68. Penat

445 70 9
                                    

Malam itu Robi tak bisa tidur. Kepalanya dipenuhi berbagai macam masalah yang membebani pikiran yang butuh untuk dicari solusinya. Di depan istrinya, ia tak mau menunjukkan gelagat sekecil apa pun bahwa sebenarnya kepalanya terasa mau pecah. Istrinya sedang hamil muda ditambah harus mengurus Biyu yang mulai aktif, jadi ia tak mau menambah beban istrinya.

Perkembangan yang cukup baik bahwa jam tidur Biyu mulai teratur berkat upaya istrinya melatih Biyu untuk tidur di jam yang sama setiap harinya hingga menjadi kebiasaan tetap. Ia tahu itu tidak mudah, tapi Yura berhasil hingga saat ini Biyu selalu tidur pulas setiap malam tanpa terbangun.

Ia melirik istrinya yang pulas di samping Biyu. Hatinya tentram mendengar dengkur halus sang istri. Setidaknya, rasa bersalah karena membuat istrinya kembali hamil bisa sedikit terobati dengan memastikan bahwa istrinya mendapat waktu tidur dan istirahat yang cukup. Dan ia butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Robi beranjak dari tepatnya duduk. Masih pukul sebelas malam. Ia pergi ke luar mendatangi teman-temannya di ronda atau sekedar begadang di pos. Sudah lama ia tak pernah lagi nongkrong di sana. Mungkin, bertemu mereka bisa mengembalikan sedikit kewarasannya yang hampir terkuras habis. Bukan dalam artian buruk, hanya penat saja.

Sebagian dari teman-teman di kampungnya Memang sudah bekerja di bengkelnya, tetapi sebagian lain belum beruntung karena tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Dengan bertemu mereka dan mendengar keluh kesah, siapa tahu bisa membuat hatinya kembali tegar karena ternyata masalah yang ia hadapi tak serumit mereka.

Ternyata di pos ada Furi. Sama seperti dirinya, Furi meninggalkan istrinya yang juga sudah pulas.

"Tumben?" Furi menyapa dengan senyum lebarnya yang khas.

"Lha, situ juga tumben?"

Furi tertawa. "Bor, setidaknya dia hari sekali aku nongkrong di sini. Kau?"

"Ck!" Robi membanting tubuhnya di batang pohon timbang samping pos. "Bener juga," jawabnya pasrah.

"Kenapa?" Furi yang tahu ada gelagat tak biasa dari kawannya itu ikut duduk di samping Robi.

"Taulah, Fur." Robi menjatuhkan kepala ke kedua telapak tangannya.

"Kerjaan?"

"Yura hamil." Robi langsung bicara. Ia tak bisa memikirkan kalimat kiasan untuk membuat kabar itu terdengar lebih dramatis.

"Wah." Furi tampak terkejut, lalu tersenyum sambil menepuk pundak Robi kuat-kuat. "Bagus, dong. Rezeki itu, Boy."

"Ya." Robi setuju. "Tapi kasian dia."

Furi ikut prihatin. Tanpa Robi menjelaskan apa yang membuat Yura kasian, ia pun sudah sudah paham di mana masalahnya. "Kaunya pun kasian, Boy."

"Kagaklah. Dia yang harus ikut nanggung semua masalah keluargaku. Dia jadi banyak menahan diri kalau pingin apa-apa. Akunya nggak bisa total bantuin dia, nemenin dia. Kalau ada bayi lagi gimana? Kalau persia-nya kambuh lagi cam mana?

"Pre-Eklampsia." Furi mengoreksi sambil menahan senyum. "Ehm, Nisa berangkat naik angkot sendiri nggak berani, Boy?"

"Ya berani aja, tapi pengeluaran jadi bengkak banget, Fur. Dia harus ganti angkot dua kali pula ke sekolah. Kalau aku yang anter, pakai mobil, sekali jalan langsung antar Nisa dan Salwa ke sekolah, Hawa ke tempat kerja, kadang Emak ke pasar."

"Tapi, mau sampai kapan kek gitu, Boy? Nisa dan Hawa rasanya sudah cukup dewasa untuk bisa bepergian sendiri. Kasihlah kepercayaan."

"Kepercayaan apanya? Masalah nyukup-nyukupin duit ini mah."

"Ambillah kredit motor untuk Hawa. Dia bisa ambil alih antar Nisa dan Salwa sekalian berangkat kerja. Kalau Mak Nur butuh ke mana-mana juga bisa antar."

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang