81. Sepenuh Hati

408 64 6
                                    

"Beb, bensin tinggal satu." Robi melaporkan sebelum berangkat mengantar ketiga adiknya ke sekolah dan tempat kerja. Rutinitas masih ia lakukan karena ia belum rela melepas Hawa dan Nisa untuk berangkat sendiri.

Banyak yang memberi saran supaya Hawa mulai pergi bekerja mengendarai motor sendiri. Dia bisa sekalian mengantar Nisa yang satu arah dengan tempat kerjanya. Namun, Robi belum bisa menerima saran itu dengan berbagai alasan. Salah satunya karena faktor keamanan. Menurutnya zaman sudah rusak hingga banyak orang bisa berbuat nekad di mana pun dan kapan pun ada kesempatan. Ia tak bisa membayangkan keburukan itu menimpa adiknya. Biar saja orang mencemooh. Ia tak peduli. Ketiga adiknya adalah amanah dari orang tua yang harus ia jaga dengan baik.

"Sampai kapan Abang bakal kayak gini? Hawa dah bisa mandiri, loh."

"Sampai ada lelaki yang betul-betul baik dan bertanggung jawab, baru Abang lepasin kau." Selalu seperti itu jawaban Robi.

Yura mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribuan dan memberikan uang itu pada suaminya. "Cukup?"

"Cukuplah. Ntar kalau ada kembalian ku balikin." Robi mencium kening istrinya dan Biyu sebelum berangkat.

Hampir satu bulan berlalu semenjak Robi memaksa istrinya untuk mengelola semua pemasukan dan pengeluaran rumah. Robi cukup takjub karena perbedaannya kentara sekali terlihat. Rumahnya sekarang menjadi lebih rapi dan manis. Yura sering membeli perlengkapan rumah yang sebetulnya dibutuhkan tapi tak pernah terpikir olehnya secara online. Barang-barang sepele dan murah, tapi dampak untuk rumahnya luar biasa. Meski begitu, kebutuhan untuk rumah lainnya seperti makan, perlengkapan kamar mandi, dan berbagai biaya seperti listrik dan sampah juga tak sampai terlupa.

Robi harus akui bahwa istrinya lebih jago dalam mengatur semua itu. Uang yang dulu ia rasa selalu kurang dan habis, sekarang bisa digunakan untuk banyak hal oleh istrinya. Gorden rumah yang sudah bertahun-tahun tak pernah ganti sekarang sudah ada yang baru, yang lebih modern dan cantik. Teras rumahnya juga sekarang banyak dihiasi bunga dalam pot-pot kecil yang juga Yura beli secara online.

Lantai rumahnya yang semula putih polos sekarang berubah menjadi motif kayu tanpa ia tahu bagaimana prosesnya. Tiba-tiba saja sepulang kerja lantai rumahnya sudah berubah. Di teras rumahnya sekarang juga sudah dilengkapi satu set meja kursi dari tong bekas. Ajaib. Sana anehnya semua itu tidak bisa dihitung memakai matematika logika. Ternyata benar kata orang bahwa rezeki suami akan mengalir deras ketika dia loyal pada istri dan keluarganya.

Akan tetapi, dari semua perubahan itu ada satu hal yang masih membuatnya belum merasa puas. Yura masih belum mau membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Dia terlalu asyik mendekor semua ruangan di rumahnya, baik itu kamar mandi, dapur, ruang tengah, teras sampai kamar adik-adiknya, tapi selalu melupakan kebutuhan untuk dirinya sendiri. Bahkan, ketika Robi memintanya untuk membeli beberapa daster baru, dia hanya tertawa sembari mengedipkan mata genit. "Bukankah kamu lebih suka aku nggak pakai baju?"

Huh! Dasar istri kelewat cantik! Mau pake daster bertambal di banyak tempat pun tetap terlihat cantik.

Robi sedang berhenti di pom bensin ketika ponselnya terus berbunyi. Melihat panggilan itu dari karyawan di bengkel ia pun menerima panggilan itu.

"Ya?" Ia bertanya. Dahinya berkerut dalam mendengar apa yang disampaikan oleh satpam di bengkel. Ada pelanggan yang mencarinya dan memaksa menunggu di bengkel sampai ia tiba. Satpam dan beberapa karyawan sudah menolak halus dan mengatakan bahwa bengkel belum buka, tetapi orang itu memaksa menunggu karena ada keperluan penting katanya.

"Katakan saja, kalau urusan dengan bengkel sebaiknya di jam kerja!"

Robi langsung menutup panggilan karena ia harus lekas mengantar adik-adiknya. Wajahnya cemberut, jengkel dengan satpam yang bertugas pagi ini. Seharusnya dia bisa bersikap tegas selama itu berpegang teguh pada aturan yang berlaki. Kenapa malah mengganggunya dengan telepon tidak penting semacam itu?

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang