3. Jalan Buntu

735 57 9
                                    

Robi mendekati Furi yang sedang sibuk dengan laptopnya. Ia duduk di hadapan Furi.

"Lana sudah tidur?"

"Dah," jawab Furi singkat tanpa menoleh. "Kau tidurlah. Semalam jaga, nanti siang jaga lagi."

Robi menjawab dengan desah napas keras. "Aku masih nggak habis pikir, kenapa Yura terus kepikiran buat bunuh diri. Tadi psikiaternya bilang, kondisi Yura membutuhkan penanganan dan terapi yang cukup lama."

"Ya." Furi menoleh sekilas. "Aku bisa mengerti mengapa dia selalu ingin mengakhiri hidup. Tidak banyak yang bisa melewati keadaan seperti yang dia hadapi."

"Kau mengerti?" Robi bertanya heran. "Kondisi apa? Bukankah dua sahabatnya sudah janji bakal urusin dia?"

"Beban pikirannya bukan sebatas kebutuhan secara materiil."

"Ck! Jangan nanggung kalau mau jelasin." Robi menendang kaki Furi yang ada di bawah meja, jengkel.

"Hahaha ... Sorry." Furi mengalihkan perhatian dari laptopnya, lalu menatap Robi dengan raut serius. "Dia pasti mengkhawatirkan masa depan yang harus dia hadapi. Menjadi ibu tanpa tahu siapa ayahnya pasti akan menjadi cibiran banyak orang. Bukan hanya untuk Yura, tapi juga anaknya. Lana dan Karen nggak akan bisa membantu dalam hal itu."

Robi melongo. Hal itu tak pernah terpikirkan olehnya karena ia adalah tipikal orang yang bodo amat. Mau orang bicara apa, selama itu tidak menghalangi jalannya, ia tak pernah mau ambil pusing. "Kasihan juga, ya."

"Ya, tapi kita akan berusaha merubah pola pikirnya itu. Mungkin juga nanti Mama dan Papa bisa mencarikan tempat tinggal dan kehidupan baru untuk Yura. Identitas baru juga, mungkin. Yang pasti, jauh dari sini bila ingin dia tetap survive."

"Kau sudah bahas itu sama Lana dan orang tuanya?"

"Sedikit. Kami akan melihat dulu perkembangan selanjutnya."

Robi terdiam. Hatinya dilanda kegelisahan dan rasa takut memikirkan bahwa Yura akan pergi jauh ke tempat baru dengan identitas baru. Memang itu bukan urusannya karena ia bukan siapa-siapanya Yura, tetapi tetap saja hal itu mengusik hati dan pikirannya.

"Kenapa hidup dia jadi berantakan begini?" Robi bertanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Ia masih ingat betul bagaimana penampilan Yura dulu yang selalu modis, luar biasa menawan, dan pastinya sangat bersemangat.

Furi mengangkat kedua bahunya. "Namanya musibah bisa datang pada siapa saja. Yang aku sesalkan, mengapa dia mau saja dimanfaatkan oleh Ricko. Itu membuat beban yang dia derita terasa lebih berat. Dia selalu dihantui rasa bersalah pada Lana dan aku, aku yakin itu. Apalagi saat ini Lana yang berkeras untuk menjamin kehidupan dia dan bayinya."

Kedua telapak tangan Robi terkepal tanpa sadar dan posturnya berubah kaku. "Nggak adakah yang bisa kita lakukan buat kasih Bajingan itu pelajaran? Kalo dibiarin, dia bisa saja terus semaunya sendiri dan ngerugiin orang lain. Dalam masalah ini aja, dah berapa orang yang dibuat susah sama si brengsek itu?"

"Udahlah, nanti dia juga bakal kena batunya."

Robi mendesah sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Sesekali matanya tertutup akibat kantuk berat yang melanda. Pagi tadi, setelah semalaman berjaga di Jurang Akhir, ia langsung ke rumah sakit dan belum sempat tidur sama sekali.

"Tidur sana." Furi menendang kaki kursi Robi, mengagetkan temannya yang hampir terjengkang ke belakang.

"Iya, nih. Mata sepet banget rasanya." Robi bangkit, lalu berpindah ke sofa panjang di area penerima tamu. Ia membaringkan tubuhnya di sana dan berniat tidur. Namun, sebelum matanya sempat terpejam, ia mendengar suara mencurigakan dari kamar penunggu, tepatnya kamar Yura.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang