darren pada Vanka.
"Nggak dikasih tau mereka tadi, gue juga udah tau dari awal! Lo one by one kalah trus suruh deketin gue deh! Udah kebaca!" pungkas Vanka naik ke atas motor Darren.
"Kok bisa sih?" gumam Darren penuh tanya.
"Bisalah! Udah deh buruan ayo pulang!" cetus Vanka menepuk pundak Darren.
Tanpa berbasa-basi banyak kata, Vanka mengajak Darren untuk berlangsung pulang. Dia tidak mau jika Darren menanyakan kembali tentang permasalahan itu, Vanka sangat malas dengan hal tersebut.Motor Darren berlaju arah yang berbeda yang seharusnya dia harus belok kanan tapi dia berbelok arah ke kiri.
"Darren! Lo pikun ya? Rumah gue belok kanan bukan belok kiri!" tegas Vanka mengoyangkan kedua pundak Darren.
"Udah deh diam aja!" sahut Darren mengegas stir motornya.
"Awas ya sampek lo macem-macem!" cetus Vanka mendengus kesal.
"Stt jangan teriak-teriak deh! Malu didengar orang lewat!" balas Darren melirik Vanka pada spion motor.
Hanya pasrah yang bisa Vanka terima, dia sudah begitu capek itu beradu mulut kepada Darren. Selama Darren tidak melakukan hal berbahaya kepadanya, Vanka hanya bisa menerima dengan lapang dada, walaupun hatinya selalu mengedumel.Darren menghentikan laju motornya di pinggir jalan tepatnya di sebuah bangunan kecil dari susunan batu bata yang sudah dilapisi cat tembok terbuka tanpa ada pintu menutup penutup dengan spanduk di depannya bertuliskan "Warung Makan Ayam Geprek Pak Jamal". Terlihat disana dipadati banyak pembeli sedang menikmati makan yang mereka pesan.
"Gue nggak minta lo nyuruh beli makan!" ucap Vanka dengan lirih.
"Siapa juga yang mau disuruh sama lo? Ayo buruan masuk biar cepet pulang!" cetus Darren mengenggam tangan Vanka masuk ke dalam warung tersebut.
Vanka mau tidak mau harus mengikuti apa yang diinginkan Darren.
"Pak ayam gepreknya dua. Satu pakek cabe lima, trus lo berapa?" tanya Darren melirik Vanka.
"Gue satu aja!" balas Vanka mengerutkan alisnya.
"Jadinya satu level 5 satunya level 1, Pak!" pungkas Darren kepada penjual.
"Siap, Mas! Silakan duduk dulu di dalam!" ujar penjual mengarahkan mereka agar masuk.
"Bapak namanya Pak Jamal?" sahut Vanka bertanya pada penjual.
"Iya, Mbak. Kenapa ya?" lanjut penjual berbalik tanya.
"Nggak papa, Pak. Namanya kebetulan sama kayak penjual sayur keliling yang sering lewat rumah." jelas Vanka menyipitkan matanya.
Terlihat aneh, Vanka begitu penasaran dengan identitas penjual ayam geprek tersebut. Hanya karena memiliki nama yang sama dengan penjual sayur keliling yang biasanya sering lewat di depan rumahnya.Jangan lupa buat vote dan ramein commentnya ya.
Terimakasih yang sudah membaca.
See u next chapter ya, love u my readers.
KAMU SEDANG MEMBACA
arenka -on going-
Teen FictionBagi Vanka, hidup ini bukan hanya tentang cinta belaka. Menurutnya, buat apa cinta ada hanya akan meninggalkan luka? Buat apa cinta ada jika harus ada yang tersakiti? Bukankah cinta seharusnya ada untuk membuat dua insan saling bahagia tanpa adanya...