Robi mengetuk pintu kantor atasannya untuk mengembalikan kunci mobil yang tadi ia pinjam untuk mengantar istrinya ke dokter sekaligus mengangkut barang-barangnya dari rumah ke bengkel. Begitu mendengar jawaban dari dalam yang meminta masuk, ia pun membuka pintu.
Pemilik bengkel tersenyum menyambut kedatangannya. "Gimana kondisi istrimu?"
"Hanya kurang tidur dan terlalu banyak pikiran." Robi menjawab sambil meletakkan kunci mobil bosnya ke atas meja. "Terima kasih, Bos."
"Cepat sekali. Kau sudah selesai memindahkan barangmu kalau begitu?"
"Sudah, tapi-"
"Bagus."
"-rasanya kamar itu terlalu-"
"Kecil?"
Robi menatap bosnya dengan raut menahan kesal karena beberapa kali ucapannya terus dipotong. Padahal, untuk bisa bicara dengan bahasa dan kata lebih baik, ia harus berpikir keras terlebih dahulu. "Bukan," jawabnya sedikit kethus, mengundang tawa menggelegar dari bosnya. "Menurut istri saya itu terlalu mewah."
"Kamar itu tak lebih besar dari gudang." Bosnya masih terkekeh seperti orang gila.
"Perabotnya. Itu perabotan mahal semua. Bahkan, istri saya berkata marmer di meja dapur itu seperti produk import dari Itali."
"Wah." Bosnya menatap Robi tertarik. "Darimana istrimu tahu itu import dari Italia?"
"Dulu di rumahnya juga memakai bahan sejenis itu, tapi dengan corak dan warna berbeda."
"Di mana orang tua istrimu tinggal?"
"Sekarang di Singapura rasanya." Robi menjawab dengan wajah ditekuk. Ia paling tidak suka kehidupan pribadinya dikorek-korek, tapi karena menghormati bosnya, ia tetap menjawab meski dengan hati dongkol.
"Menetap di sana atau urusan kerja?"
Kali ini Robi hampir meledak. Ia menatap bosnya dengan dada naik turun menahan kesal.
"Tidak perlu dijawab." Bosnya kembali terbahak melihatnya bergulat dengan amarah. "Aku bisa mencari tahu sendiri. Oh ya, soal itu, kalau kau tak suka dengan meja dapurnya, aku bisa meminta orang untuk mengahncurkan dan menggantinya dengan produk lokal saja."
"Bos!" Robi benar-benar dibuat pusing menghadapi sikap bosnya yang tidak pernah bisa diduga. Ia sudah sering bekerja pada siapa saja. Kebanyakan dari mandor atau majikannya memiliki sifat yang perhitungan dan betul-betul menerapkan prinsip ekonomi dimana mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran sesedikit mungkin. Namun, atasannya yang satu ini berbeda. Ya, sikap keras kepalanya sebagai seorang atasan tetap ada, tetapi keputusan-keputusan yang dibuat selalu saja di luar nalar.
"Salah satu alasan aku merekrutmu karena kau orang yang teguh pendirian dan berprinsip kuat. Tapi, adakalanya prinsip dan teguh pendirian itu harus dirubah demi kebaikan yang lebih besar. Jadi, pakai saja yang ada atau seperti kataku tadi. Hancurkan dan ganti. Kau boleh keluar."
Robi bergeming. Ia belum selesai bicara. Masih ada hal lain yang ingin ia sampaikan pada bosnya. Sebetulnya itu lebih kepada permintaan atau pertanyaan.
"Ehh, Bos. Saya akan menempati kamar itu apa adanya." Robi berkata dengan rahang terkatup. Wajahnya panas akibat malu yang melanda saat mengatakan itu. Dirinya tak terbiasa merendahkan diri atau menampakkan kebutuhan pada orang lain. Jadi, melakukan itu membuatnya tidak nyaman.
"Bagus." Bosnya tersenyum senang. "Ada lagi?"
"Untuk lowongan karyawan bagian administrasi belum ada yang mengajukan lamaran. Kalau adik saya yang baru lulus SMA saja yang menempati posisi itu apa bisa?" Robi bertanya dengan nada sangat hati-hati dan mengatur supaya setiap suku kata yang keluar tidak terkesan kasar atau kurang ajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomansaHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...