''Hadir dan pergi adalah sebuah pilihan. Tetapi bolehkah kau hadir tidak untuk pergi?"
Mereka semua berjalan menaiki anak tangga satu demi satu menuju Kamar Darren yang berada di lantai dua.
"Permisi Nyonya, ada temannya Den Darren." terang Bi Gayatri dari arah depan pintu.
"Suruh masuk aja, Bi!" perintah Mama Darren menoleh ke arah pintu.
"Assalamu'alaikum, Tante!" ucap Rafael berjalan masuk ke Kamar Darren.
"Waalaikumussalam. Eh ada Vanka juga!" sambut Mama Darren memeluk Vanka.
"Tante seneng banget kamu main kesini lagi!" pungkasnya melepaskan pelukan dari Vanka.
"Iya Tante." balas Vanka melebarkan senyumannya.
Kehadiran Vanka benar-benar berarti bagi Mamanya Darren. Sambutan hangat selalu dia berikan dengan tulus kepada Vanka. Hingga Vanka bingung ingin membalaskan apa. Hanya menjawab sebisanya dan senyuman dari sudut bibirnya."Yaudah, Tante keluar dulu ya. Kalian nemenin Darren!" ucap Mamanya berjalan keluar dari kamar.
Darren terlihat tersenyum setelah kedatangan mereka bertiga."Kok lo juga kesini?" tanya Darren melirik Vanka.
"Surprise bro!" tangkas Rafael sambil berjalan mendekati Rafael yang duduk sofa di samping tempat tidur Darren.
Sedangkan Vanka masih berdiri dengan pandangan mata tertuju pada suatu foto pigura yang terdapat anak kecil yang digendong oleh seorang ibunya. Tetapi yang Vanka merasa kebingungan adalah seorang ibu yang ada di foto tersebut wajahnya terlihat berbeda dengan Mama Darren yang sekarang."Vanka! Lo ngapain benggong disitu?" ujar Darren berarah pada Vanka.
Mendengar perkataan dari Darren membuat Vanka berlangsung duduk di kursi dekat kasur Darren.
"Lo berdua mau kemana?" sahut Vanka melihat Gerald dan Rafael berjalan menuju pintu keluar kamar.
"Mau cari udara segar! Awas sampek kalian macem-macem!" pungkas Rafael dengan tertawa.
"Enak aja kalo ngomong!" dengus Vanka kembali berarah pada Darren.
"Emang itu anaknya suka bercanda. Jangan dimasukin ke hati! Takutnya nggak muat." papar Darren tersenyum pada Vanka.
"Lo sakit apa? Apa jangan-jangan lo pura-pura?" timpal Vanka menaikkan aslinya.Darren mengambil salah satu tangan Vanka yang membuat telapak tangan berada pada keningnya.
"Ini namanya pura-pura?" ucap Darren menatap Vanka.
"Lo belum dikompres?" tanya Vanka langsung menyingirkan tangannya tersebut dari kening Darren.
"Makanya kompresin! Siapa tau kalo lo yang ngompresin turun panasnya." pinta Darren mengerutkan dahinya.
Vanka segera mengambil kain yang sudah direndam dalam wadah berisi air hangat pada bagian atas meja samping Darren. Kemudian Vanka meletakkan kain tersebut pada dahi Darren."Suapin gue dong!" pungkas Darren menatap Vanka.
"Harusnya gue yang nawarin lo makan! Malah lo nyuruh-nyuruh." sahut Vanka mengerutkan bibir.
"Habisnya lo nggak peka sih!" ucap Darren melirik Vanka.
Tangan Vanka mengambil sebuah wadah kotak di samping tempat kompres tersebut.
"Bubur?" tanya Vanka sambil mengaduk bubur tersebut.
"Eh jangan diaduk! Nggak enak!" kilah Darren mengerutkan alis.
"Bodoamat! Gue tim bubur diaduk!" timpal Vanka yang pada bubur.
"Hak!" ucap Vanka dengan mulut terbuka dan tangan membawa sendok berisi bubur untuk dimasukkan ke mulut Darren.
"Enak kan?" tanya Vanka mengeluarkan sendok dari mulut Darren.
"Kalo lo yang nyuapin enak-enak aja." canda Darren menahan tawanya.
"Oh yaudah deh lain kali gue nyuapin lo rumput aja!" sambung Vanka mengambil bubur pada sendok.
"Emang gue kambing?" lanjut Darren tersenyum lebar.
"Tutu tutu tutut" ucapan dari Vanka dengan sendok berisi bubur digerakkan ke arah atas memutar sampai ke mulut Darren.
"Ayo makan ya! Biar cepet besar." perintah Vanka memasukkan kembali bubur ke dalam mulut Darren.
"Emang pesawat bunyinya tutut? Kereta kali." cetus Darren menelan bubur.
"Pesawat edisi terbaru!" pungkas Vanka menatap bubur.
''Makasih ya, Van.'' ucap Darren tersenyum kecil kepada Vanka.
Darren begitu merasakan kehadiran Vanka begitu berarti untuknya, bukan hanya saat ini tapi setiap kali dia ada di sampingnya.''Makasih buat apa?'' balas Vanka yang fokus mengaduk bubur tersebut.
''Buat ini.'' jawab Darren yang masih menatap Vanka yang sibuk dengan buburnya.
''Ini apa?" tanya Vanka yang berlangsung menatap ke arah Darren.
''Makasih buat hari ini. Makasih udah dateng buat nyengukin gue. Makasih udah bawain gue parsel buah. Makasih lo udah mau ngompresin gue. Makasih gue mau nyuapin gue. Makasih buat semuanya.'' urai Darren untuk berterima kasih atas kebaikan Vanka kepadanya.
''Kurang panjang, Bang.'' sahut Vanka dengan menahan tawanya.
''Jangan bercanda dong. Gue serius, Van.'' pinta Darren dengan ekspresi wajah penuh harap.
''Bukannya selama ini hidup lo penuh dengan candaan? Sampai anak orang harus diikutsertakan dalam lelucon percintaan palsu lo?'' cetus Vanka dengan kedua mata yang menatap ke arah Darren.
''Van, lo tau kan itu bukan keinginan gue.'' jawab Darren yang berusaha meredamkan emosi Vanka.
''Bukan keinginan lo tapi atas keinginan ego lo hanya untuk mempertahankan apa yang lo inginkan?" tanya Vanka yang kembali membuat Darren terlihat sangat kebingungan.
''Gue minta maaf, Vanka.'' lirih Darren perlahan memegang kedua tangan Vanka.
Perasaan Darren menjadi tidak karuan atas segala ucapan yang tiba-tiba Vanka lontarkan, kata maaf tidak ada habisnya untuk dia ucapakan kepada Vanka. Tidak benar-benar tidak tahu haris melakukan apa selain berminta maaf.''Aduh akting gue kelewatan ya? Wajah lo tambah pucet lagi.'' ucap Vanka yang segera meletakkan telapak tangannya pada kening Darren.
''Vanka, gue minta maaf. Maaf.'' ujar Darren yang masih berusaha meminta maaf kepada Vanka."Ehem ehem! Aduh so sweet banget! Menyiksa kaum jomblo everybody!" sahut Rafael yang kembali masuk ke dalam Kamar Darren diikuti Gerald di belakangnya.
"Mau pulang ya?" tanya Vanka berarah ke mereka berdua.
"Kalo lo mau nginep disini, Darren so happy malahan!" balas Rafael melirik Darren.
"Nggaklah gue mau pulang!" lanjut Vanka segera berdiri dari duduknya dan meletakkan kembali wadah berisi bubur di atas meja samping Darren."Gue pulang dulu ya! Makanannya dihabisin! Masa udah gede nggak habis makannya? Nanti lanjut kompres sendiri! Udah gede nggak boleh ngrepotin!" jelas Vanka menatap Darren.
Vanka sudah menampakkan perhatiannya tetapi masih saja dengan sikap menyebalkannya.
"Baru aja dateng udah pamitan." potong Darren bertanya pada Vanka.
"Kita pamit pulang dulu ya!" pamit Gerald bersalaman pada Darren.
"Cepet sembuh ya bro! Sehari aja lo nggak masuk gue udah nggak tahan banget!" pungkas Rafael menatap Darren.
"Nggak tahan karena nggak ada yang naksir?" sahut Darren menaikkan alisnya.
"Nggak tahan kangennya!" canda Rafael menyipitkan matanya.
Kehadiran Darren di sekolah sangat ditunggu kembali bagi Gerald dan Rafael.Darren mode serius, Vanka mode bercanda. So sweet juga yaa mereka kalo disatuin. Lucu kan kalian bayanginnya hihi.
Gimana guys lebaran kalian? THR lancar kan? Jangan lupa ditabung uangnya buat beli novel ''Arenka'' yahaa halu dulu ni authornya siapa tau nanti karya aku bener-bener bisa diterbitkan yaa AAAMIN.
Kalo mau terwujudin pastinya dukung karya cerita aku terus yaa, bantu comment dan bantu vote juga yaa my readers. See u my lovers. I love u all, always<3
KAMU SEDANG MEMBACA
arenka -on going-
Teen FictionBagi Vanka, hidup ini bukan hanya tentang cinta belaka. Menurutnya, buat apa cinta ada hanya akan meninggalkan luka? Buat apa cinta ada jika harus ada yang tersakiti? Bukankah cinta seharusnya ada untuk membuat dua insan saling bahagia tanpa adanya...