40. Lagi

577 85 11
                                    

Masih belum subuh ketika Robi membangunkan Yura untuk mandi. Ia sudah merebus beberapa panci air panas supaya Yura tidak merasa dingin saat mandi.

"Bebi." Robi menepuk lembut pipi Yura yang bergelung seperti janin. "Mandi dulu, keburu yang lain bangun."

"Engh." Yura hanya melenguh pelan.

"Ntar lagi aku harus berangkat kerja." Robi menciumi wajah Yura.

"Apa, Bi?" Yura menjawab dengan mata masih terpejam.

"Ayok mandi."

"Ohh." Yura membuka matanya, bingung. "Siapa yang mau mandiin?"

"Jadi, maunya dimandiin?" Robi terkekeh sendiri. "Ayok."

"Mana ada orang mati bisa mandi sendiri?" Yura masih betah bergelung di balik selimut.

"Bebi, keburu dingin airnya." Robi mencium kedua mata Yura agar kembali terbuka. "Jan becanda terus, ahh. Ayok. Gendong sini. Aku berangkat lebih pagi hari ini."

"Ahh, kenapa masih harus kerja, Bi?" Yura menendang selimutnya kesal. "Di hari penting ini harusnya kamu izin dulu. Semua orang normal kalau istrinya meninggal juga pasti izin dulu."

Robi mencubit hidung Yura gemas. "Kau ini ngomong apa? Makanya bangun, biar nggak ngigau ja."

"Semalam kamu ...." Yura membuka mata dan menguceknya beberapa kali. "Ini aku masih hidup?"

"Masih." Robi menarik selimut yang menutupi leher dan pundak Yura. "Sini gendong."

"Kamu nggak jadi bunuh aku?"

"Ngapain?" Robi heran. "Kau habis mimpi?"

Yura diam mencoba mencerna apa yang terjadi semalam. Wawasannya soal seks memang terlalu minim. Sejak SMP ia hanya bergaul dengan Lana dan Karen yang juga tidak pernah membahas masalah seperti itu. Hal paling di luar batas yang mereka lakukan hanya nongkrong di kafe sampai malam sekali, tetapi tetap saja pulangnya dijemput Pak Diding.

Selama gonta-ganti pacar pun, ia tak pernah melakukan sesuatu yang terlalu berlebihan. Hanya sekedar bergandengan tangan atau pacarnya merangkul pundaknya ketika jalan bersama, tapi kebanyakan, sih, hanya pacaran di lingkungan sekolah seperti duduk bersama di kantin saat istirahat atau kalau kencan juga bersama dengan Karen dan pacarnya atau Lana. Ciuman yang pernah ia dapatkan saat pacaran dulu juga hanya sebatas bibir menempel dengan bibir saja, berbeda dengan ciuman Robi yang lebih dalam dan menuntut.

Ia sama sekali buta soal apa saja yang dilakukan saat hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan. Yang ada di pikirannya hanya sebatas sel telur bertemu sperma bisa berkembang menjadi bayi, tetapi proses bertemunya sepertinya sampai detik itu tidak pernah terbayang di otaknya akan serumit apa. Yah, dalam bayangannya hanya sebatas alat kelamin laki-laki ditempelkan ke alat kelamin perempuan.

Yura juga bukan tipe orang yang lugas dan bisn langsung mengutarakan pendapat atau apa yang ada di pikirannya. Ia lebih suka memendam dan menyimpulkan sendiri, meski kadang kesimpulan yang ia ambil itu kurang tepat. Berbeda dengan Lana yang tak pernah merasa memiliki beban untuk mengutarakan semua yang ada di pikiran atau Karen yang selalu berpikir logis.

Ia ingat satu nasihat papanya dulu untuk tidak pernah menampakkan ketidaktahuan atau kebodohan di depan orang lain karena itu bisa dijadikan senjata lawan untuk menyerang. Ia selalu ingat nasihat itu. Makanya, dalam obrolan atau interaksi apa pun, ia tidak pernah menampakkan itu semua. Ia mengikuti dulu pembicaraan yang sama sekali tidak tahu ilmunya, lalu mulai mencerna sendiri dan secara perlahan terlibat dalam obrolan itu. Dengan demikian, biasanya orang tidak akan pernah tahu bahwa dia tidak tahu.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang