Yura dan Robi baru saja terlelap setelah aktifitas suami istri mereka ketika ponsel Robi terus-menerus berbunyi. Deringnya tidak terlalu keras, tetapi getar dari panggilan masuk itu cukup berisik di atas nakas. Dengan sebelah lengan masih dijadikan bantal oleh istrinya, Robi meraih ponselnya dengan lengan yang lain. Tanpa melihat siapa yang menelpon, ia langsung menolak panggilan itu, meletakkan ponselnya di bawah bantal, lalu kembali mendekap istrinya dan tidur.
Akan tetapi, baru saja ia melingkarkan lengan ke tubuh sang istri, ponselnya kembali berdering dan bergetar, membuat kantuknya benar-benar hilang. Sambil mengumpat pelan ia meraih ponselnya dari bawah bantal dan melihat siapa yang menelpon malam-malma begitu.
"Hawa?" Robi langsung menerima panggilan dari adiknya itu. "Ya, Wa?"
"Abang, cepetan ke sini. Emak lemes banget. Ini ada Bang Furi, katanya Emang harus dibawa ke IGD."
"Oke. Abang ke sana sekarang."
Setelahnya Robi langsung memutus panggilan dan meletakkan ponselnya ke atas nakas. Ia melirik Yura yang masih terlelap di lengannya dan Biyu di sisi lain tempat tidur yang berdekatan dengan dinding. Ia tak mau membangunkan istrinya yang pasti kelelahan karena menjaga Biyu yang mulai aktif dalam kondisi hamil pasti tidak mudah. Jadi, ia mengangkat kepala istrinya itu dan menarik bantal sebagai pengganti lengannya, lalu bergegas bangun dan ganti baju.
Kalau Furi sampai menyarankan ke rumah sakit, itu artinya emaknya sedang tidak baik-baik saja. Ia menarik laci nakas mencari kertas dan bolpoin untuk menulis pesan pada istrinya karena Yura masih belum punya ponsel sendiri. Ia menemukan secarik kertas dan spidol, lalu menulis pesan dengan cepat. Semoga Yura bisa membaca pesannya, batinnya meringis karena memang ia tak terlalu pandai menulis.
Ia memasukkan ponsel dan dompet ke dalam sing bag, lalu meriah kontak di gantungan dan meninggalkan rumah tanpa bersuara agar tak membangunkan Biyu atau Yura.
Ketika sampai di rumahnya, di sana sudah ada Furi. Dia mengambilkan kursi roda yang dulu dipakai Lana dan sudah memindahkan emaknya ke kursi roda itu.
"Mak." Robi berlutut di depan emaknya. Hatinya teriris melihat kondisi emaknya lemas dan pucat. "Mak kenapa? Kagak ngomong kalau sakit?"
"Gakpapa. Mak gakpapa. Masuk angin aja." Mak Robi membelai kepala sang putra. Ia tahu Robi sudah bekerja keras untuknya dan keluarga selama ini. Jadi, ia tak mau menambah beban putranya itu.
"Dah, Boy, langsung ke IGD aja." Furi menepuk pundak Robi. "Mak butuh pertolongan segera. Denyut jantungnya terlalu lemah."
Robi berdiri. "Wa, kau di rumah jagain bapak dan adek-adek."
"Tapi, Bang—"
"Bang Furi yang nemenin ke rumah sakit. Nanti kasih tau Kak Lana, ya." Furi menenangkan Hawa. Seperti biasa, sikapnya yang tenang dan tidak mudah panik bisa membawa atmosfer positif bagi sekitar. "Kalau semua ikut, yang bertanggung jawab di rumah, tidak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...