"Abang kenapa, Kak?" Salwa bertanya pada Yura. Karena sejak di kafe hingga saat itu mereka dalam perjalanan pulang, Robi menjadi lebih pendiam.
Dari bangku belakang, Yura mengamati Robi yang terus menatap ke luar kaca mobil. Sesekali ia menanggapi obrolan sopir taxi yang ingin mencairkan suasana dengan jawaban-jawaban pendek.
"Belok sebelum jembatan, ya?" Sang sopir taxi bertanya, tetapi karena sepertinya Robi tidak mendengar, Yura yang menjawab.
"Betul, Pak."
"Itu jalannya bisa masuk sampai ke dalam?" Sang sopir bertanya lagi karena ragu.
"Bisa, Pak. Masih baru jalannya dan sepertinya belum masuk map juga, tapi bisa masuk."
"Ohh, tapi mobil bisa putar balik, kan, Neng?"
"Ada lahan parkir cukup luas di ujung jalannya, Pak. Bisa untuk putar."
Memang saat membangun akses jalan untuk warga kampung itu, orang tua Lana sekalian membeli tanah yang cukup luas sebagai tempat parkir mobil ketika mereka sedang berkunjung atau menginap. Tanah itu berada di seberang samping rumah Furi dan Lana persis yang memang berada di paling ujung kampung.
"Berhenti di depan kedai jus itu, ya, Pak." Yura memberi instruksi pada sang sopir.
"Ya, Neng."
Saat mobil berhenti, Yura memandu Salwa untuk turun. "Langsung masuk rumah," ujarnya pada Salwa, sementara ia mengetuk kaca depan karena Robi sepertinya tidak sadar bila mereka sudah sampai.
"Bi!"
"Ya?" Robi gelagapan dan langsung menoleh ke sopir untuk bertanya berapa tarif mereka.
Saat turun, Robi tidak banyak basa-basi dan langsung berjalan cepat menuju halaman belakang.
"Abang kecapekan." Yura menjelaskan pada adik ipar dan mertuanya. "Saya susul dulu, ya?"
Di kamar, Robi berbaring menghadap atas dengan kedua lengan terlipat di bawah kepalanya. Pancaran gelisah dan emosi masih tampak di matanya.
"Bi, kamu kenapa, sih?" Yura duduk di tepi tempat tidur menghadap suaminya. "Adik-adik sampai heran, loh, liat kamu jadi pendiem gitu. Nggak kayak biasa."
Tidak ada jawaban. Hanya napas berat Robi yang terdengar.
"Kita sudah sepakat untuk saling bicara kalau ada hal kurang mengenakkan di hati. Lalu, mengapa sekarang malah kamu yang jadi kayak gini?"
Robi langsung menoleh. Dengan suara tercekat ia bertanya, "Kau bahagia hidup samaku?"
"Bahagia." Yura menjawab tanpa berpikir. "Kenapa masih ditanyakan? Kamu dan semua orang bisa melihat sendiri, apa aku pernah terlihat murung atau sedih karena merasa tertekan hidup di sini?"
"Lalu, cintamu samaku itu beneran apa palsu?"
"Ya, beneran, Bi. Ada apa, sih?" Yura mengamati wajah tidak tenang suaminya. "Apa aku ada salah ngomong?"
Robi menggeleng. "Selama ini aku cuma nggak pernah sadar aja hidupmu dulu kayak apa, tapi begitu ketemu mantanmu tadi, aku—"
Wajah Yura memucat. "Demi Tuhan, Bi. Aku nggak pernah melakukan hal di luar batas sama dia. Kami pacaran sebatas nonton, nge-mall, atau nongkrong di kafe. Seringnya malah barengan sama Karen dan Lana."
Robi tersenyum tipis dengan kepala mengangguk. "Aku percaya, Beb. Bukan itu yang jadi pikiranku."
"Lalu?"
"Melihat dia tadi, aku jadi tahu kau dulu benar-benar seorang putri raja."
"Lalu, masalahnya apa?"
"Yah, sekarang masalah apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...