''Awalnya penasaran yang lama kelamaan tumbuh sebuah rasa dari perasaan.''
Pegangan dari tangan Darren begitu erat mengeggam tangan Vanka. Tanpa mengelak, Vanka sudah capek untuk berdebat dengan Darren apalagi masalah pegangan tangan. Pasti Darren akan banyak kata-kata, lebih baik Vanka menuruti saja.
Mereka berdua melangkahkan kakinya berjalan masuk menuju ruang keluarga yang disana terdapat Mamanya Darren duduk sedang melihat televisi.
"Assalamualaikum, Ma!" sahut Darren mendekati Mamanya.
"Wa'alaikumussalam. Eh ada Vanka!" pungkas Mamanya tertuju pada Vanka.
"Tante!" sapa Vanka bersalaman pada Mamanya Darren.
"Tante seneng banget Vanka main lagi kesini! Udah sarapan apa belum?" lanjut Mama Darren bertanya pada Vanka.
Mamanya Darren begitu senang melihat kedatangannya, dia selalu memberikan senyuman tulusnya kepada Vanka. Apakah mungkin dia sangat memberikan harapan kepada Vanka untuk Darren, itu yang Vanka pikirkan ketika bertemu dengan Mamanya Darren, karena dia terlihat begitu menerima Vanka dengan baik.
"Udah kok, Tante." balas Vanka menyipitkan matanya.
"Mau minum apa?" sambung Mama Darren menaikkan alisnya.
"Hmm.." ucap Vanka terpotong oleh suara dering telepon yang ada di atas meja ruangan tersebut.
Benar, dia selalu memberi perhatian kepada Vanka. Dia pasti selalu menanyakan apakah Vanka sudah makan dan selalu menawarkan Vanka mau dibuatkan minum apa. Sebenarnya situasi seperti yang membuat Vanka canggung, itu yang membuat Vanka bingung harus menjawab apa.Tung! Ting! Tung! Ting!
Tangan Mama Darren bergegas mengambil handphonenya yang ada di atas meja depan sofa.
"Hallo! Ada apa?" sahutnya membalas obrolan penelpon tersebut.
"Sekarang juga? Kalo begitu, saya akan segera berangkat!" pungkas Mama Darren langsung mengakhiri teleponannya.
"Aduh! Mama ada urusan kantor. Mama siap-siap dulu ya." ujar Mama Darren berjalan meninggalkan mereka berdua.
Mamanya Darren memanglah wanita karir yang selalu sibuk dengan pekerjaan kantornya, tetapi dia tidak pernah ada rasa untuk melupakan keberadaan Darren. Karena dia sangat menyayangi Darren, begitu juga dengan Darren.
"Yaudah kerjain tugas lo!" perintah Darren langsung menduduki sofa.
Sesuai apa yang diperintahkan oleh Darren, Vanka segera duduk di lantai dekat sofa samping Darren dengan mengambil laptop dari dalam totebag dan diletakkan pada meja depannya.
"Den Darren sama Non Vanka mau minum apa?" tanya Bi Gayatri seketika berjalan keduanya.
"Yang seger-seger aja, Bi!" saran Darren sedang sibuk menatap layar handphonenya.
"Non Vanka mau minum apa?" lanjut Bi Gayatri bertanya pada Vanka.
"Air putih aja, Bi." pungkas Vanka membalas dengan senyuman.
"Yaelah! Jauh-jauh dari rumah lo kesini minumnya cuman air putih! Samain aja, Bi!" cetus Darren melirik Vanka.
"Baik, Den. Bibi buatin dulu!" pungkas Bi Gayatri melangkahkan kakinya kembali ke dapur.
"Udah dibilangin. Kalo di rumah gue nggak usah malu-malu! Anggap aja rumah sendiri! Siapa tahu jadi beneran!" terang Darren berdiri dari duduknya dan mendekati tempat Vanka duduk.
"Nggak jelas!" timpal Vanka sibuk mengetikkan tulisan pada layar laptopnya.Miauw!
Seekor kucing memiliki bulu berwarna putih dari kepala hingga ekor. Ekor nya yang panjang melambai-lambai ketika sedang berjalan. Matanya berwarna biru tampak garang dengan kepala bulat besar, hidung kecil, mata hitam menyala yang mempunyai kaki-kaki yang pendek dan ujung yang pendek juga. Bertubuh sangat gemuk dengan bulu pajang, tebal dan bersinar yang bertekstur lembut. Kucing tersebut secara tiba-tiba berjalan menghampiri berdua.
"Eh ada Molly. Sini ada cewek nih!" ucap Darren seraya memegang kucingnya.
"Ih bawa jauh-jauh sana!" pungkas Vanka segera berdiri dari duduknya dan menjauh dari Darren.
"Lo takut kucing?" tanya Darren menatap Vanka.
"Lucu kek gini kok ditakuti! Coba deh lo pegang!" lanjut Darren berjalan mendekati Vanka.
"Nggak nggak! Gue nggak mau! Please deh jauhin kucingnya dari gue!" tegas Vanka dengan wajah penuh ketakutan.
Tidak tahu mengapa Vanka jauh berbeda dengan cewek-cewek di luar sana yang begitu tergila-gila dengan seekor kucing apalagi oara cewek cat lovers, sedangkan Vanka yang takut dengan seekor kucing. Mungkin karena dia sedari kecil tidak pernah dekat dengan kucing yang membuatnya takut, memegang badan kucing saja Vanka sudah tidak sanggup, apalagi dia dihampiri oleh seekor kucing. Pasto kabur jalan dari menyelesaikan masalah tersebut.
"Iya-iya! Cemen banget takut kucing!" ujar Darren membawa kucingnya ke dalam kandang.
Vanka kembali duduk di tempat semula dan melanjutkan menyelesaikan tugas yang belum dia selesaikan.
"Kucing! Kucing!" seru Darren mendekati Vanka.
"Mana? Mana?" spontan Vanka kembali berdiri dari tempat duduknya.
"Di kandang!" balas Darren tertawa dengan mulut yang terbuka.
"Iseng banget sih jadi orang!" gerutu Vanka secara tiba-tiba mencubit lengan tangan Darren.
"Aduh jangan kekerasan dong!" pinta Darren meringis dengan satu tangan mengelus lengan yang baru saja dicubit oleh Vanka.
"Mending lo pergi deh! Ganggu aja dari tadi! Tugas gue nggak selesai-selesai!" geram Vanka mengerutkan bibirnya.
Bukan bermaksud untuk mengusir keberadaan Darren, tetapi memang sikap Darren yang tidak bisa diam membuat Vanka kesal dan memerintahkan dia untuk pergi dari ruangan in agar Vanka dapat meyelesaikan tugasnya dengan tenang.
"Tamu ngusir-ngusir! Yaudah deh gue mau pergi jauh banget!" sahut Darren berjalan meninggalkan Vanka.
"Lo mau kemana?" tukas Vanka melirik arah Darren berjalan.
"Belum pergi aja udah nyariin! Gue mau main basket. Kalo nyariin tinggal samperin aja di halaman samping!" papar Darren menaikkan alisnya dan melanjutkan langkah kakinya.
Vanka menghembuskan napasnya dari dalam hidungnya secara perlahan. Kemudian tangan lentiknya saling bersahutan pada keyboard dan pandangan mata terkedip beberapa kali tertuju pada layar depan laptop miliknya.Gemas sekali bukan kisah cinta mereka berdua?
Ingin tahu kelanjutannya, tungguin terus tiap next chapternya.
Terima kasih yang sudah membaca hingga saat ini.
Love u all my readers, see u guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
arenka -on going-
Teen FictionBagi Vanka, hidup ini bukan hanya tentang cinta belaka. Menurutnya, buat apa cinta ada hanya akan meninggalkan luka? Buat apa cinta ada jika harus ada yang tersakiti? Bukankah cinta seharusnya ada untuk membuat dua insan saling bahagia tanpa adanya...