Sorot matanya tajam menyorot sosok yang berdiri di hadapannya. Ia menyadari ada yang berubah dari perempuan itu sejak pertemuan terakhir mereka, tetapi itu tidak akan mengendurkan sikapnya mengingat apa yang pernah terjadi.
"Boy!" Furi menegur sikapnya dengan cara halus.
"Bi." Ia mendengar istrinya memanggil dengan nada memohon. "Ingat, Dia sahabatku."
Robi mengangkat tangan, meminta semua diam. Lalu, dengan nada pelan dan penuh penekanan di setiap suku kata, ia bertanya apa tujuan sosok di hadapannya itu datang.
"Aku minta maaf. Aku menyesal." Perempuan itu berkata tegar. Nyali ciut oleh sikap Robi, tetapi ia harus menebus semua kesalahannya di masa lalu. "Kumohon, izinkan aku menjenguknya. Kalau kalian tidak bisa memaafkan kesalahanku, tak masalah. Aku hanya ingin bertemu dan menyampaikan permintaan maafku secara langsung."
"Bi!"
Robi menoleh ke arah ranjang di mana istrinya duduk bersandar. Dia tangannya mengatup di depan dada. "Please," ucapnya lirih.
"Tunggu, Beb." Robi menjawab datar. "Aku harus memastikan satu hal."
Kemudian, Robi kembali menatap mantan sahabat istrinya. "Kalau terucap satu kata saja darimu yang bisa menyakiti hati istriku atau membuatnya menangis, aku—"
"Tidak!" Karen memotong cepat ucapan Robi. "Aku bersumpah. Aku tak akan pernah melakukan itu lagi. Pegang janjiku."
Robi mengangguk kaku, lalu menyingkir dari hadapan Karen dan berpindah cepat ke samping istrinya. Wajahnya tetap menampakkan ekspresi tidak ramah dan siap menerkam siapa saja yang mungkin berpotensi membuat istrinya bersedih.
Karen melangkah perlahan. Ia meletakkan bingkisan kado yang sangat besar di kaki ranjang, lalu menghampiri Yura. Matanya berkaca-kaca. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Tangannya meraih telapak tangan Yura, lalu tangisnya pun pecah.
"Sorry." Ia memaksa dirinya bicara.
Yura mengamati Karen. Benar seperti yang Lana katakan, sahabatnya itu telah banyak berubah. Tubuhnya sedikit kurus dan sorot matanya tak sebening dulu. Ia ragu bahwa Karen mengalami semua itu hanya karena merasa bersalah padanya. Pasti ada hal dan alasan lain.
Mengingat dirinya pernah melakukan kesalahan yang lebih fatal dari Karen dan mendapat pengampunan dan kesempatan kedua dari semua itu, ia pun akan melakukan hal yang sama pada Karen.
"Ohh, Sayang." Yura menarik Karen dan memeluknya erat. "Aku kangen sekali."
Selama beberapa menit kemudian, keduanya hanya saling berpelukan dan menangis bersama.
"Duduklah." Yura berkata sambil mengusap air matanya. "Gimana kabarmu? Kamu datang sendiri?"
Karen menggeleng. Ia tetap berdiri di samping tempat tidur. "Aku datang bersama teman. Dia menunggu di luar."
"Ohh." Yura terkejut. "Kenapa tidak diajak masuk?"
Karen tersenyum kecut. "Kehadiranku saja belum tentu diterima."
"Itu," Yura meringis sambil melirik suaminya yang masih menampakkan wajah cemberut, "Aku tak bisa menghentikannya. Kamu tahu, Beb—"
"Jangan khawatir." Karen tersenyum. "Aku sepenuhnya mengerti dan jujur saja, sekarang aku merasa bahwa dia memang pasangan yang sangat sesuai untuknya. Aku bersyukur sekali kamu memiliki dia."
Sementara Yura, Karen, dan Lana masih saling melepas rindu, Furi melangkah ke pintu untuk mempersiapkan teman Karen untuk masuk.
Semua cukup terkejut ketika melihat teman Karen. Dia adalah lelaki dengan postur ramping dan tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan Robi atau Furi. Namun, dia tetap terlihat gagah dan pekerja keras dari otot yang menonjol di sepanjang lengannya dan dari pakaian outdoor berwarna navy yang dia kenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...