53. Cari Penyakit

490 77 5
                                    

Malam itu bertepatan dengan hari sabtu. Setelah kontrol dari dokter kandungan, Robi membeli beberapa bungkus martabak telor untuk dibawa ke pos di Jurang Akhir. Setelah mendapat gaji pertamanya, ia ingin berbagi dengan kawan-kawan yang selalu susah senang bersamanya dulu. Ia tak akan pernah lupakan itu.

"Nggak sekalian minuman hangat?" Yura bertanya, membuat Robi mengangguk sambil tersenyum. Kebahagiaannya kian berlipat ganda karena memiliki istri yang baik dan pengertian. Yah, mereka berdua berproses bersama untuk menjadi lebih baik.

"Kalau teh atau kopi, anak-anak biasa bikin sendiri di pos."

"Hmm, mungkin susu hangat atau Minuman jahe?"

"Ide bagus. Kita belikan itu saja." Robi menunjuk stand yang menjual STMJ (Susu, telur, madu, jahe) di seberang penjual martabak. "Kau tunggu martabaknya, aku ke sana?"

"Boleh." Yura mengangguk sambil merapatkan jaketnya. "Nggak usah liat kiri-kanan!"

"Yaelah, Beb, terus mau nyebrangnya gimana?" Robi menjawab sambil tersenyum jenaka. Padahal, ia tahu maksud istrinya apa. "Kau baik-baik di sini. Nggak usah nanggepin kalau ada cowok ngajak ngomong."

"Terus, kalau Abang penjualnya tanya, aku harus diam saja?"

Keduanya lalu saling menertawakan satu sama lain. Yura sering jengkel karena Robi masih saja suka cemburu meski sudah ribuan kali ia bilang, hatinya sudah tertutup untuk cowok mana pun, begitu pula dengan Robi yang juga masih nggak habis pikir kenapa Yura masih cemburu padanya. Semua orang juga bisa melihat dengan mata telanjang betapa tidak bermutu dirinya. Sungguh keajaiban Yura mau bersanding dengannya yang kualitasnya jauh di bawah rata-rata. Jadi, seharusnya istrinya itu tidak perlu merasa cemburu karena seharusnya ia yang cemburu.

Di pos, seperti biasa ketika malam Minggu pasti ramai kawan-kawannya yang berkumpul. Mereka langsung menyambut kedatangan Robi dan Yura dengan pekik antusias.

"Wadah, ada orkay baru, nih. Bawain makanan segala." Didot yang urakan meledek Robi.

"Orkay apa?" Baron bertanya dengan wajah lugu.

"Orang kaya."

"Bacot!" Robi mendelik garang, pura-pura marah, tapi ia tahu memang begitulah kawan-kawannya kalau sudah berkumpul. Saling ledek dengan maksud bercanda sudah jadi hal yang lumrah. Jadi, ia tak lagi kaget atau merasa tersinggung. "Kagak usah ikutan makan!" Ia mendorong Didot yang berniat mencomot martabak di tengah dipan.

"Jan kejam gitulah, Bor!" Didot dan Robi saling dorong.

"Panggil Orang Kaya Baru."

"Alamak! Orang Kaya Baru nih mulai belagu juga."

"Emang." Robi tergelak, lalu membagi STMJ di kresek satu orang satu kecuali Didot, kemudian mengambil kardus martabak yang masih full dari tengah dipan dan membawanya lari keluar, membuat Didot melongo sejenak, lalu berlari mengejar keluar.

"Bor!" Didot berseru nyaring. "Sialan kau! Bawa balik martabak sama susu itu!"

"Kagak!" Robi tergelak makin keras. Ia menghampiri kawannya yang sedang bertugas di tengah jalan, menyumpalkan sepotong besar martabak ke mulut kawannya itu dan memberinya sabunfkus STMJ lengkap dengan sedotannya, lalu berlari ke atas menghampiri kawannya yang berjaga di atas dan melakukan hal serupa.

"Jan habisin, woi!" Didot berdiri di depan pos dengan tangan di pinggang. "Bor! Lapar ini, Monyet kau!"

Yura duduk di bangku beton depan pos sambil mengamati Robi dan kawan-kawannya sambil tersenyum simpul. Robi selalu menjadi orang berbeda ketika berkumpul bersama kawan-kawnanya, lebih bebas dan menjadi diri sendiri, tetapi saat bekerja atau di rumah, ia berubah menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab dan tegas.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang