Chapter 28 -Just Worried Or Very Worried?-

103 4 0
                                    

''Terkadang perhatian bagian dari cinta, tetapi mengapa bisa mencintai seseorang yang mengabaikan perhatian itu?.''

Dari sudut kantin sekolah, Vanka dan Stella terlihat sedang bercakap dengan salah satu penjual makanan, Mpok Surti.
"Ini ya Mpok!" ucap Shepora menyerahkan uang kepada Mpok Surti untuk membayar makanan yang telah dia pesan.

"Aduh! Sorry nggak lihat!" terang Stella secara tiba-tiba menumpahkan minuman berwarna kuning mengenai rok Vanka.
Sengaja, hal yang dilakukan Stella pada Vanka. Mungkin Stella selalu ada berbagai cara untuk membuat Vanka menderita, termasuk perbuatannya ini.
"Ngompol deh jadinya!" sambung Marcella menutup mulut dengan tangan.
"Apa-apaan sih lo! Lo sengaja kan numpahin biar kena Vanka!" sahut Shepora mendekati Stella.
"Udah dibilangin kalo gue nggak sengaja! Kalo gue sengaja gue langsung siram aja wajah lo!" cetus Stella yang jari telunjuk mengarah ke Shepora.
"Lo salah ngeles lagi!" gerutu Shepora kedua matanya menyala.
"Udah udah! Ayo kita balik ke kelas!" ujar Vanka memegang tangan Vanka dan mengajak Shepora pergi meninggalkan mereka bertiga.
Shepora yang sudah panas, tidak terima dengan kelakuan Stella kepada Vanka. Tetap saja Vanka lebih memilih diam dan menerima semuanya tanpa berusaha mengelak kepada Stella.

Sesampainya di kelas, Shepora masih dengan perasaan kesal atas apa yang dilakukan Stella terhadap Vanka barusan. Dia merasa hal yang dilakukan Stella adalah kesengajaan. Karena itu membuatnya tidak terima tidak Vanka diperlakukan seperti tadi.
"Sumpah ya! Tuh cewek sok cantik banget sih! Gaya banget!" dengus Shepora memukul bangku kelasnya dengan keras.
"Yaampun Shepora! Udah jangan marah-marah deh! Kalo ada kerusakan fasilitas kelas lo ya yang ganti rugi!" papar Vanka seraya duduk pada bangku.
Vanka selalu tidak mau jika permasalahan akan mengikutsertakan orang lain, termasuk Shepora. Vanka hanya tidak mau akan terjadi pertengkaran pada mereka berdua. Biarkan Stella melakukan apapun padanya, tapi bukan berarti Shepora juga, ini yang ada dipikirannya Vanka saat ini. Dia rela dirinya terluka, asal bukan orang lain.

Hembusan angin menggerakkan uraian rambut Vanka. Dengan langkah kaki menyerupai bentuk zig-zag Vanka terlihat begitu bersemangat. Hari ini dia merasa terbebaskan, karena dia bisa pulang sendiri dengan naik bus, karena dia tanpa harus berusaha untuk menghindari dari Darren.
"Na na na na na!" gumam Vanka mengelengkan kepala ke arah kanan ke arah kiri.
Tin!
"Mbak, kalo jalan di pinggir. Jangan di tengah-tengah!" pungkas seseorang bapak pengendara motor.
Vanka bergegas melangkahkan kakinya ke arah pinggir jalan. Dia tidak menyadari jika posisi berjalannya di tengah jalan. Karena hal itu, Vanka berlangsung mempercepat langkah kakinya. Antara malu dan menahan tawanya, untung saja tidak ada seorang lagi yang melihat kejadian tadi, jika ada pasti akan membuat Vanka lebih malu.

Dor!
"Eh monyong!" spontan Vanka berteriak terkejut.
Tawa kekeh dari Darren melihat Vanka begitu kaget karena ulah yang telah dia lakukan.
"Apaan sih lo! Ngagetin orang aja!" gerutu Vanka menyubit salah satu lengan tangan Darren.
"Kena deh lo! Wlek!" ledek Darren berlari ke arah teras rumah Vanka.
"Awas ya!" pungkas Vanka mengejar Darren mengikuti arah larinya.
"Eh eh! Kok main lari-larian kayak anak kecil aja. Ayo buruan masuk!" perintah Mama Vanka kepada mereka berdua.
"Mau ganti baju dulu!" ucap Vanka berjalan menuju kamar.

Sesuai ganti baju, Vanka berjalan menuju ruang tamu yang tidak ada keberadaan Mamanya juga Darren. Setelah mendengar suara keduanya berada pada dapur belakang. Vanka langsung melangkahkan kakinya menuju dapur. Berukuran sedang dan berkonsep sederhana yang terdapat meja makan dari kayu berbentuk persegi panjang dilapisi kain diatasnya. Terlihat Darren sedang duduk di kursi depan meja makan sedangkan Mamanya sedang mengupas bawang merah di samping Darren.
"Ngapain sih lo nggak pulang?" sahut Vanka mendekati keduanya.
"Mama yang nyuruh Darren jangan pulang duluan!" balas Mamanya sambil mengupas bawang merah.

Vanka hanya membalas dengan hembusan napas perlahan.
"Kamu lagi nggak mau ngapa-ngapain kan?" tanya Mamanya kepada Vanka.
"Lagi ngeliatin Mama ngupas bawang." balas Vanka dengan salah satu tangan bertumpu pada pipinya.
"Daripada cuman ngeliatin doang. Mending ini kamu iris bawangnya!" pungkas Mamanya menyodorkan loyang plastik berisi bawang merah yang sudah terkupas dari kulitnya.
"Saya bantuin ya, Tante!" ucap Darren berdiri mendekati tempat duduk Vanka.
"Boleh banget dong! Biar cepet selesainya." sambung Mama Vanka tersenyum pada Darren.
"Mama mau ke toko dulu ya! Sebentar aja. Kamu tolong gorengin telur buat Darren makan siang ya. Soalnya itu cuma satu, tadi Mama goreng buat kamu." tutur Mama Vanka kepada mereka berdua.
"Siap Tante!" jawab Darren pada Mama Vanka.
"Kalo begitu Tante berangkat ke toko dulu ya Darren!" lanjut Mama Vanka pada Darren.
"Iya Tante!" ujar Darren menggangukan kepala.
"Siap Tante! Iya Tante! Sok asik!" dengus Vanka mengiris bawang.
"Emang harus asik kan biar bisa menarik perhatian calon mertua!" canda Darren melirik Vanka.
"Awas lo sampek ngomong kek gitu lagi gue cincang lo!" geram Vanka sambil mengiris bawang dengan cepat.

"Aduh! Aduh!" rintih Vanka yang tangan kiri telunjuknya terkena pisau.
"Sini-sini!" dengan bergegas Darren menghisap darah yang ada di jari Vanka.
"Jangan! Nanti rasa bawang." perintah Vanka menyipitkan matanya.
Darren bergegas memasuki kamar mandi untuk mencuci mulut dari darah. Vanka segera berdiri mengambil handsaplast dan ditempelkan pada luka sayatan pisau tersebut.

"Udah lo kasih handsaplast?" ucap Darren dari arah depan kamar mandi berjalan menghampiri Vanka.
"Ini udah. Gimana darah rasa bawang?" canda Vanka melirik Darren.
"Aneh banget kek lo!" kekeh Darren kembali duduk di samping Vanka.
"Makanya lain kali hati-hati! Kalo melakukan suatu pekerjaan jangan marah mulu!" jelas Darren menaikkan alisnya.
"Iya Aden Darren! Ini lo terusin pekerjaan gue tinggal dikit banget! Gue mau goreng telur." pungkas Vanka berdiri dari tempat duduknya.

Vanka meletakkan telpon di atas kompor kemudian membuka kulkas untuk mengambil dua telur.

Tek!

Bunyi suara kompor gas yang telah menyala dengan api.
Vanka menuangkan minyak goreng di atas telpon. Dia segera membuka cangkang telur menjadi dua bagian yang dipukulkan di telpon.
Karena api yang dia nyalakan terlalu besar membuat minyak goreng meloncat-loncat mengenai tangan Vanka yang membuatnya menjauhkan badannya dari kompor
"Aduh! Gimana sih susah banget!" geram Vanka ingin membalikkan telurnya tetapi tidak bisa.
"Sini-sini biar gue aja!" sahut Darren mengambil alih sotil dari tangan Vanka.
"Ini ni minyaknya loncat-loncat!" papar Vanka menjauh dari Darren.
"Untung aja belum gosong. Lain kali kalo nyalain kompor nggak usah terlalu besar nanti minyaknya loncat-loncat trus kalo nggak cepat dibalik telurnya bisa gosong!" urai Darren seraya mengecilkan kompor.
"Iya Tuan Chef Darren!" tukas Vanka yang sedang mengambil nasi dari dalam magic com dan diletakkan pada piring.
"Ini gue udah siapin nasi ya!" ujar Vanka kembali duduk di kursi.
Tangan kiri Vanka memegang sebuah piring dan tangan tangannya yang mulai mengambil nasi yang diletakkan pada piring tersebut.

Hi again, my readers. Gimana kabar kalian? Apapun keadaannya semoga kalian tetep baik-baik saja yaa. Dijaga kesehatannya!!!

Ga lupa aku ucapin terimakasii banyak-banyak buat kalian yang masih setia baca karyaku hingga chapter ini. Jangan bosen bacanya dan nungguin kelanjutannya ya guys!!!

Penasaran sama kelanjutan kisah cinta Darren & Vanka?!? See u next chapter guys.
Love u my lovers!!<3

arenka -on going-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang